08; Októ

3.4K 388 61
                                    

Coment yang banyak ya💚















🐰

Rhea berjalan santai menuju kelas, hari ini dia bangun terlalu pagi karena ada ayahnya dirumah. Sebenarnya malas harus berangkat terlalu pagi seperti ini, tetapi nasibnya hari ini mengatakan jika berangkat pagi membawa berkah.

Sebenarnya dia tidak menginginkan apapun dari cowok yang memiliki warna rambut coklat gelap itu, hanya saja Rhea memiliki alasan untuk melakukannya, alasan yang menurutnya sangat tidak masuk akal, tetapi apapun alasannya, Rhea harus tetap menjalaninya. Entah bagaimana takdir akan membawanya nanti, entah pada kebaikan atau justru keburukan, Rhea tidak tahu. Dia sendiri sadar jika dia memang se-brengsek itu, dia sadar diri.

"Woy cewek!!"

Seseorang memanggilnya dari belakang membuatnya menoleh, matanya menyipit tatkala seorang lelaki memakai jaket kulit keren mendekatinya, tumben amat gitu loh tuh cowok sendirian "Lo manggil gue?" tanya Rhea memastikan dengan jari telunjuknya menunjuk dirinya sendiri.

Disana Haekal mendengus "Bukan, bayang-bayang lo!"

Alis Rhea menyatu, dia kemudian memandang bayangannya sendiri "Lo yakin manggil bayangan gue?"

"Ealah guoblok tenan, ya elo lah anjir!"

Rhea baru sadar, dia mengerjap kemudian berbalik lagi untuk menutupi rasa malunya. Haekal kemudian mempercepat langkahnya untuk berjalan disamping Rhea.

"Ngapain sih lo deket-deket gue?!"

Haekal mendengus "Gue juga nggak mau deket sama lo, lo tahu nggak kalo aura lo tuh aura negatif semua. Jangan-jangan lo alien ya bukan manusia"

Satu gamparan sukses mendarat dibelakang kepala Haekal, dia meringis dibuatnya "Tuh kan, apa gue bilang" ujarnya membuat bola mata Rhea memutar.

Hanya diam, hening sampai Haekal kembali berceletuk, kali ini nadanya lebih serius "Nggak tahu kenapa, gue nggak suka sama lo"

"Itu hak lo"

"Dan gue rasa, itu karena lo berurusan sama Nala yang gue nggak tahu apa-apa"

"Jadi sahabat bukan berarti lo bisa ikut campur!"

Haekal menunduk "Lo tahu, Nala orangnya nggak gampang luluh, dia keras kepala, dan dia gegabah, itu yang bikin gue nggak bisa ninggalin dia sedetikpun"

Rhea rasa, persahabatan keempat cowok itu terlalu kuat untuk disebut sahabat. Beberapa hari terakhir saat Nana jarang ada dikelas, ketiga cowok itu terlihat tidak tenang, jujur saja dia takut untuk melangkah jika pawang Nana saja posesif seperti mereka bertiga.

"Nala dari kecil kesepian, dia sendirian, dia nggak tahu arah karena nggak ada yang ngrahin jalannya dia. Sementara gue, Tuhan baik banget sama gue, gue dikasih keluarga yang harmonis. Itu juga yang bikin gue punya tekad buat melindungi. Gimanapun, dia masih lebih muda dibanding gue, saat dia kalah kemarin, lo tahu gimana wajahnya kan?"

Rhea terlihat berpikir, mengingat bagaimana wajah Nana saat dia keluar dari mobilnya malam itu, setelah ingat dia mengangguk membuat Haekal sedikit tersenyum dan kembali memalingkan wajahnya "Gue, Reno, sama Jevano memegang amanah untuk Nala. Gue nggak tahu akhirnya gimana, tapi yang namanya amanah harus dijalanin kan?"

Alis Rhea menyatu "Amanah? Apa? Dari siapa?"

"Lo percaya kalau gue bilang dari mendiang Ibunya Nala?"

*

"Langsung aja, apa yang lo mau dari gue??" tanya Nana dengan wajah yang masih datar.

ÁRROSTOS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang