Semua mahluk ciptaan Tuhan adalah untuk disayangi, bukan disakiti.
***
Pagi hari menyapa. Akash mendatangi rumah Alle. Ia memutuskan untuk menjeput Alle ke sekolah pagi ini. Kali ini, Akash memberanikan dirinya untuk memasuki rumah yang dulunya hanya berani ia pandang dari jauh.Akash membuka helm-nya, suasana sangat sepi. Akash tidak ragu untuk melangkah maju. Ia kali ini telah sampai di ambang pintu setelah sebelumnya mengikat tali sepatunya yang sempat terlepas dari ikatannya.
Tanpa Akash ketahui, sudah ada keempatnya di sana. Albar yang tampak ingin pergi ke kantor dengan jas berwarna biru tua nya, Vania dengan baju berwarna cream, Alle dan Alatha yang mengenakan seragam sekolah.
Semuanya tampak kaget, namun Alle sudah tahu kalau Akash akan datang pagi ini ke rumahnya.
"Permisi," ucap Akash menatap berbeda ke arah Vania dan Albar. Ia langsung teringat akan bagaimana sikap mereka yang buruk pada Alle.
"Siapa?" tanya Albar pada Akash.
"Saya Akash, Om, Tante. Temen-nya Alle," jawab Akash berusaha sebiasa mungkin menjawab pertanyaan tersebut.
Detik itu juga, dimenit yang sama, raut muka Albar dan Vania langsung berubah total. Mereka pikir itu adalah pacar Alatha, karena Akash ganteng, tinggi, dan sepertinya memiliki pribadi yang baik.
"Mau apa ke sini, kamu?" tanya Vania kini.
"Mau pergi bareng Alle ke sekolah, saya mau nganter dia, Tante. Kami satu sekolah," ucap Akash masih tenang. Ia menatap Vania datar.
"Nggak. Alle bareng Papanya, Albar," ucap Vania, ia lantas berdiri.
Alle mengangkat kepalanya, padahal ia tadi sedang memakan sarapan. "Papaku? Sejak kapan Mama anggap Papaku itu Papa Albar? Bukannya cuman aku sendiri yang beranggapan seperti itu?" tanya Alle.
Vania melempar tatapan tajam ke arah Alle. Membuat Alle hanya mampu terdiam bak bisu.
"Ayo, Alatha, Alle. Kita berangkat," ajak Albar bersikap seolah sok baik dan adil pada kedua anaknya. Ia hanya berbekal menggunakan topeng belaka.
Alle berdiri, disusul dengan Alatha yang menatap Akash. Baru saja Albar, Alle dan Alatha hendak mendahului Akash setelah ketiganya meneguk air bening di atas meja, Akash langsung menahan Albar yang berjalan.
"Kenapa Om nggak seperti biasanya?" tanya Akash, ia menaikan satu alisnya heran.
Mendengarnya, Albar memundurkan kedua kakinya bergantian. "Apa maksud kamu?" tanya Albar.
Akash berdecak pelan. "Om, jangan pikir saya nggak tau gimana perlakuan Om dan Tante selama ini kepada Alle," ucap Akash memberanikan diri. Toh, dia sudah sampai dan telah berbicara seperti itu. Jadi sekalian saja dia ungkap semuanya pagi ini.
Alle yang mendengarnya sudah waspada, takut-takut Albar akan emosi dan melakukan hal-hal di luar nalar pada Akash. Namun, Akash memberi keyakinan lewat tatap matanya bahwa tidak akan ada yang terluka, apalagi dirinya.
Vania bersuara, ia mendekat ke tempat Akash berdiri. Tepatnya satu langkah di depan pintu. "Kamu ini, baru satu kali bertemu kami, kamu sudah nggak tahu sopan santun," kata Vania. Nadanya sangat tak enak didengar.
"Begitu?" Akash memajukan langkahnya sekali lagi. "Jadi, perlakuan-perlakuan nggak baik, dan kekasaran-kekasaran terhadap anak kalian sendiri yang saya bilang ini, nggak benar kebenarannya, begitu'kah?" Akash berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Suasana pagi menjadi runyam seperti ini, seharusnya jika Akash diizinkan pergi bersama Alle ke sekolah, pasti situasi akan kondusif. Tapi ternyata Vania dan Albar malah memancingnya untuk mengungkap semuanya di selubung sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Meet You
Teen Fiction"Tuhan, kata Mama dan Papa, Alle tidak pernah diinginkan untuk ada di antara keluarga ini, kata mereka, Alle seharusnya tidak menjadi bagian mereka. Bahkan, kata mereka Alle tidak pantas untuk hidup. Alle terlalu merepotkan, ya?" "Alle pengin pulang...