Timeline : Back in the days when Tay just graduated and had 2 months rest in Jogja.
"Selamat hari Ibu Mamaaaaa"
New tersenyum melihat unggahan video Tay pada instagram story. Ada mbak Muk yang memberikan setangkai mawar sambil merekam video, Papa yang memberikan Mama pelukan serta Tay dan Sasin yang berlutut di depan Mama, juga menyerahkan masing-masing setangkai mawar.
Video lima detik itu terus diulang-ulang New, suara mbak Muk yang terdengar paling keras dan terus menerus mengisi keheningan meja makan New. Pukul sembilan malam tidak terlalu larut untuk makan malam, bukan?
Video itu diulang terus menerus sehingga nyeri di dadanya terasa terus menerus, New mendadak menjadi seorang masokis. Air matanya menggenang entah karena sakit di dada atau karena makan malamnya terlalu pedas, yang jelas tangan kiri New yang dipakai untuk menyumpal mulut bergetar dengan hebat.
"Ah!" hentakan napas itu membuat New meletakkan ponsel ke atas meja dan bersandar pada kursinya, memandang ke sekeliling apartemen. Tidak ada siapapun selain dirinya sendiri. Kedua tangan dibawa untuk berpegangan kepada pinggir kursi dan New menggeliat tidak nyaman, keningnya berkerut dalam-dalam, kenapa sakitnya menjalar hingga ke ujung jari?
Satu tangan terangkat meremas bahunya sendiri, New juga ingin.
New juga ingin memeluk Mama-nya, New juga ingin memberikan selamat, kenapa sulit sekali rasanya?
New tidak ingin mengingat ini, tapi tak dapat disangkal jika traumanya terhadap suara hempasan pintu adalah manifestasi dari kebiasaan buruk Mama yang selalu membanting pintu saat marah, mostly when arguing with her now ex-husband.
Sampai sekarang jantungnya masih berdetak kencang saat melihat perdebatan, perdebatan yang sehat sekalipun. Lagi-lagi karena kebiasaan kedua orang tuanya yang suka berteriak satu sama lain, dan Mama masuk dalam hal ini.
Banyak luka yang New dapat dapat dari Mama dan ia sudah berusaha untuk merubah luka itu menjadi benci agar tak lagi punya perasaan apapun terhadap sang ibu, tapi New tidak bisa. Saat ia berusaha menipu diri bahwa ia tidak butuh ibunya, saat itu juga hati New berteriak tidak setuju. Semakin ia berusaha menutup mata terhadap kehangatan hubungan orang lain dengan ibu mereka, semakin keras suara gelak tawa mereka terdengar. Lagi-lagi, New yang sakit hati, New yang menangis.
Baiklah-baiklah bagaimana dengan menyerah terhadap rasa benci dan mengemis cinta kepada Mama?
New kembali meraih ponsel, menekan nomor Singapura yang tidak pernah ia hubungi, hanya bertukar pesan setiap satu atau dua bulan. Benda persegi panjang yang ditempelkan ke telinga kiri itu mendadak menjadi benda mudah pecah yang harus dipegang dengan kedua tangan.
Masuk! Panggilannya masuk!
Tapi tidak ada jawaban.
New menurunkan ponsel, memastikan jika waktu tidak terlalu larut untuk menelepon. Tentu saja tidak, masih pukul sepuluh malam waktu Singapura.
Sekali lagi, ayo coba sekali lagi.
Hanya melakukan panggilan tapi matanya sudah basah, cengeng sekali New!
New kembali menggenggam ponsel dengan kedua tangan, mengabaikan rasa sakit yang sudah menggerogoti seluruh tubuh. Dengan harap, nada sambung ini akan segera berganti jawab.
Namun nihil.
Tangis yang sudah ditahan-tahan kini mulai keluar suaranya, perlahan-lahan dan mulai berkesinambungan saat New menyerah, menyembunyikan wajah pada kedua lengan yang dilipat di atas meja. Menangis seperti anak kecil yang dimarahi orang tuanya di meja makan.
Ini tidak adil.
New merasa ini tidak adil. Kenapa sesuatu yang biasa dilakukan orang lain menjadi begitu sulit baginya? Orang -orang dengan gampangnya merayakan hari ibu, merayakan ulang tahun, sementara New tidak pernah sekalipun mendapat selamat dari orang tuanya di hari kelahiran. Apa kedua orang tuanya sama seperti New? Ingin sekali mengucap selamat namun kesulitan menurunkan ego? Kenapa kata selamat sulit sekali keluar kepada orang tuanya tapi begitu lancar kepada orang lain? New percaya diri bisa mengucap sayang seribu kali hingga Tay bosan mendengarnya, tapi kenapa satu kali kata sayang kepada kedua orang tuanya hanya tersangkut di tenggorokan?
Tangisan frustasi itu sudah berhenti. Berbantalkan meja keramik yang dingin New mengistirahatkan kepala, sengaja bertumpu pada pipi kirinya agar ponsel di sebelah kanan terlihat. Piring dan gelas sudah digeser ke tengah meja, ia kehilangan nafsu makan dan hanya memandang kosong kepada ponsel. Duduk sendirian di ujung meja makan berkursi empat dengan pencahayaan ruang yang temaram.
Hari-hari spesial seperti ini selalu menyakitkan.
Saat orang-orang bersuka ria New hanya bisa terdiam, mengira-ngira bagaimana rasanya ikut merayakan hari-hari spesial yang biasa menjadi waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Saling berterimakasih, saling mengucap sayang. Bagaimana rasanya?
New tidak semenyedihkan itu merayakan ulang tahun sendiri, merayakan hari ibu sendiri. Ia memilih tidak merayakannya sama sekali. Memangnya kenapa jika usianya bertambah? Apa angka hari ini akan membuat harinya berbeda?
Tidak-tidak. New tidak butuh omong kosong penyemangat, ia hanya butuh dikuatkan untuk menerima kekurangannya. Bahwa memang ia tidak punya banyak momen seperti orang lain, New hanya butuh memeluk dirinya sendiri sebagaimana adanya, bahwa inilah ia.
Ting!
Lamunan New terhenti karena denting pesan masuk. Tanpa ekspektasi apapun ia memperbaiki duduk dengan benar, menyentuh notifikasi dari Tay dengan cepat.
'Kata Mama anaknya kurang satu. Iya bener kurang satu soalnya mbak sama adek lagi jomblo hahahaha'
Kemudian ada foto Tay duduk di sisi kanan Mama dengan mbak Muk dan Sasin berdiri dibelakang. Sengaja mengosongkan sisi kiri, untuk New katanya. Pasti Papa yang mengambil foto.
New mendengus tersenyum, sebelum sudut bibirnya melengkung turun dan berkedut beberapa kali.
'Selamat hari ibu, Mama. Sehat selalu, New sayang Mama'
Balasan singkat yang diketik dengan cepat, sangat cepat tanpa berpikir dua kali.
"Mama.." bisik New menyentuh layar ponsel, masih di dalam ruang pesan Tay, masih kepada foto yang dikirimkan Tay untuk menyampaikan pesan Mama.
"Selamat hari ibu, Mama"
Tidak ada yang menjawab.
New mengangkat kepala, memandang ke sekeliling,
"Selamat hari ibu, Mama" ulangnya sekali lagi.
Masih tidak ada yang menjawab.
"Selamat hari ibu, Mama!" ulang New lebih keras.
Apa yang diharapkan? Tentu saja tidak ada yang menjawab.
"Mama.. selamat hari ibu.." kali ini dengan bisikan pelan karena tenggorokannya terasa perih sekali, lagi-lagi air mata menggenang.
"Mama.."
Dan dengan satu kedipan, bulir itu jatuh menimpa layar dengan foto keluarga yang menyisakan tempat untuk New. Dari Mama yang bukan Mama-nya, dari keluarga yang bukan keluarganya.
Selamat hari ibu, Mama.
26 Desember 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME - TayNew (Side Story)
RandomSomewhere in the future of HOME - TayNew where the story focus on their relationship. Please check the main story first, if you haven't.