1. First Rain

202 6 0
                                    

21 Desember



Tidak ada hal paling sial selain pulang terlambat, terjebak hujan, sendirian, dan kau lupa membawa amunisi—payung. Kabar baiknya itu terjadi padaku. Aku tidak ingat bahwa sore ini ada kelas tambahan bahasa inggris, dan bodohnya aku tidak ingat juga sekarang musim hujan.

Orang mana yang nekat tidak membawa payung saat musim hujan?

Ya, aku.

Sebenarnya dari awal kakakku sudah mengingatkan untuk tidak lupa membawa payung atau jas hujan. Pagi-pagi sudah memekik keras sambil mondar-mandir, tidak tahu mencari apa. Kupikir hanya sedang sensi, aku sih mengangguk sok tahu saja. Jadi inilah hasilnya, terjebak di sekolah seorang diri dengan suara rintik hujan yang menemani kesendirianku.

Aku tidak masalah jika harus menembus hujan dan pulang dalam keadaan basah kuyup. Itu memang keinginanku yang entah kapan akan terkabul. Tapi ya, kau tahu? Ibuku akan marah besar. Sejak kecil aku tidak diperbolehkan bermain hujan—begitu juga dengan kakakku. Alasannya klise, nanti sakit. Tapi sepanjang aku melihat Sheza—teman kecilku—main hujan dengan anak lelaki di perumahan kami. Tak pernah aku lihat dia sakit, seperti berbaring di ranjang seharian penuh dan merengek atau menangis. Ya sesekali dia memang flu atau merasa pusing tapi besoknya dia sembuh.

Jadi kupikir apa kata ibuku itu tidak beralasan.

Suara derap langkah kaki tiba-tiba tertangkap pendengaranku. Refleks aku berpaling, mendapati seseorang sudah berdiri di sampingku dengan jarak kira-kira dua meter. Ia menghadap lurus ke depan dengan wajah datar—seorang laki-laki. Aku tidak tahu kenapa seperti ada magnet yang menarik atensiku untuk melihat wajahnya. Wajah datar itu justru membuat aku bertanya-tanya siapa lelaki ini? Dia asing.

Sesaat aku berasumsi bahwa dia bukan siswa di sini, atau mungkin kakak kelas yang memang tidak populer di kalangan tingkat satu—sangat tertutup. Karena jujur, selama 6 bulan aku bersekolah di sma ini tak pernah aku menemukan wajah asingnya.

Apa dia siswa baru ya?

Tapi jika memang siswa baru pasti ada desas-desus di setiap kelas. Secara dia kan tampan—ya aku akui dia tampan. Apalagi Sheza yang wawasan tentang cogan-nya sangat luas, dia selalu up to date, sampai seluruh anak basket dari tingkat satu sampai tingkat tiga pun dia khatam. Tapi kenapa sepanjang kelas 10 aku tak mendengar kabarnya?

Jadi dia siapa?

Sekilas aku melihat nametag di jas bagian kanannya.

Juno Fauzan.

Oh? Nama yang bagus. Hidungnya bagus, matanya juga bagus. Kupikir semua tentang wajahnya dibuat bagus, ya kan?

Astaga!

Aku langsung tersenyum kikuk dan menunduk malu. Okey, tiba-tiba dia balas menatapku saat aku asik menerka dalam pikiran siapa dia. Tentu saja dia risih dengan lirikan tak sopan yang kulempar padanya. Dia pasti punya kesan buruk tentangku. Baiklah aku akan minta maaf—dalam hati.

Maaf ya.

"Ekhem.. Sore-sore begini kenapa bisa terjebak di sekolah?" suara berat dari lelaki tersebut menyapa lembut di telingaku. Dan aku berpikir, astaga dia baik sekali. Saat aku tidak sopan meliriknya terus-menerus dia justru menyapa dengan ramah.

Kualihkan pandanganku padanya, dan tiba-tiba..

