| Bagian Sembilan Belas

2.3K 195 8
                                    

Ketika saya menyatakan sebuah rasa. Pantas, kah, saya sebenarnya?

***
Tando dan Akash tengah mengobrol.  Keadaan telah mencair sedari tadi semenjak semalam, Tando mengatakan semuanya. Dan pagi ini, baik Akash, Gema, dan Elang tidak mau terlalu larut dalam kesedihan. Mereka yakin yang selama ini telah mereka lewati dengan Tando adalah yang terbaik untuk lelaki berkulit kuning langsat sedikit pucat itu.

Gema terlihat sedang menyemprot tubuhnya dengan parfum kesayangannya. Parfum dengan tempat berbahan kaca berwarna biru kilat.

Elang menghampiri Akash, lalu memukul bahu lelaki itu dengan pelan. Ia mendekati Akash, membuat Akash mengernyit bingung. Tumben sekali Elang mengkodenya dahulu untuk memulai pembicaraan.

Sekarang, Tando tengah bersama Gema. Tando memilih meninggalkan Elang yang kelihatannya ingin berbicara hanya dengan Akash. Yang terakhir Akash lihat adalah, Tando tertawa saat untuk yang kedua kalinya, Siti mengambil tissue basah milik Gema, lalu sengaja memoleskan-nya ke arah ketiak.

"SITI! ITU MAHAL, SITI!"

***
Elang mengotak-ngatik kontak peralatan alat tulis milik Akash yang terletak asal di atas meja.

"Mau ngomong apa, Lang?" tanya Akash langsung ke inti.

Elang menoleh, lelaki itu memposisikan badannya lebih tegak melihat si lawan bicara. "Menurut lo, hantu Lab IPA masih suka sama gue nggak?" Elang memasang ekspresi serius.

Akash menahan tawanya yang baru saja telah gagal. "Lo sampai buat Tando pindah posisi, Lang. Cuman mau ngomongin itu?"

Elang mengangguk jujur. Memang, Elang ke sini hanya untuk menanyakan itu. Ia masih bingung dan bertanya-tanya belakangan ini.

"Tapi, yang buat gue bingung, dia nggak pernah muncul lagi di LAB. Setiap kita lewat buat mau pulang, dia nggak pernah ada. Apa itu bukan rumahnya lagi, ya?" Elang melontarkan pertanyaan, masih tentang hantu penunggu Lab.

Akash mendekat, memasang mimik wajah tak terdeteksi ekspresinya.

"Bingung atau kangen?"

Elang kaku, dan diam di tempatnya. Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya untuk merasakan kangen pada makhluk astral itu.

"Gila lo! Gue panggil mbak kunti buat bantuin lo mandi tahu rasa!" kata Elang, laki-laki itu tampaknya tidak main-main.

Akash menatap Elang kali ini dengan tatapan datar. Lelaki itu memang cepat sekali berganti ekspresi. "Biarin, lah. Emang lo aja yang bisa dibantuin mandi? Gue juga mau," kata Akash membuat Elang membelalak.

"Gue nggak pernah dibantuin mandi sama hantu, Kash. Tolong, sadar." Elang yang tampak percaya. Bukan tanpa alasan, tapi lihat lah, Elang kini menggoyang-goyangkan kedua bahu Akash. Seolah menyuruh lelaki itu agar tidak lagi mengatakan hal semacam itu.

***

Setelah berhasil membuat Elang tidak percaya dengan lelucon yang gagal dibuat Akash, karena dia memang tidak pernah ahli. Di SMA Bayu Dharma, Akash mendatangi kelas Alle. Lagi-lagi, semua orang menatap tidak suka ketika Akash semakin mendekat ke arah Alle. Mungkin, yang ada di pikiran mereka adalah Akash yang sudah salah orang. Seharusnya, Akash bukan dan tidak usah mendekati Alle. Karena bagi mereka kebanyakan, Akash bisa mendapat yang lebih dari pada Alle. Sementara gadis itu? Lihat saja, sangat kasihan. Hidupnya merana dan sangat gelap.

"Najis banget ngelihat cowok ganteng kayak dia semacam ngejar-ngejar Alle, cantikan juga Alatha," ucap salah satu mulut julid yang ada di ambang pintu kelas.

Lagi, seseorang menyahutinya dengan membenarkan cibiran tersebut.
"Kayak nggak ada yang lebih dari dia aja, mereka berdua itu nggak cocok, mata gue sakit lihatnya," ucap si mulut pedas.

Tak perlu disebutkan namanya, mereka semua ber-alat kelamin perempuan. Tapi, yang membuat orang lain dijamin terperangah adalah ketika seorang lelaki yang tampak ikut-ikutan membuat gosip baru.

"Eh, gue rasa si Alle pakai pelet, deh. Gue yakin one hundred percent!"

Fix, dia tampaknya sering bergaul dengan perempuan tukang mencibir yang ada di sekitaran sini. Lihat saja, dari lenggak-lenggoknya, juga bibir yang sedikit merah. Tampaknya ia memakai lipstik mahal dan keluaran terbaru, limited edition yang sedikit transparan.

Mereka terlalu sibuk merecoki kehidupan orang lain, ditambah hal buruk yang tentu saja seribu persen tidak benar. Bisa dilihat dari topik mereka yang jauh dan sangat mengada-ngada dari yang nyata. Hingga semua insan yang tengah membincangkan pasal Alle tak sadar bahwa Akash sudah ada di samping mereka, ia mencolek bahu salah satu cewek berambut lurus non alami, sepertinya itu hasil dirolling.

"Permisi, boleh minta tolong, nggak?" tanya Akash dengan penuh rasa hormat.

"Eh, e-em, boleh, kok," sangat jelas, ia dan kedua teman seperguruan julid nya terlihat kaget akibat kedatangan Akash yang tiba-tiba. Ditambah lagi, ada Alle yang sudah berada di samping lelaki tegap itu.

Akash mengangguk. "Boleh lo ngomong sekali lagi, yang tadi kalian bicarakan?"

Mereka langsung gelagapan. Saling menujuk satu sama lain dengan atas dasar 'bukan gue yang bilang'. Semua orang juga sudah tahu pasal taktik tersebut. Akash tidak mudah ditipu, apa lagi untuk hal sebodoh dan setidakpantas ini.

"Dengar!" Akash berucap sedikit kuat. Membuat semua orang yang ada di sana melihat ke arah Akash. Ia tidak peduli lagi, ini demi Alle. "Perempuan, kan? Seharusnya bisa jaga omongan. Setau gue, perempuan harus bisa jaga sikap. Gue nggak bilang laki-laki bebas dalam berucap dan bersikap buruk, tapi alangkah baiknya perempuan lebih mengutamakan hal itu," Akash memberi peringatan lewat matanya. "Alle bukan yang seperti kalian bilang.Dan, gue yakin, kalian nggak jauh-jauh dari perkataan kalian sendiri. Karena ucapan mewakili diri sendiri. Bagaimana kalian berucap, ucapan itu akan mencerminkan siapa diri kalian." Akash menarik tangan Alle menjauh dari mereka. Gadis itu tampak sedih karena ucapan mereka barusan.

***

Akash membawa Alle ke tempat yang lebih nyaman. Di taman sekolah yang terdapat pancuran dari kolam ikan yang ada di tengah-tengah area taman.

"Ini," Akash mengeluarkan sapu tangan berwarna kuning itu lagi. Sapu tangan yang sempat Alle tolak kemarin karena ia rasa tidak penting.

"Le, terima..." Akash menatap Alle lama.

Alle menatap sapu tangan itu. Ia tidak punya pilihan lain selain menerimanya saja. Meskipun, warnanya terlalu terang. Dan, Alle tidak pernah suka warna-warni seperti itu.

Alle menyeka air matanya yang sudah mereda.

"Gimana? Sudah suka warna kuning?" tanya Akash, lelaki itu menatap Alle penuh pemahaman.

Ia menggeleng. "Masih nggak suka,"

Akash mendekatkan jarak posisi duduknya, semakin mendekat kali ini ke Alle. "Kenapa? Yang salah dari warna terang itu apa?"

Alle sensitif dengan pertanyaan itu, ia langsung memberi Akash tatapan sengit. "Kamu nggak akan pernah tau, Kash. Saya yakin, kalau kamu tahu, mungkin kita nggak akan pernah sedekat ini." Alle kembali menduduk.

Ada yang aneh yang Alle rasakan. Aliran hangat yang mengalir di tubuhnya saat ini disebut apa?

Akash, lelaki itu tak kalah diamnya. Ia tidak lagi mengatakan atau memulai topik pembicaraan. Tidak tahu, bingung harus mulai dari mana.

Lima menit hanya diisi napas mereka masing-masing dan suara air pancuran yang terus jatuh mengenai kolam ikan di bawahnya. Terdengar jelas karena tempat ini sangat sepi.

"Le," akhirnya, setelah waktu lima menit itu berhasil mereka lewati dengan pikiran masing-masing. Akash memutuskan mengawali pembicaraan, lagi.

Alle menangkat kepalanya, menghadap lelaki itu.

"Tolong percaya, kalau saya menyukaimu sejak lama."

-TBC-

After Meet You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang