6

197 25 7
                                    

Sudah tiga jam lelaki itu duduk di sana. Dengan peralatan melukis yang sudah di belinya beberapa hari yang lalu. Benar saja, dengan apa yang di katakan Leon tentang masa lalunya, justru menghasilkan pundi-pundi rupiah ketika ia menjual karya itu di internet. Sudah ada dua karya yang terjual disana.

Lelaki itu mendapat keuntungan yang lumayan banyak untuk kembali membuat modal dengan keterampilannya. Juga menyisihkan uang untuk ia simpan.

Leon termenung, lama memandang ke arah lukisannya. Ia merasa di luar kendali ketika tangannya bergerak cepat melukis wajah seorang perempuan, memang samar. Tapi Leon yakin ia pernah melihat dan melakukan hal ini sebelumnya.

"Syifa?" Leon bergumam sendiri. Benarkah yang di lukisnya itu wajah tunangannya? Tapi kenapa berbeda? Sebenarnya tema dari lukisan itu juga masih ngambang.

Mendadak kepala Leon terasa pusing. Dan juga tanpa sadar ia menjatuhkan kuas dan pewarna itu bersamaan. Ada yang ingin ia ingat, Leon tidak bisa menjangkau satu pun dari beberapa bayangan yang terlintas dalam kepalanya. Ouh!! Ringisnya.

"Kamu kenapa?" Syifa membawa segelas kopi, rencananya akan di berikan ke Leon untuk menemani kegiatan lelaki itu, namun cepat-cepat wanita itu menyimpannya dan berlari ke arah Leon yang masih terlihat memegangi kepalanya.

"Syifa... Aku.."

"Tenang ya, kamu mau ke rumah sakit sekarang?" Tawar Syifa. Leon menggeleng dan meminta untuk Syifa mengantarnya ke dalam.

-

Sedikit lebih baik. Leon terduduk, berusaha mengingat apa yang akan keluar dari dalam kepalanya, namun lagi-lagi sedikit pun tidak bisa ia prediksi dengan cepat. Melihat hal itu, Syifa berpindah duduk ke sisi Leon. tangannya terangkat mengarah ke puncak kepala Leon, dan perlahan memijit kepala lelaki itu dengan santai.

"Jangan terlalu memaksakan. Kamu akan kembali mengingat semuanya, tapi tidak sekarang." Syifa terlalu peka, melihat Leon yang sedari tadi hanya memegangi kepalanya, ia yakin lelaki itu sudah berusaha semampunya agar bisa terbayangkan  apa yang sudah ia lewati sebelumnya.

Syifa membayangkan lukisan Leon, saat sekilas ia melihatnya. mendeskripsikan seorang perempuan anggun tanpa wajah yang nyata, perempuan yang pasti bukan dirinya. Ia tau bentuk yang nyata pada lukisan Leon terletak dengan bayangan hidung yang Leon lukis.  Sama sekali tidak seperti bentuk hidungnya. Tapi, dari mana lelaki itu mendapat inspirasi perihal perempuan yang ada di lukisan itu?

"Lukisan kamu? Apa pernah kamu tau tentang orang yang kamu lukis di sana?" Pelan-pelan wanita itu bertanya.  Sorot matanya tidak terlepas, memastikan Leon juga sedang memikirkan hal yang sama. Terlihat dengan jelas bahwa Leon masih berusaha tau apa yang sedang ia lukis.

"Syifa, aku??" Leon tidak bisa dengan gamblang bertanya. Leon tidak mungkin mengatakan pada wanita itu tentang lukisannya. Bagaimana kalau Syifa terluka hanya karna ingin memperjelas sketsa wajah dari lukisannya?

Di sisi lain. Leon sama sekali tidak menyadari bahwa Syifa tidak merasa kecewa, hanya perasaan takut yang ia punya sekarang. Takut jika saja benar lukisan itu ada hubungannya dengan masa lalu Leon?

Mungkin sebelum semuanya semakin terlambat. Syifa harus mencari tau lebih dulu bagaimana kehidupan Leon sebelum kejadian ini.

"Kamu membutuhkan istirahat." Kata Syifa yang akhirnya meninggalkan Leon sendiri di ruang tamu.

Sketsa wajah dari lukisan itu membuatku gila!!

***

Pagi sekali Syifa berkunjung ke rumahnya setelah lama tidak menginjakkan kaki di rumah itu. Ia tau ibunya sedang tidak berada di rumah, Syifa hanya akan mengambil semua isi dalam kamarnya lalu kembali ke kontrakannya. Tapi...

Syifa melihat isi dompet, sudah tinggal beberapa lembar uang seratus ribu. Syifa sudah menarik semua uang yang di kirim ibunya beberapa hari yang lalu. Sebenarnya jika menggunakan uang itu sendiri, Syifa akan cukup, namun Syifa memakai uang itu untuk kebutuhan Leon juga, lelaki yang masih harus meminum obat resep dari dokter. Juga pakaian yang di belinya kemarin, meski itu masih sangat kurang.

Syifa tidak menyangka. Saat membuka pintu terlihat seorang laki-laki tua, duduk di kursi. Laki-laki yang di rindukannya. Ya dia adalah pak Sandi. Ayahnya Syifa.

Mata Syifa memanas seketika, beberapa detik air mata itu kembali lolos dari pelupuk matanya.

"A-ayah," lirih Syifa. Tanpa ragu wanita itu berlari dan memeluk tubuh itu dengan erat. Ia sangat merindukan tubuh jangkung itu, degub jantung yang terdengar nyaring membuat Syifa akhirnya menangis kembali. Ada perasaan lega, setelah melihat ayahnya yang masih bugar.

"Ayah kemana saja?"

"Maaf Syifa. Ayah tidak bilang malam itu saat ayah pergi. Tapi,"

"Syifa tau, yah!"

"Terimakasih kalau kamu mengerti maksud ayah. Ibumu..."

"Ibu orang yang pertama melakukan pengkhianatan di keluarga kita kan? Syifa tau ayah bertengkar dengan ibu karna mendapatinya selingkuh!!"

"Syifa. Kamu jangan bicara seperti itu ke ibumu! Bagaimana pun dia orang yang sudah melahirkan kamu, sayang." Sandi mengusap puncak kepala putrinya, "jangan pernah membuat ibu tidak nyaman di rumah ini, apapun yang terjadi jangan membenci ibumu." Sandi mengingatkan putrinya. Menyudahi pelukan mereka, lalu menangkup wajah Syifa yang sudah berseliweran air mata.

"Ayah akan pergi sekarang,"

"Lalu, kapan ayah bawa Syifa pergi dari sini?"

"Syifa, kamu sudah besar sayang. Kamu sudah berumur dua puluh tahun."

"Terus kenapa ayah? Apa salah kalau aku mau ikut ayah sekarang. Aku tidak betah dengan ibu disini."

"Syifa. Tidak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan begitu saja, nak. Ada kalanya kamu harus berteman dengan keadaan. Kamu sudah cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri." Sandi kembali mengusap puncak kepala putrinya sebelum akhirnya ia benar-benar menghilang dari hadapan Syifa.

Tentu saja ini menyakitkan bagi Syifa. Namun kenapa ayahnya harus pergi sekarang? Setidak nyaman itu kah ayah di rumah ini? Kalau Sandi saja merasa tidak nyaman di sini, bagaimana Syifa yang harus tinggal dengan wanita itu?

***

"Bagaimana pak?"

Diandra bertanya, setelah beberapa hari pihak kepolisian menelfonnya, meminta agar wanita itu meluangkan waktunya. Tentu hari ini lah waktu yang di tunggu.

Pak Roland mengeluarkan satu lembar map coklat, lalu di berikannya ke wanita itu. Dengan terheran Diandra mengambil dan membuka perlahan.

"Itu adalah data perempuan yang sudah menabrak Rizky," pak Roland berucap pelan.

Diandra jelas terkejut mendengar bahwa dia adalah seorang perempuan. Lalu bagaimana nasib Rizky? Bagaimana mungkin mereka akan tinggal bersama, jika menurut kepolisian Rizky ikut bersama orang yang menabraknya itu.

Mendadak kepala Diandra terasa berat. Ia memegangi kepalanya lantas meringis pelan. "Anda baik-baik saja nona?"

Diandra menahan tangan pak Roland dan mengangguk. Memberi isyarat bahwa pak Roland tidak perlu mengkhawatirkan nya.

"Anda bisa melihat alamat di foto copy KTP dari wanita itu, dengan begitu anda bisa mengunjungi tempat di mana wanita itu tinggal." Ucap pak Roland. Diandra mengerti, hanya saja ia tidak akan melakukan itu sekarang. Sebelum pak Roland pamit pulang.












TBC!

Waktu dan tempat di persilahkan untuk memberi support.🤭♥️

A Storm Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang