TAC 20.

206 34 0
                                        

- Bisakah kata 'dendam', untuk masa lalu kita ganti dengan kata peduli? Bukankah sesuatu yang positif seperti itu bisa membuahkan hasil yang baik? Ya..kau terlalu menyayangi masa lalu hingga kau tak ingin kehilangan masa itu di masa sekarang.-

- Kebenaran yang keluar dari setiap perkataan kita, yang membuat rumit segalanya. Menjebak kita pada sebuah pilihan atas dasar rasa bukan lagi logika-

04.00 PM,

" Saeng~a.." Sapa Eunwoo, dan Jisoo mencoba menjawab panggilan dari oppa nya itu.

Jisoo mencoba memperhatikan dengan baik Eunwoo yang berdiri di hadapannya, lalu ia mendecak sebal saat melihat bagaimana penampilan Eunwoo. Mereka bertemu seminggu yang lalu dan lihatlah saat ini, Eunwoo tidak ubahnya seperti pria yang sedang ditinggal pergi kekasih hatinya. Tidak terawat.

Melihat penampilan Eunwoo membuat hati seorang Kim Jisoo menjadi sedikit sesak, ia mengingat kembali kenangan beberapa tahun silam. Mengingat bagaimana Eunwoo selalu menjadi tameng di saat ayahnya ataupun ibunya berusaha menambah lukisan kebiruan di atas tubuhnya. Ketergantungan mereka satu sama lain membuat keduanya terjebak dalam perasaan lebih dari sekedar adik dan kakak. Namun, semua berubah saat ayah Eunwoo mengetahui hubungan mereka, dan memberikan ancaman akan menghapus nama Eunwoo dari daftar ahli waris. Sejak saat itu Eunwoo mulai berubah, tapi tetap saja  Eunwoo memberi Jisoo sebuah tali pengekang yang tidak kasat mata yaitu 'ketergantungan dengan keberadaannya'. Sehingga, mau menghindar sejauh apa pun Jisoo dari Eunwoo tetap saja pada akhirnya kaki kecil Jisoo perlahan akan kembali padanya.

Saat ini semua kembali pada diri mereka masing-masing, sudah banyak kebenaran yang terbuka di sekitar mereka.

" Eunwoo~sii? Sedang apa kau berada di sini? Bahkan tempat ini jauh sekali dari apartemen maupun rumah ayah." Jisoo bertanya pada Eunwoo dengan mengedarkan pandangan ke sekitar tempat ini.

Eunwoo mengusap wajahnya kasar sembari menghela nafas " Berhenti paranoid seperti itu Soo~ya. Bisakah kau tidak memanggilku dengan seformal itu? Aku tidak memintamu untuk memaafkan aku. Tapi jujur, aku belum bisa memejamkan mataku dengan baik sejak terakhir kali kau datang ke rumah," suara Eunwoo terdengar begitu lemah dan sarat akan keputusasaan di telinga Jisoo.

Jisoo berusaha menahan air matanya turun di balik kacamata hitamnya, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang menimpa dirinya yang mengharuskannya membayar dengan lelehan air matanya? Tidak cukupkah Tuhan sudah menjadikan dirinya pembunuh bagi tiga orang di masa lalunya, dan bahkan sangat mempengaruhi kehidupannya di masa sekarang. Kenapa di saat ia benar-benar ingin lepas dari bayang-bayang masa lalu, membiarkan semuanya terjadi begitu saja sebagaimana mestinya, selalu saja ada yang memperumit segalanya.

Jisoo mengepalkan tangannya kuat-kuat, masih ada ribuan kalimat yang ingin dia lontarkan pada laki-laki yang pernah membuatnya merasakan indahnya jatuh cinta di sela-sela kejadian pahit di masa lalu. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa kenangan indah itu masih memiliki tempat tersendiri di sudut hatinya. Jisoo melangkahkan kakinya menjauh dari Eunwoo, namun ucapan gadis itu sebelum benar-benar pergi cukup membuat Eunwoo bersorak kecil.

Ingat apa yang diucapkan oleh Jeon Jaehyuk kan? Sepahit apa pun cinta yang dialami, kau akan tetap mengenang rasa manis yang tertinggal walaupun sesedikit apa pun itu seperti kue delimanjo.

" Aku tunggu di mobil" ucap Jisoo sebelum dia berjalan mendahului Eunwoo.

Lagi sekali lagi gadis itu rupanya masih terjebak dengan kenangan manis di sudut hatinya bersama Eunwoo, seorang pria yang berjarak enam tahun lebih tua darinya. Apa benar gadis itu masih labil dengan perasaan di hatinya? Sehingga ia memilih mendekatkan diri pada Eunwoo sekali lagi? Kemana logikanya, apakah dirinya tidak mengingat jika usianya bukanlah usia remaja lagi. Kemana sikap yang ia lontarkan tentang sebuah kelabilan pada Seokjin tadi di mobil?.

Truth and Choice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang