Ada rasa penyesalan yang teramat dalam dari diri Syifa saat ini. Seharusnya ia menurunkan ego untuk mencari kebenaran tentang Leon bersama-sama dengan laki-laki itu. Namun kenyataan ketakutannya tentang jeruji besi dan polisi justru menutup mata Syifa untuk membuat dirinya menjadi sosok yang bertanggung jawab akan perbuatannya.
Syifa berpikir dia tidak akan lari dan membereskan semua kekacauan itu satu persatu namun masih harus menunggu atau menyesuaikan diri dengan keadaan, tapi justru kebenaran terungkap lebih cepat. Bahkan lebih cepat dari kembalinya ingatan laki-laki itu.
Oh Tuhan!!!
Syifa tidak bisa memungkiri dengan apa yang dirasakannya sekarang. Ayah, pergi dan ibu..? Perempuan itu tidak pernah tau bagaimana masalah yang Syifa hadapi sekarang.
Setelah hampir dua Minggu lamanya Syifa tidak lagi tau tentang kabar pak Nadir, hari ini dia akan bersiap untuk bertemu kembali. Memberi tahu semuanya pada bapak itu.
Tampak ia menunggu, dan duduk dengan gelisah. Tak henti menengok kanan kiri, memeriksa ponsel berkali-kali lantas itu berlangsung sampai bapak polisi itu tiba dengan pakaian sederhana seperti pertama bertemu dengan Syifa.
"Sudah lama menunggu?" Nadir tersenyum. Bapak polisi itu memang selalu tampak ramah. Hari ini dan hari sebelumnya beliau tidak pernah menyembunyikan senyumannya yang tulus kepada siapapun.
Di sisi lain pertanyaan itu malah membuat Syifa hanya menggeleng, "ada apa?"
"Bapak tidak mau memesan minuman dulu?"
"Syifa, bapak tau sebenarnya kau tidak meminta bapak untuk berbasa-basi. Jadi, mungkin lebih baik kalau kau menceritakan masalahmu langsung." Nadir bisa menebak dari raut wajah wanita itu, ketakutan bahkan kegelisahan tidak bisa Syifa sembunyikan. Ia sudah menampakkan raut wajah itu sebelumnya.
"Maaf, karna sudah meminta waktu bapak untuk bertemu dengan saya disini. Tapi saya tidak tau harus meminta tolong kepada siapa lagi?"
"Kau melakukan hal yang benar. Lalu, apa yang bisa saya bantu untukmu. Apa masih mengenai korban yang kau tabrak itu?"
Syifa tampak berpikir. Untuk menenangkan diri, Syifa seharusnya mengambil nafas dalam sekarang. Karna nampaknya akan ada masalah dengan kondisi matanya yang sudah menghangat. Sebentar lagi, mata itu akan mengeluarkan kristal bening dari sisi sudut mata.
Syifa mengangguk bersamaan dengan air matanya yang kali ini sudah terjatuh dengan mulus ke pipinya.
"Bapak pikir masalah mu sudah selesai."
"Saya belum bisa bertemu dengan seseorang yang bapak maksud."
"Yang artinya korban masih tinggal bersamamu?"
Syifa mengangguk.
"Apa kau tidak bertemu ketika kerabat korban ke rumah mu, tidak mungkin jika kerabat korban sudah di berikan alamat itu dan mereka hanya diam. Pasti saat itu juga mereka akan pergi ke alamat yang mereka cari.."
Ya.
Syifa mengerti sekarang. Pastilah dia tidak akan bertemu dengan kerabat Leon karna alamat rumah yang tertulis di data kependudukan itu adalah alamat rumah ibunya. Dan Syifa yakin jika mereka sudah pergi ke tempat itu.
Syifa kembali menatap pak Nadir serius. Sebelum akhirnya ia bergumam pelan. "Bisakah saya meminta alamat perempuan itu pak?" Syifa sedikit memohon.
"Aku tidak punya alamatnya. Tapi kau bisa pergi ke kantor polisi. Dan meminta sendiri alamat perempuan itu. Atau kalau tidak kau pergi bersama korban untuk meminta bantuan polisi mempertemukan mereka." Jawab pak Nadir.
Meski sedikit menakutkan bagi Syifa, tapi dia sudah berjanji untuk membantu Leon agar menemukan wanita itu secepatnya. Lagi pula mungkin itu juga sudah menjadi jalan agar bisa pergi dari hidup laki-laki itu sebelum Syifa terlanjur mencintai Leon lebih dalam.
***
"Aku tidak akan ke kantor polisi!" Leon membentak. Ajakan Syifa yang terdengar memohon justru di tolak mentah-mentah oleh laki-laki itu. Dua hari itu entah sudah berapa kali Leon berteriak padanya. Meski hanya untuk meminta Leon pergi bersamanya Leon tidak bisa bertutur pelan pada wanita itu.
Syifa mendekat, menatap mata laki-laki itu dengan penuh kesakitan. Jangan tanya bagaimana kondisi rongga dadanya saat ini, Leon sudah berhasil memborbardir perasaan wanita itu. Untuk kepentingannya pun Leon masih tidak ingin membuka perdamaian antara ia dan Syifa.
"Aku bisa menerima semua kebencian mu padaku Leon. Tapi bukan berarti kau tidak ingin menerima permohonan ku untuk membantu mu," Syifa terisak "aku mohon, hanya untuk kali ini.. aku berjanji aku tidak akan kabur dan segera menyerahkan diri ke kantor polisi setelah kau bertemu dengan wanita itu." Lanjutnya.
"Bagaimana aku bisa menerima semua perlakuan baikmu yang hanya untuk menebus semua kesalahanmu. Kau terlambat berbuat baik padaku, Syifa! Kau sudah memberikan aku luka yang teramat dalam, dengan berpura-pura menjadi calon tunangan ku! Kau menipuku! Bahkan menipu perasaanku!" Teriak Leon.
Sakit sekali rasanya mendengar penuturan Leon dengan mengatakan ia adalah seorang penipu. Syifa tidak pernah ingin menjadi seperti itu, Syifa bahkan melupakan semua perasaan cintanya hanya untuk menghentikan semua kebohongannya ketika rasa itu bersemi begitu saja dalam hatinya.
"Apakah kejujuran ku waktu itu tidak bisa di hargai sedikitpun?" Syifa mengusap pipinya dengan kasar. Mengalihkan pandangannya sebentar lalu kembali menatap Leon penuh arti. "Apakah begitu menyakitkan bagimu, Leon? Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku yang terus berada disisi mu di saat semua orang tidak bisa menemukanmu?"
"Kau hanya takut dengan penjara! Aku tau kau tidak pernah tulus mengurus orang asing sepertiku! Kau hanya mementingkan diri mu sendiri."
"Bagaimana aku bisa memberikan mu ciuman pertama itu jika aku tidak tulus dengan perasaan itu?"
Syifa sudah melupakan harga dirinya, mengatakan semua yang sebenarnya tidak perlu di ungkit lagi, tapi kenyataan Syifa tidak pernah ingin menjadikan laki-laki itu mainannya. Semua yang ia lakukan itu karna Syifa sudah memulai perasaannya jauh sebelum Leon tersadar. Syifa menyadari semuanya saat Leon berbicara padanya.
"Kau pikir aku tidak berkorban, heh?" Laki-laki itu berdecak. Mengeluarkan senyuman sinis ke arah Syifa. "Kau tidak tau kan, bagaimana aku berusaha untuk membuat mu nyaman, dengan melupakan semua masa lalu ku! Satu pun aku tidak lagi ingin mengingat nya?"
Syifa terdiam.
"Hati ku sakit saat harus terpaksa melupakan seseorang yang katanya adalah tunangan ku, orang terdekatku! Aku merasa tidak berharga ketika aku melihat wanita di hadapan ku menjadi asing karna aku tidak bisa mengingat semua tentang mu dan kenangan itu, dan saat aku tau itu semua hanya kebohongan mu. Aku rasa kau sudah bisa baca bagaimana hancurnya perasaanku sekarang!"
Lagi-lagi Syifa hanya terdiam. Meski begitu air matanya masih terus mengucur deras tanpa bisa ia tahan.
"Kau tidak akan mengerti di perlakukan bodoh seperti ku, Syifa.." kali ini Leon ikut terisak, kesakitannya yang tertahan sejak tadi sudah mampu menciptakan air dari sudut matanya. Leon menangis.
"Kita impas!" Leon beralih menatap mata Syifa tajam. "Kalau memang kau masih menganggap ku sebagai perasaan cintamu. Aku mohon. Kau pergi dari hadapanku! Jangan pernah menampakkan diri, pergi yang jauh!"
Syifa mengangguk.
"Aku akan pergi, saat kau tidak lagi sendiri."
"Kau tidak perlu repot untuk mencari seseorang itu untukku. Aku hanya perlu nomor pak Nadir. Berikan itu dan semua akan kembali seperti semula." Leon menutup akses bicara pada Syifa setelah kalimat terakhir yang di lontarkan malam itu. Ia berjanji untuk melupakan Syifa dan semua tentang dirinya. Selamanya.
TBC!
Ngawur ya.
Minta waktu nya buat vote dan komen dong! 👉👈🙂

KAMU SEDANG MEMBACA
A Storm Of Love
FanfictionKecelakaan itu seakan mengantar Syifa dalam kekalutan hatinya. Pertemuan yang tanpa sengaja akhirnya menimbulkan perasaan suka pada sang korban.