7

194 22 4
                                    

Setelah berpikir lama, Leon akhirnya meng-klik tulisan yang menghubungkan seninya akan terpajang di barang jualan online. Ini untuk kesekian kalinya, lukisan yang terasa berat baginya untuk membagikannya ke media jual beli yang ada di internet. Ya, sketsa wajah seorang perempuan yang masih terus mengganggu pikirannya beberapa hari ini. Ia menyaksikan semakin banyak komentar yang meminta agar Leon menjual lebih banyak lukisan indah itu. Tampaknya lelaki itu tidak tertarik dengan beberapa customer yang menyuruhnya segera membuka galeri lukisan.

Tidak selang beberapa menit, sudah ada yang memesan. Secepat itu menjual sketsa wajah perempuan yang di lukisnya secara random. Leon membaca satu pesan lagi 'aku senang sang pemilik lukisan indah ini tidak memberatkan pembeli dengan harga yang kalian pasang, aku memesan satu. Tolong antarkan.... mendadak lelaki itu berhenti membaca. Lalu segera membalas isi pesan itu 'maaf sudah mengecewakan mu, aku mengurungkan niat untuk menjual lukisan saya yang ini. Bisa kah anda menunggu dengan lukisan saya selanjutnya saja?'

Leon tidak lagi menunggu balasan, dan segera menutup komputer itu. Matanya berbalik arah kembali memandangi wanita yang samar di lukisan itu. Berulang kali ia harus mengingat namun yang terjadi hanya berakhir dengan sakit kepala. Leon benar-benar tidak akan bisa menjangkau sejauh itu untuk mengingat atau sekedar mengenali wajah siapa gerangan yang tanpa sadar ia melukisnya.

"Sakit kepala lagi?" Syifa memerhatikan tingkah lelaki itu belakangan hari, Leon menjadi pemurung hanya karna tidak tau bagaimana ia akan menerjemahkan rasa penasaran yang terus menggelayutinya.

"Tidak, aku hanya..."

Syifa ikut duduk. Hatinya sudah mengerti untuk tidak lagi melanjutkan pertanyaannya. Tapi, kenapa ia berharap-harap cemas dengan kondisi Leon sekarang.

"Syifa, bisakah kamu menghubungi orangtua ku?"

Mendadak Syifa kalang kabut, menghubungi siapa? Orangtua yang mana? Syifa hanya mengarang semuanya, untuk beberapa hari dengan memandang lukisan saja Leon sudah seperti hidup dalam kesendirian. Tidak lagi mempertanyakan hal-hal tentang hubungan mereka. Mungkin itu pertanda bahwa sebenarnya lelaki itu sudah mengingat semuanya?

"A.aku.."

"Apa aku bisa bicara dengannya?" Leon beralih menatap mata Syifa.

"Bukannya aku tidak mau menghubungi mereka, tapi di hari pertama kamu kecelakaan aku sudah berusaha untuk meminta pada mereka agar menjenguk mu. Namun beliau hanya meminta ku untuk menjaga mu seorang diri." Syifa berbicara asal.

Sejujurnya. Apa yang di katakan Syifa memang benar, ayah Leon tidak pernah punya waktu untuk berbicara atau menukar kabar satu sama lain, tapi ayah Leon tidak bicara itu ke Syifa. Namun ia berbicara ke Devan dan juga Diandra.

Tampak raut wajah lelaki itu berubah sendu. Mungkin ini juga yang membuat Syifa mengurusnya seorang diri, selama ia koma sampai terbangun dari tidur panjangnya. Hanya Syifa yang berada di sana. tak ada teman atau keluarga yang lain.

"Yon, apapun yang orangtua kamu bilang waktu itu, ia mempercayai semuanya ke aku. Kamu jangan khawatir," Syifa bertutur pelan,

benar!

Mendadak Leon merasa bersalah dengan banyak mendiami wanita yang selalu disisinya hanya karna berusaha mengingat kembali memorinya yang hilang. Dengan mempercayai gambar wanita itu lukisan yang tidak tentu benar adanya sketsa wajah yang ada disana. Seharusnya ia menjualnya saja agar tidak lagi ada bayang-bayang masa lalunya.

"Aku lapar, kamu mau ikut makan sekarang?" Tawar Syifa. Ia tau sejak tadi lelaki itu menahan rasa laparnya. Sekali lagi, Leon beralih menangkup wajah Syifa, memeluk wanita itu yang sudah sabar menghadapi sikap Leon yang cukup acuh.

"Sekali lagi aku minta maaf, maaf karna tidak menganggap mu ada. Atau maaf karna masih harus meragukan mu."

Ya.. merasa pelukan itu erat, tak membuat wanita itu melepaskan pelukan Leon seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya, bahkan kalau boleh jujur kali ini ia menikmati setiap dekapan lelaki itu, merasa tidak pernah dekat dengan lelaki manapun membuat Syifa lupa kalau pertemuan mereka hanyalah sebuah kecelakaan. Tanpa sengaja.

Atau kalau boleh jujur, saat ini pikiran Syifa termasuk egois. Ia meminta pada Tuhan untuk Leon tidak perlu mengingat masa lalunya. Tidak!! Syifa meminta itu untuk sementara waktu, biarkan semuanya Syifa rasakan dulu berada di sekitar orang yang di sayang dan juga menyayanginya. Ia tidak meminta agar Leon melupakan itu sepenuhnya, tapi untuk sesaat, hanya sampai ia benar-benar tau keluarga lelaki itu yang sebenarnya.

"Kalau terasa sulit bagimu, aku akan menunggu sampai kamu bisa menerima keadaanmu."

"Syifa. Aku berharap saat aku mengingat apapun nanti, aku mau kamu berada di barisan paling depan akan kembalinya ingatanku. Kamu orang yang memang sudah menjadi bagian hidupku dari lama." Leon mengusap puncak kepala wanita itu, dan tidak bisa di pungkiri, apa benar Leon juga jatuh cinta pada Syifa, atau hanya sekedar membantu ia dalam proses pemulihannya. Atau sebagai tanda terimakasih karna Syifa selalu ada untuknya, di saat semua meninggalkannya. Entahlah.

***

Jujur saja. Semua perihal tentang Rizky tak membuat Devan bahagia ketika mendengar kabar bahwa sebentar lagi Diandra akan menemui lelaki itu. Ini buruk!

Belum ada kemajuan antara ia dan wanita yang di sayangnya tapi Rizky sudah akan kembali ke tengah-tengah mereka, seperti dulu. Devan yang selalu ternomor duakan di mata Diandra jika mereka berkumpul.

Devan memegang erat map yang berisikan surat-surat tentang wanita yang menabrak Rizky, genggaman tangannya seakan terasa kuat, sorot matanya beralih menatap tajam map tersebut.

Ya!

Ini kesempatan untuk Devan sendiri, ketika Diandra harus mempercayakan lelaki itu untuk mencari Rizky sendirian, lebih baik jika ia berbohong atau mengarang cerita tentang Rizky dan Syifa.

Mendadak pintu terbuka ketika Devan masih berimajinasi akan tentang Rizky, orang yang berada di balik pintu hanya menunduk saat mendapat sorot mata Devan yang terlihat tak suka.

"Saya berusaha menelfon, pak. Tapi  anda tidak menjawabnya." 

"Ada apa?"

"Sepulu menit lagi meeting akan segera berlangsung."

Devan mengangguk sekali membuat orang itu mengerti dan segera beranjak dari ruangan lelaki itu. Sementara Devan segera menyimpan map dan beberapa saat setelahnya ikut berjalan keluar dari ruang kerjanya.

-

Di kantor yang sama, Diandra duduk di lobi. Menunggu seseorang akan keluar dari ruang meeting. Dia menunggu Devan yang sedari tadi masih berada di sana. Cukup lama sampai akhirnya lelaki itu berjalan keluar dengan beberapa rekan kerja di sisinya.

"Devan.." Diandra memanggil, hampir saja terlewat. Lelaki itu tak menyadari kehadiran Diandra jika bukan karna panggilan itu.

Sialnya. Diandra berada di waktu yang salah. Devan belum cukup tempur untuk melakukan pencarian, pastinya Diandra menemui Devan hanya untuk memastikan Devan akan benar membantu mencari alamat rumah Syifa.

"Aku baru ingin menelfon mu."

"Kamu tidak lupa?"

"Rizky?"

Diandra mengangguk. Devan menghela napas.

"Iya, aku akan mencari alamat rumah perempuan itu. Tapi..."

"Bagaimana kalau aku ikut?"

Penawaran itu sama sekali tidak menarik bagi Devan. Kemungkinan besar dia akan menemui Rizky secepatnya, dan itu di luar dari perencanaan awal lelaki itu.

Devan mengerjap beberapa kali, lalu kembali diam. Sementara itu Diandra segera merangkul Devan untuk berjalan bersama. "Maaf karna sudah merepotkan mu, aku berubah pikiran untuk mencari Rizky  bersama mu. Setidaknya dengan mencari bersama kita akan lebih mudah menemukannya." Ucap Diandra.

Aku tidak ingin Rizky disini sampai kau jadi milik ku, Diandra.






To be continued..

Semoga senang dengan ceritanya. Bebas berkomentar. 👉👈🥰

A Storm Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang