21 - FIRST KISS

3.2K 314 32
                                    

Masih dalam posisi yang sama, ketika Rania sadar dari pingsannya pasca kontraksi yang sempat di alaminya tadi.

Rania mendapati tangannya tengah di genggam dengan cukup kuat oleh seseorang yang nampaknya duduk di sisi ranjang tempat tidurnya saat itu. Aroma maskulin yang terhirup oleh indra penciumannya dapat dengan mudah membuatnya tahu bahwa sosok yang kini ada di sampingnya adalah Rakha.

Bahkan, hanya dengan menghirup aroma tubuh Rakha saja, hati Rania bisa merasa lebih tenang. Dia merasa terlindungi dengan keberadaan Rakha di sisinya.

Rania menggerakkan tangannya, meraba ke arah bahu, lalu kepala Rakha. Sepertinya Rakha sedang tertidur pulas. Kepalanya tertelungkup bertumpu pada sisi ranjang. Bahkan lelaki itu sama sekali tak bergerak saat jemari Rania kini membelai rambutnya. Membelai dengan penuh kelembutan. Sepulas senyum terbit di wajah pucatnya.

"Rambut kamu tebel juga, lurus, halus... Sehalus hati kamu..." gumam Rania tanpa sadar. Toh Rakha sedang pulas tertidur, dia tidak mungkin mendengar juga? Pikirnya dalam hati.

"Seandainya aja aku bisa melihat lagi, orang pertama yang mau aku lihat cuma kamu, Kha... Walau kadang nyebelin, suka ngatur, merintah ini itu, tukang ceramah, bawel, rese, tapi... Aku merasa, nggak ada satu orang pun di dunia ini yang memiliki hati setulus kamu, sesabar kamu. Padahal, aku sering banget judesin kamu, marah-marah nggak jelas, bahkan berbuat kasar, tapi kamu nggak pernah marah, kamu terus tertawa menghadapi aku... Udah hampir satu bulan kebersamaan kita, tapi aku merasa seperti udah kenal kamu bertahun-tahun, Kha... Makasih ya?"

"Iya, sama-sama,"

Rania tertegun sesaaat.

Ke dua bola mata wanita itu membulat. Saking kaget. Bahkan reflek dia menarik cepat tangannya yang saat itu masih terus membelai kepala Rakha. Wajahnya yang memang sudah pucat, jadi bertambah pucat.

Rakha meneggakkan kepalanya. Senyumnya terkembang lebar.

"Gu-gue kirain lo tidur!" ucap Rania terbata. Sungguh, dia benar-benar malu.

"Iya, tadi saya memang tidur. Tapi, saya bermimpi dalam tidur saya, kalau ada seorang bidadari cantik yang mengelus-elus kepala saya dan terus memanggil nama saya, makanya saya jadi bangun," elak Rakha berdalih.

Rania tahu Rakha sedang berbohong. Lelaki itu memang pandai sekali menggombal dan mengarang cerita fiktif.

"Sejak kapan lo bangun?" tanya Rania lagi. Setidaknya dia perlu memastikan apakah Rakha mendengar semua ucapannya tadi? Kalau iya, bisa gaswat jadinya. Mau dikemanakan harga dirinya? Aduuhh...

"Mungkin... Sekitar lima belas menit yang lalu," terka Rakha menimang-nimang. Sesungguhnya, dia mendengar semuanya. Dia mendengar semua yang baru saja dikatakan Rania saat gadis itu terus membelai kepalanya. Dan hal itu cukup membuat Rakha yakin, bahwa kini, Rania sudah mulai bisa menerima kehadirannya dengan hati yang terbuka.

Tubuh Rania bergetar, saat jemari Rakha meraih ke dua tangannya. Mengecup perlahan masing-masing dari punggung tangan istrinya. "Saya juga ingin mengatakan terima kasih sama kamu,"

"Terima kasih buat apa?"

Rakha memajukan kursi lipat yang dia duduki. Masih dengan tangan Rania dalam genggamannya yang dia jadikan sanggaan dagunya.

"Jujur Rania, jauh sebelum takdir mempertemukan saya dengan kamu, saya tidak pernah merasakan apa yang orang lain katakan soal cinta. Bahkan saya tidak pernah perduli tentang apa itu cinta, seperti apa rasanya jatuh cinta. Karena yang saya tahu, satu-satunya wanita yang saya cintai sejak dulu hanya Umi. Selebihnya, ada wanita hebat yang begitu saya sayangi dan hormati, yaitu Mbak Siti. Lalu Aisyah, Latifah. Mereka wanita-wanita yang ada di sekeliling saya selama ini. Selain dengan mereka, saya tidak pernah sedekat ini dengan wanita manapun. Kamu yang pertama dalam hidup saya, Rania. Dan berharap akan menjadi yang terakhir juga. Terima kasih karena telah membuat saya mengerti bagaimana rasanya mencintai..."

DEAR RANIA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang