CHAPTER 21.1

347 70 32
                                    

CHAPTER 21.1

CERITA DARI SUDUT PANDANG MEAN PHIRAVICH

.

.

.

Mean menyayangi putranya, Mark Ratha-Vich/Mark Phiravich. Putranya adalah hadiah terindah yang Matenya berikan padanya. Dahulu, ketika Mean memutuskan menerima dan menjadikan Plan miliknya, Mean tidak pernah menuntut agar Plan bisa memberinya keturunan. Tidak sulit untuknya mengangkat anak, terlebih Plan sangat murah hati, jadi ketika mereka menikah, Mean sudah memikirkan perihal anak angkat yang hendak mereka rawat.

.

Takdir ternyata berpihak padanya, Plan seorang Carrier. Hanya saja kenyataan pedih lain adalah ketika Mean harus menerima kenyataan bahwa Plan tak bisa mengandung lagi setelah melahirkan dan rahimnya diangkat. Jadi, mereka hanya memiliki kesempatan satu kali untuk memiliki buah hati sendiri. Kondisi Plan tidak begitu baik sejak mengandung, tubuhnya sangat lemah dan Plan sering kehilangan nafsu makan sehingga Mean harus melakukan segala hal untuk menjaga kesehatan Matenya.

.

Dulu ketika Mark belum lahir dan kondisi kehamilan Plan sudah cukup tua, Mean mengobrol serius bersama God. Membahas banyak hal, termasuk kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi nanti. Dan Mean memilih untuk kehilangan seorang anak dibanding kehilangan Matenya, jadi God mengatakan jika kondisi genting dia akan memilih salah satu untuk diselamatkan. Hingga akhirnya peristiwa penyusupan itu terjadi dan perasaan Mean sangat terguncang, terlebih Mate-nya yang menjadi incaran. Dia sangat marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga pasangannya, hingga menghukum diri dengan berhari-hari tidak mengisi perutnya yang kosong dan mendiamkan Tin. Dia marah sampai tidak mengajak bicara semua orang, termasuk orangtuanya sekalipun. Selama Plan tidak sadarkan diri, Mean terus mengajaknya bicara sampai bibirnya kelu.

.

Mark selalu digendong Lena, Mean melupakan anaknya kala itu karena dirundung kesedihan yang mendalam. Pertama kali kakaknya memintanya menggendong, Mean tidak mau dan tidak sedikitpun melirik darah dagingnya sendiri. Saat itu dia kehilangan kepercayaan pada sosok kebanggaan sang mate, putra mereka.

.

Jika tuduhan Plan benar, Mean tidak perlu menunggu Mark tumbuh dewasa untuk menghilangkan nyawanya. Saat lahir, Mean bisa membunuhnya tanpa siapapun tahu. Tapi..... Mean tidak melakukannya, takut Istrinya mencari anak mereka dan berakhir meraung seperti orang gila karena kehilangan buah hati. Mean menekan egonya dalam-dalam demi kebahagiaan Plan, takdir hidupnya. Memilih menerima kenyataan bahwa putranya lahir dari rahim Istrinya, saat melihat Plan tersenyum bahagia setiap hari, Mean merasa bersyukur akan keputusan yang diambilnya saat itu. Istrinya terlihat sangat hidup, setiap hari merawat putra mereka dan selalu berlatih menjadi Ibu yang baik meski Plan seorang laki-laki.

.

Ketika Mark tumbuh remaja, Mean mulai membatasi pelatihannya dengan tidak memberinya latihan setiap hari. Mean mencoba menekan kekuatan dan potensi besar yang ada ditubuh Mark karena Mark masih terlalu kecil untuk memiliki kekuatan sebesar itu (saat itu usianya 10 tahun). Mean memahami dengan baik putranya bisa melampaui dirinya dan Perth, jadi dia tidak ingin mendidik putranya menjadi sekejam Perth dan tidak membiarkannya keluyuran kemana-mana. Mark bisa saja tumbuh menjadi biang onar jika tidak dididik keras olehnya.

.

Mean diam-diam selalu memikirkan sang putra, termasuk masa depannya. Karena itulah, di usia sekolahnya, Mean tidak mengijinkan Mark ikut campur urusan bisnis. Mean membiarkan anak itu datang dan pergi ke kantornya jika ingin, tapi tidak pernah membiarkan dia ikut menemui klien-nya. Mean membiarkan putranya fokus pada pendidikan supaya tidak menjadi sekaku dirinya.

.

Mean adalah sosok yang kaku, tidak aneh jika orang-orang sering salah paham padanya. Membatasi diri dengan membuat dinding tak kasat mata pada orang lain hingga terkesan begitu misterius dan dingin. Mean tidak bermaksud begitu, hanya saja sudah menjadi pembawaannya. Mean sangat tegas memberi keputusan, di perusahaan dan di pack, karena itulah Mean begitu dihormati.

.

Siapa sangka, tingkah lakunya membuat sudut pandang orang salah mengartikannya. Tak terkecuali Rathavit, orang yang telah dijadikan pelabuhan hidupnya. Istrinya mengartikannya tidak menyayangi putranya, membatasi diri dengan putranya dan tidak mempedulikan darah daging mereka.

.

Mark tidak banyak mengobrol dengannya sejak tumbuh remaja, karena sebagian besar waktunya digunakan bersama Ibunya, Plan. Tidak pernah sekalipun Mark bertanya perihal kesibukan sang Ayah. Mean pernah kecewa karena hal ini, tapi dia berusaha memaklumi. Pikirnya sang anak belum mengerti karena masih kecil.

.

Mean selalu iri kala Mark dilatih oleh Warriornya, padahal dia sendiri yang memberi jadwal para Warrior untuk bergantian melatih putranya. Mark tampak tidak canggung bersama para pelatih-pelatihnya (Warrior), sementara ketika dirinya yang melatih, Mark tampak diam dan tidak berani menyela. Mean sejujurnya ingin juga sang putra bercanda dengannya, tapi Mark selalu berusaha menghindar ketika dia mengajak bercanda, atau bagi Mark candaan Mean sama sekali tidak lucu jadi tidak ada yang perlu ditertawakan.

.

Mark selalu menganggap ucapannya serius, termasuk tentang gertakannya perihal melumpuhkan keempat kaki Kengkla, hingga Mark selalu menekan Kengkla dalam tubuhnya ketika Alpha sedang berada di pack. Mark takut kehilangan sosok Werewolfnya yang sulit sekali ditaklukkan, jika Kengkla lumpuh untuk apa Mark bertahan? Seperti itulah sudut pandang Mean ketika membayangkan menjadi putranya.

.

Mean menganggap dirinya terlalu tega pada sang putra, tidak ada kebebasan berarti yang dia berikan pada putranya. Bahkan kebebasannya terkesan karena pelatihan, seperti ketika Prama yang melatih Kengkla berlari keluar tutorial. Menurut Mean itu sudah kebebasan yang cukup, tapi dia tidak pernah memikirkan perasaan sang putra.

***

HIDDEN PIECES  (The Next Story of ALPHA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang