Perjalanan yang begitu lama dan terasa melelahkan, Dervin dan Dery memutuskan menghentikan motornya sejenak setelah memasuki daerah Depok. Ia memanfaatkan G-Maps untuk sampai pada tujuannya karena Dervin tak terlalu tau jalan daerah tersebut. Setelah rasa penatnya hilang, Dervin dan Dery kembali melanjutkan perjalanan hingga ia sampai memasuki komplek perumahan menyusuri setiap blok rumah dan akhirnya ia sampai di depan rumah bertingkat besar dengan pagar yang menjulang tinggi.
"Rumahnya gede banget, bener ga sih ini alamatnya?" Dervin bergumam yang ditanggapi oleh Dery dengan tatapan datar. Dervin berusaha mengingat nomor rumah Selvin yang diberikan oleh kakek. Dervin menoleh ke sekitar, ia harus bertanya pada siapa karena situasi komplek yang sangat sepi.
"Lo nyari alamat yang bener makanya!"
"Tadi kakeknya Selvin udah ngasih ke gue alamatnya, cuma gue lupa kertasnya ditaro di mana," balas Dervin yang kini tengah mencari kertas berisi alamat rumah Selvin di dalam waistbag hitamnya, namun tak ia temukan juga.
"Ada ga?"
"Ga ada," jawab Dervin lesu sambil kembali membenahi waistbagnya.
"Terus gimana? jauh-jauh dari Bandung ke sini, ga nemu alamatnya."
"Ya sabar anjir, kita tanya aja dah ke orang yang punya rumah ini. Ayo!" Dervin turun dari motornya setelah mencabut kuncinya.
"Aman ga nih nyimpen motor di sini?" tanya Dery tak yakin.
"Aman. Motor butut siapa yang mau nyolong, Der?" balas Dervin yang langsung saja mendapat tendangan kecil dari Dery karena meledeknya. Dervin sendiri hanya tertawa.
Setelah memastikan motornya aman, kedua lelaki itu mulai mendekati pagar menjulang itu.
"Ck, gini nih nasib rumah di komplek mau nanya ke tetangga aja susah," gumam Dervin dengan raut lelah sambil terus melihat ke sekitar berharap ada salah satu penghuni rumah yang tak sengaja lewat.
Dervin dan Dery menghampiri pagar tinggi tersebut sambil sesekali melihat ke dalam lewat celah pagar, rumah besar itu tampak sepi bahkan tak terlihat ramai seperti biasanya karena yang Dervin ketahui jika dalam suatu rumah yang tengah berduka pasti keadaannya ramai didatangi orang-orang yang mengucapkan ucapan turut berduka.
"Bener kali ini rumahnya, Vin."
"Kalau salah gimana?"
"Ya dibenerin lah," balas Dery ngegas.
"Bukan gitu maksud gue anjim!" Dervin balas memukul helm yang masih dipakai Dery.
Kesal Dervin menanggapi Dery yang mendadak menyebalkan di situasi yang tidak tepat. Ia mencoba membuka pagar tersebut yang ternyata tak terkunci.
"Ga dikunci anjir," gumam Dervin sambil perlahan menggeser pagar tinggi tersebut. Ia mengajak Dery masuk dengan langkah yang mengendap, jika saja saat itu malam hari mungkin keduanya sudah dikira maling.
Dervin dan Dery berjalan menuju teras depan yang dilalui menggunakan setiap anak tangga, dapat Dervin lihat pintu rumah terbuka semakin dekat Dervin kini dapat mendengar suara tangisan perempuan.
"Ada yang ketawa," bisik Dervin yang langsung mendapat gamparan keras dari Dery pada lengannya.
"Selvin tuh pasti yang nangis," sahut Dery sambil mengedikkan bahunya ke arah pintu masuk yang terbuka.
Kedua lelaki itu mengambil langkah cepat hingga mereka disuguhkan oleh keadaan rumah yang dihias mirip seperti acara nikahan. Apakah ia salah masuk rumah?
"Ya kali ini rumah duka malah didekor mirip rumah hajatan," gumam Dervin terheran.
Dery pun mengangguk setuju, "bisa jadi sih, Vin. Beres tahlilan nanti si Selvin mau dinikahin sama cowok lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Leader! || ✔️
Teen FictionAwal yang buruk menjadi bagian dari ujian hidup yang begitu berat ia rasakan. Dervin yang dibesarkan disebuah keluarga yang tak sehat, hal itu tak membuat dirinya menjadi sosok anak yang nakal ataupun pembangkang. Namun sebaliknya, ia menjadikan sem...