"Kamu berantem lagi?"
Seonghwa memijit pangkal hidungnya tatkala melihat Mingi pulang dengan penampilan yang berantakan. Memang sih, Mingi tak pernah rapi, hanya saja ini lebih berantakan dari yang biasanya—kancing kemeja yang sudah tidak lagi melekat ditempatnya, sudut bibir dengan darah yang sedikit mengering, dasi yang terpasang tapi tak terbentuk seperti yang seharusnya. Mingi benar-benar terlihat kacau.
"Ada tawuran pas jalan mau pulang,"
Mingi membenarkan posisi ransel yang iya sampirkan di bahu kanannya. Tanpa ada rasa salah telah membuat kakaknya khawatir sekaligus pusing dengan kelakuannya yang seperti berandalan gila, Ia berjalan melewati kakaknya dan masuk kedalam rumah begitu saja.
"Mingi."
Si Adik menghentikan langkahnya dan berbalik melihat si Kakak yang terlihat akan meluapkan emosinya, "Apa?"
Seonghwa menghela napas berat sebelum berkata, "Habis ganti baju, ke ruang makan, kakak udah masak."
Mingi tahu, kakaknya tidak akan memarahinya.
.
Mingi sebenarnya berbohong ketika berkata ia ikut tawuran, karena nyatanya pria jangkung itu melihat sesosok pria kecil yang akan dihajar sekumpulan preman. Hanya tiga, tapi Mingi yakin, si kecil itu tidak akan sanggup melawannya.
Dari kejauhan, Mingi lihat pria itu melawan dengan beberapa gerakan taekwondo, ia tahu karena pernah masuk kelas bela diri itu beberapa kali sebelum memutuskan untuk berhenti.
"Pft." Mingi terkekeh melihat pertarungan itu, sebelum akhirnya Mingi berjalan mendekat dan melerai—tidak sepenuhnya, karena berujung pertarungan sengit antara Mingi dan preman itu.
"Tidak seimbang. Kalian tiga dan anak ini sendirian,"
Keempatnya menoleh, melihat Mingi berdiri santai dengan ransel di bahu kanan dan tangan kiri yang ada di dalam saku celananya—terlihat songong.
Pria kecil itu melihat Mingi dengan seksama, seragam sekolah yang persis dengan miliknya, ia simpulkan jika Mingi satu lingkup pendidikan dengannya.
"Peduli apa kami bocah? lebih baik pergi dan jangan ganggu kami."
"Cih." Mingi mendecih sebelum mendekat dan meninju salah seorang dari mereka.
Preman itu terhempas jatuh, "BAJINGAN!"
Mingi melepas ranselnya dan dilempar begitu saja pada pria kecil yang masih kebingungan melihatnya, "Pegang saja itu dan menjauh dari sini,"
.
San merutuki dirinya kenapa mau saja menuruti pria asing itu. Sekarang ia duduk dikejauhan dan memperhatikan ransel biru navy di tangannya.
"Ck, Gue tau bela diri gue gak sebagus itu, tapi masa gue mundur gitu aja sih,"
San melihat jam tangannya, sudah lima belas menit. Apa orang itu mati disana?
San menggeleng ribut, "Gak lucu kalo tuh orang mati, gue gak mau dituduh trus masuk penjara."
Mingi datang dengan kondisi yang berantakan. San terkejut melihatnya. dia gak mati, pikirnya.
"Tas gue."
San langsung memberi ransel itu pada sang pemilik sebelum Mingi melengos pergi begitu saja.
"Woi!"
Mingi menoleh malas, "Apa?"
San menghampirinya dan berdiri dihadapan Mingi, menghalangi jalannya.
"Makasih, padahal lo gak perlu repot-repot ban—"
"Minggir."
San melongo. Andai saja ia tidak diajarkan soal tata krama dengan ibunya, ia akan pergi begitu saja tanpa mengucap kata terimakasih. Lagipula, ber-terimakasih bukanlah hal yang sulit. Setidaknya, sebelum pria tinggi dengan penampilan hancur ini mengubah presepsi awalnya.
"Gue cuma mau bilang makasih, kok."
Mingi berdeham tanpa melihat sosok dihadapannya yang seperti ingin memukul kepalanya dengan batu.
a/n :
ini apa gak ada yg kangen aku? :(
btw, abis hiatus bentar aja rasanya udah blank ya kepala T-Tini seger banget bund.