TUJUH

274 147 410
                                    

Sebelum kejadian di Toserba.
______________________________

FLASHBACK ON

Matahari pagi menyeruak memenuhi sudut kamar yang terlihat begitu luas dengan didominasi perpaduan warna biru dongker dan abu-abu.

Aksel keluar dari kamar mandi mengenakan kaos putih dengan rambut basahnya dia terlihat begitu charming.
~Masih pagi loh Sel, mau bikin iman goyah aja.

Dia mengambil gelas berisi air dari nakasnya kemudian berdiri di depan kaca jendela sembari meminumnnya, menatap jauh kedepan dan dia sangat tampan gila!

Aksel menghela napas panjang, dia beralih memandang ke jam dinding yang menempel di sisi kamarnya. Pukul 6 pagi.

Aksel menatap tangan kirinya, perbannya sudah berganti dengan kapas yang tertempel plaster luka di kedua sisinya, Aksel tersenyum tipis, "oke ayo kita mulai Sel." Senyum Aksel tak pernah pudar dari singgasananya.

***

Terlihat seorang pria berumur kisaran 20 tahun tengah duduk di ayunan di pekarangan rumah yang terlihat begitu megah sembari menikmati secangkir kopi di tangannya.

Aksel keluar dari pintu rumahnya dengan Hoodie hitam dan celana jins nya. Dia tidak menyadari keberadaan pria yang sedang duduk disana.

"Woi!" Seru Andreas. Dia adalah kakak Aksel nomor dua sebelum kakaknya yang pertama. Kakak, dari Ibu yang berbeda. Mereka berdua tidak pernah akur meski tinggal satu atap.

Aksel terhenti dari langkahnya, tatapanya berubah datar. Dia diam tanpa berbalik.

"Woi budek Lo?"

Aksel berbalik menatap Andreas tajam. Andreas berdiri dari duduknya, ia meletakkan kopinya kemudian berjalan mendekat ke arah Aksel dengan senyum piciknya.

Jarak mereka kurang dari 2 meter. "Pagi-pagi gini mau kemana? Mau cari cewek buat Lo tidurin? Harusnya malem gak pagi-pagi gini." Ucap Andreas tajam menusuk.

Aksel mendekat satu langkah, tatapannya penuh kebencian. "Maksud Lo apa hah!"

Andreas mengangkat kedua tangannya dengan senyum ejekan yang dia lontarkan kepada Adik tirinya. "Wowowowo santai, bisa aja kan darah Ibu Lo nurun di Lo." Andreas mendekatkan wajahnya di telinga Aksel, dia sedikit berbisik. "Murahan!"

Emosi Aksel sudah tak terbendung lagi, dia melontarkan satu pukulan tepat di sudut bibir Andreas, akibatnya Andreas tersungkur ke tanah.

"JAGA MULUT LO!"

"Gue? Bukannya bener Ibu Lo tuh murahan!"

Tangan Aksel mengepal kuat, ketika satu pukulan lagi hendak melayang di wajah Andreas, datang seorang laki-laki berumur kisaran 8 tahun lebih tua dari Aksel menahan pergelangan tangannya.

"KALIAN BERDUA BERHENTI!" lerainya.

Dialah Adit, kakak sambung Aksel yang tertua. Sejak 7 tahun yang lalu ketika Ibu kandung Aksel meninggal, Adit adalah satu-satunya orang dirumah ini yang bisa menengahi dan mendinginkan pikiran Aksel. Bahkan dengan Ayah kandung dan ibu sambungnya pun sikap Aksel selalu dingin. Itu semua karena kematian Ibunya.

Andreas tertawa, dia berdiri menegakkan tubuhnya. "Apa? Mau pukul gue lagi? Masih bayi aja bisa apa Lo!"

"Udah! Aku bilang udah! Kalian tu kenapa sih hah? Pagi-pagi gini udah ribut, kalau Ayah sampai tau kalian gak malu? Kita itu saudara Sel, Ndre!" Adit menatap Aksel, "Sel," dia mengisyaratkan agar Aksel menurunkan tangannya.

Jomblo, Bodo Amat!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang