19

212 36 16
                                    

Sore itu langit tampak mendung, wanita itu terduduk di balkon rumah, meringkuk memeluk lutut, menyembunyikan wajah sendunya di antara kedua paha dan tangannya. Suara rintik hujan perlahan terdengar jatuh membasahi aspal jalan namun Syifa tak terlihat memperdulikan keadaan sekitarnya, kejadian beberapa bulan yang lalu masih berhasil menjadi bayang-bayang utama dalam pikirannya. Ayah, ibu bahkan Rizky.

Semuanya sudah berlalu. Satu persatu Syifa sudah berusaha melepaskan apa yang membuat hatinya terusik. Namun kedatangan Rizky terus saja menjadi bahan pertimbangan untuk Syifa melupakan itu, Rizky bahkan terlihat sama kacaunya. Ucapan-ucapan Rizky yang samar terdengar semakin menguatkan ia untuk sedikit bertahan. Tapi semakin kesini rasanya semesta tidak pernah menyetujui untuk pertemuan mereka. 

"Syif-" seseorang yang sejak tadi memperhatikan wanita itu tampak ragu untuk menegur, tapi panggilannya yang samar juga sudah terlanjur membuat Syifa berbalik. Ia melangkah pelan, raut wajahnya tak biasa, sesekali ia bahkan terlihat meremas angin.

"Ada apa?"

"Anu, mmm..." Sangat sulit bagi Liora untuk mengatakan seseorang sedang mencari dan menunggunya di luar. Tak ingin menunggu lama Syifa bangkit melangkah mendekat ke arah Liora. Lalu bertanya sekali lagi. "Kenapa?"

"Ayahmu," Liora menunjuk pintu dengan telunjuknya, meminta untuk Syifa segera menemui orang itu. Syifa memahami, ia tidak lagi menanti untuk Liora menyempurnakan ucapannya. Ia yakin, ayahnya berada di luar sedang menunggu.

-

Beberapa saat. Laki-laki paru baya itu memeluk tubuh Syifa lantas mengusapnya. Deru nafasnya pun terdengar berat tak beraturan, ia tau semenjak Cintya meninggal putrinya pasti sedang berada di masa-masa yang sulit.

Sementara reaksi Syifa hanya terdiam, membiarkan sang ayah untuk selesai  dalam pelukannya.

"Maafkan ayah nak,"

Lagi-lagi reaksi Syifa hanya diam.

"Maaf karna ayah tidak perduli padamu waktu itu," kali ini sang ayah melepaskan pelukannya. Laki-laki itu menatap sendu putrinya, mengusap lengan Syifa pelan-pelan. "Kau mau ikut ayah?" Kali ini sang ayah meminta Syifa untuk ikut padanya.

Namun reaksi Syifa masih diam, tidak mengatakan apapun pada ayahnya. Kecuali tatapan itu, tatapan yang seolah hanya ingin ditinggalkan. "Ayah," suara Syifa serak. Tentu saja karna menahan tangisnya yang hampir tumpah.

"Bagaimana ayah bisa meminta Syifa untuk pergi dengan ayah, ayah tau pemakaman ibu disini. Syifa tidak akan mungkin meninggalkan ibu sendirian."

"Kau juga sendirian, nak. Kau tidak punya siapa-siapa. Bahkan kau juga tidak tinggal di rumah kita sekarang."

"Aku masih punya Liora ayah, Liora tidak akan membiarkan aku untuk sendirian. Ayah tenang saja, ayah masih punya keluarga lain selain diriku. Tapi ibu?"

Sore itu menjadi perdebatan panjang antara ayahnya dan juga Syifa. Namun perihal kegigihan sang ayah kini mampu membuat Syifa menurut.

"Syifa tidak akan tinggal lama ayah, Syifa akan pulang suatu saat."

Keputusan terberat itu akhirnya mempunyai ujung, Syifa tidak akan bisa menolak. Keluarga yang bisa ia andalkan hanyalah ayahnya.

Mungkin saatnya untuk melepaskan, Rizky tidak akan bisa menjadi bayang pertama dalam hidupnya jika ia berpisah jauh dari laki-laki itu. Termasuk meninggalkan kota dan segala kenangannya disini.

A Storm Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang