8

195 26 3
                                    

Devan mengintip di sisi kaca mobil sebelah kiri, memperhatikan rumah dengan pohon besar di halamannya. Ia yakin tidak salah dengan alamat komplek rumah yang di tujunya. Sementara itu tangan Diandra dengan cepat mengambil kartu identitas milik Syifa ikut memastikan ia berhenti di rumah yang benar.

Diandra mengangguk. Tidak salah lagi, wanita itu tinggal di rumah ini.

"Bagaimana?"

"Menurut kamu, apa Rizky ada di dalam rumah itu." Tanya Diandra. Jujur saja, mendadak Diandra tidak begitu yakin dengan apa yang di katakan sebelumnya. Terlihat jelas bahwa rumah itu seperti tak berpenghuni. Pekarangannya sedikit kotor seperti tidak terawat. Namun jelas ia harus membantahnya saat mobil mereka di datangi oleh security yang berjaga di sana.

'permisi.."

Diandra membuka kaca jendela. Tersenyum sebelum ia memulai bertanya. "Sedang cari alamat siapa mbak?" Tanya bapak itu. Diandra menunjuk alamat rumah, dan meminta bapak itu untuk melihat ke kartu identitas milik Syifa.

Sedikit terkejut. Bapak security yang bernama Joko itu lalu kembali melontarkan pertanyaan. "Benar ini alamatnya, non Syifa adalah majikan saya. Kalau boleh tau ada perlu apa ya?"

Diandra dan Devan saling melempar tatapan. Lalu dengan bahasa isyarat yang mereka ciptakan akhirnya baik Devan dan juga Diandra turun dari mobil.

"Apa Syifa-nya ada?"

"Maaf mbak, tapi non Syifa sudah lumayan lama meninggalkan rumah,"

"Maksud bapak?" Devan menimpali.

"Iya mas, non Syifa sudah tiga Minggu yang lalu pergi dari rumah." Diandra terdiam. Artinya dia tidak akan melihat Rizky di rumah itu. Bersamaan hilangnya Rizky, Diandra yakin Syifa sudah tinggal satu rumah dengan Rizky cukup lama.

"Apa bapak tau kemana Syifa pergi?" Tanya Diandra lagi.

"Wah kalau itu saya tidak tau, mbak. Tapi semenjak bapak dan ibu cerai saya tidak pernah melihat Syifa mengunjungi rumah ini lagi."

Pak Joko berkata jujur. Entah kenapa Syifa bisa masuk ke dalam rumah tanpa di ketahui orang-orang di rumahnya, termasuk pak Joko security yang menjaga keamanan rumah itu.

"Syifa pernah..."

Mendadak Diandra menarik lengan Devan menghentikan aksi lelaki itu untuk bertanya lagi. Tidak perlu menambahkan sesuatu yang sudah tidak penting, bagaimana pun pak Joko tidak tau urusan Syifa saat ini.

"Sepertinya kalian berdua memang butuh kabar non Syifa ya?"

"Benar pak. Kami..."

Diandra tidak lagi tertarik untuk mengobrol dengan orang itu, juga mendengar obrolan Devan dengan pak Joko yang sedang berlangsung. Kedua kakinya melangkah menuju mobil, menunggu Devan dengan wawancara antara ia dan sang penjaga rumah.

'Rizky, kamu di mana?'

Diandra menghela nafas, dengan lesu ia membuka galeri melihat foto Rizky dan juga dirinya yang berpose cukup mesra. Diandra merindukan sosok itu. Lelaki yang serba bisa dengan sejuta pesonanya.

***

"Kau benar mau menjualnya?"

Syifa beralih menatap lukisan yang sedang di kemas Leon. Sementara lelaki itu hanya mengangguk lalu tersenyum. Kali ini penawaran harga sedikit menggiurkan untuk Leon sendiri. Ia tidak akan menolak hanya karna masih ingin mencari tau siapa di balik sketsa wajah perempuan itu.

"Aku akan membuka galeri lukisan kalau modal ku terkumpul, setidaknya kita tidak perlu memposting semua karya-karya itu untuk menjualnya."

Terdengar menarik. Namun entah kenapa Syifa justru ragu jika sketsa itu terjual, lagipula siapa yang membeli lukisan wajah abstrak yang di buat Leon. Bagaimana kalau yang membeli adalah pemilik wajah itu?

Syifa menggeleng.

Cukup egois, namun Syifa akan mencari tau siapa yang sudah membeli lukisan itu dengan harga yang tinggi.

"Leon, apa kau yakin ingin melepaskan lukisan itu?"

Leon mengangguk. "Untuk melupakan semua, dan fokus dengan impian kita yang ingin menikah. Aku tidak butuh seseorang lagi," lanjutnya. Leon berhenti dengan aktivitasnya.

"Syifa. Aku tau kau merasa tidak nyaman dengan lukisan itu, aku memandanginya siang dan malam. Dan mendadak membatalkan untuk menjual lukisan itu ke orang lain," Leon terdiam sejenak, sorot matanya yang beralih menatap Syifa, membuat wanita itu ikut terdiam dengan pandangan mata Leon yang baginya itu mematikan.

Leon menyentuh lembut pipi Syifa, jangan tanya bagaimana kondisi jantung wanita itu sekarang. Ia rela menahan nafas hanya untuk fokus mendengar deru nafas lelaki itu.

"Aku tidak akan menyia-nyiakan orang yang begitu berharga dalam hidup aku. Lukisan yang tidak berarti apa-apa, di bandingkan dengan kau yang sangat mengerti diriku. Aku menjualnya karna selain sayang untuk di buang, kenapa tidak kita menjadikan lukisan itu mata pencaharian kita," Leon tersenyum tipis.

Keheningan itu. Mendadak Leon semakin mendekatkan wajah nya ke arah Syifa. Memandangi bibir merekah yang sayang untuk di lewatkan. Leon ingin menangkup bibir itu dengan bibirnya, merasakan setiap kehangatan yang menjalar dari dalam dirinya jika menyentuh bibir sensual milik Syifa.

Tanpa berkata apapun, Syifa terlihat tidak keberatan. Ia justru membenamkan pandangannya, membiarkan lelaki itu mengecup mesra bibir mungilnya.

Oh Tuhan!

Terang saja Syifa butuh oksigen untuk bernafas. Syifa pikir yang Leon lakukan hanya mengecup, namun kali ini lelaki itu beralih untuk melumatnya, sekali bahkan sampai dua kali dan melepaskan ketika tau Syifa justru menahan nafasnya.

Saat tidak lagi merasakan sentuhan itu, mata Syifa terbuka. Bodohnya ia melihat Leon dengan wajahnya yang datar berdiri di hadapannya.

"Kenapa tidak membalas?" Tanya Leon. Lelaki itu sama sekali tidak perlu takut jika yang diciumnya adalah orang yang tepat. Lagi pula ciuman adalah hal lumrah yang di lakukan sepasang kekasih bukan?

Syifa mengalihkan wajah ke samping. Detak jantungnya benar-benar tidak beraturan. Kadang lambat dan sekarang sangat cepat.

"Apa kita tidak pernah melakukan ini sebelumnya?" Leon bertanya. Ia tidak mengerti kenapa Syifa justru terlihat takut ketika ia mencoba melanjutkan ciuman yang lebih panas dari itu. Bukankah seharusnya Syifa senang karna Leon sudah berjanji akan memikirkan dirinya saja? Lagipula Leon tidak meminta Syifa membuka baju, ia tau batasan yang tidak bisa Leon sentuh sebelum mereka menikah.

"A.aku.."

"Apa kau tak menyukai ciuman ku?"

"Bukan begitu, aku.." Syifa kehabisan kata-kata, ia tau bagaimana kecewanya Leon ketika sadar Syifa tidak merespon apapun pada ciuman itu.

"Aku hanya sedikit terkejut, kau mendadak menciumku."

Ada kejanggalan disana. Mendadak atau tidak, apa masalahnya? Leon yakin ini bukan yang pertama ia melakukan itu pada Syifa. Sedangkan Syifa jelas sangat terkejut karna  ternyata ia memberikan ciuman pertamanya pada orang yang baru di kenalnya.

"Maaf-"

"Bu.bukan begitu, aku tidak bermaksud untuk menghindari mu." Entah kenapa? Tapi Syifa merasa tidak ingin mengecewakan Leon. Karna ciuman itu Syifa jadi berpikir melukai perasaan Leon.

Lalu.. apa yang harus di lakukan Syifa sekarang?

Persetan! Syifa kehilangan akal sehatnya, wanita itu menarik lengan Leon lalu mencumbui bibirnya. Berulang kali, sampai kali ini berganti Leon yang hampir kehabisan nafasnya menerima ciuman Syifa yang tanpa jeda.




TBC!

Sorry! Entah kenapa author sengklek dengan part ini 🤣🤣

A Storm Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang