Kenapa harus Mama dan Papa yang menjadi penghalang? Kenapa nggak orang lain aja?
-Alatha.***.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Hingga hari ini, adalah penentuan yang akan lolos untuk mengikuti olimpiade.Alle beserta murid yang lainnya sudah ada di sana. Menunggu hasilnya. Mereka kembali dikumpulkan di ruangan yang sangat sejuk akibat udara tak alami ini.
Alle duduk dengan seseorang siswi cantik dari kelas lain, tapi agak sedikit berjarak.
Para guru yang seminggu ini membimbing mereka kembali memasuki ruangan yang hawanya sudah sangat dipenuhi dengan harap-harap keberhasilan menghampiri mereka.
Alle terus berdoa agar dia bisa mencapai tujuannya. Karena, Alle selalu menerapkan usaha diiringi dengan doa. Itu dapat membuat Alle sedikit tenang dan percaya bahwa usahanya akan berhasil jika disertai permintaan kepada Tuhan asalkan tujuan dan niatnya baik.
Guru sudah tersenyum di depan sana. Pertanda, sudah mendapatkan tiga calon dari beberapa belas orang yang tengah menunggu.
Salah satu guru maju mendekati meja para murid. "Ibu bangga sama kalian. Yang selalu Ibu lihat, adalah kalian yang nggak pernah main-main dalam bimbingan ini. Ibu yakin kalian bakal jadi orang sukses walaupun nanti gak lolos. Terima kasih, semuanya," ucap Guru itu memulai pengumuman.
"Oke, langsung saja to the point. Orang pertama yang lolos adalah..." Guru berkacamata sangat tebal itu melihat mereka satu persatu. Kemudian, ia menunjuk seseorang. Siswi paling pojok kiri itu menunjuk dirinya sendiri tak percaya. Namun, ketika Ibu Guru mengangguk meyakinkan, barulah ia tersenyum lega.
Alle sudah sangat khawatir kalau ia tidak lolos. Padahal, ia sudsh berusaha semaksimal dan semampunya.
"Selamat," ucap Guru itu tersenyum. "Orang kedua adalah..." Kembali, mata wanita paruh baya itu melihat dimulai pojok kanan hingga kiri. Lalu, ia langsung menyebutkan salah satu nama.
"Clantia dari kelas IPA 4," ucap Guru tersebut dengan senyum menunjukan gigi-gigi nya. Gadis sang empunya nama langsung mengucapkan terima kasih kepada guru tersebut dan langsung memeluk teman sekelasnya yang juga ikut dalam pelatihan ini.
Oke, rasa percaya diri Alle mulai hilang. Sepertinya, kesempatan itu memang tidak untuknya?
Alle menghembus napas pasrah. Baik, kali ini apapun keputusannya dia rela. Toh, jika bukan untuknya. Berarti di lain kesempatan akan jadi miliknya seorang.
Tetapi, orang-orang juga punya rencana, bukan cuma semesta. Karena, di detik Alle sudah tidak lagi berharap, namanya disuarakan.
"Orang ketiga, dari kelas IPA 1. Alle," Guru tadi melihat ke arah Alle dengan senyum yang masih sama seperti menyebutkan nama sebelumnya. Hanya saja, orang-orang di sekitarnya yang tampak melirik ke arahnya. Tidak tahu apa arti lirikan itu, yang jelas Alle tidak mau peduli.
Ia membuka kedua matanya lebar dengan bibir yang masih tak percaya akan hal yang baru saja didengarnya langsung. Sangat senang rasanya mendapat hal yang memang sangat ia butuhkan. Selain dari ingin mendapatkan hadiah itu, Alle juga mau bertemu dengan banyak saingan dan melatih kemampuan dibilang ini.
Alle menganggukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih dan penghormatan.
Kemudian, salah satu guru yang tadinya berada di belakang mulai mengambil ancang-ancang untuk mengucapkan sepatah dua patah kata untuk menyemangati mereka dalam olimpiade kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Meet You
Teen Fiction"Tuhan, kata Mama dan Papa, Alle tidak pernah diinginkan untuk ada di antara keluarga ini, kata mereka, Alle seharusnya tidak menjadi bagian mereka. Bahkan, kata mereka Alle tidak pantas untuk hidup. Alle terlalu merepotkan, ya?" "Alle pengin pulang...