Deg—

Seketika jantungku berdesir hebat ketika iris coklat miliknya menatap intens padaku. Aku bersumpah aku tak pernah ditatap seintens ini oleh seorang lelaki. Maksudku lelaki ini memang membalas lirikanku tadi, tapi ini rasanya dia seperti memusatkan seluruh atensi padaku. Seperti matanya hanya tertuju padaku.

Kupandangi dengan seksama fitur wajahnya dari depan. Menyusuri setiap lekuk wajahnya yang teramat sempurna. Hidungnya mancung lurus, bibir merahnya yang tipis, dan matanya yang tampak teduh. Tak pernah kulihat wajah pria semenarik ini.

"Hey, Kau tak apa?"

Aku terkesiap, langsung saja aku tersadar dari lamunan indah itu. Ia tengah menatapku heran. Sedangkan aku? Hanya menunjukkan senyum konyol.

"Kau tidak apa?" dia mengulang pertanyaan super ramah, membuatku semakin merasa malu karena sudah tidak sopan memandang wajahnya tanpa izin. Sontak aku menggeleng pelan dengan wajah yang masih terkunci padanya.

"Aku tidak apa-apa," aku tersenyum kecil.

"Kenapa bisa terjebak hujan?"

"Ada banyak tugas," jawabku kaku sembari cengengesan. Ia mengangguk ramah sambil kembali menatap lurus.

Kabar baiknya, ternyata aku tidak sendiri di sini. Ada satu lelaki yang juga terpaksa harus menetap karena terjebak hujan deras. Aku tersenyum lega memandangnya, setidaknya ada seseorang yang menemaniku selain rintik hujan yang sangat berisik. Dan dia tidak buruk. Lihatkan kesan pertamanya sangat ramah. Dia juga tipe yang mudah bergaul karena kupikir dia bisa mencairkan suasana yang tadinya sempat kaku.

Namun sesuatu di tangannya membuat senyum bahagiaku seketika lenyap. Tatapanku jatuh tepat pada payung yang ada di tangan kirinya, dengan posisi hendak mekar.

Tunggu, apa artinya ia akan segera pergi? Maksudku, dia akan meninggalkanku seperti sebelumnya? sendirian?

Bolehkah aku mengumpat?

Payung sialan!

"Ambilah, aku tidak membutuhkannya," tangannya tiba-tiba terulur menyodorkan payung warna merah yang baru saja aku maki-maki presensinya. Aku terdiam, mencerna perkatannya yang sedikit membingungkan. Bukan, bukan masalah ucapannya. Aku tau ia menawarkan payung, yang kubingungkan kenapa ia begitu baik? Maksudku, kita orang asing. Dan kau taukan itu akan aneh?

Tatapan teduh dan senyum tipisnya benar-benar terlihat tulus. Aku tak tahu manusia setulus ini hadir di dunia, di tengah keserakahan, keegoisan. Dan dia baru saja mementingkan urusan orang lain.

Aku menggeleng mantap, "Tidak perlu, aku—" belum sempat aku melanjutkan kalimatku lelaki itu sudah berlari menembus hujan dengan sebuah tas yang ia taruh di atas kepalanya, dan juga dengan sebuah payung yang ia tinggalkan tergeletak di lantai.

Astaga!

Buru-buru aku meraih payung itu, membukanya lebar lalu segera menyusul tanpa berpikir panjang. Lelaki itu sudah melewati gerbang dengan langkah lebarnya. Keluar dari area sekolah yang hanya meninggalkan percikan bekas pijakannya lalu menghilang di balik pohon.

Aku memutar pandangan, mencoba mencari tapi tak melihat seorang pun dengan seragam sama. Lelaki itu benar-benar menghilang. Secepat itu? Dia bukan hantu kan?

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya mengadah menatap payung merahnya yang terhujam air. Dan entah kenapa senyum kecil merayap di bibirku.

Siapapun kau, terimakasih.

Second RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang