Chapter 33: Discomfort

155 27 26
                                    

Edrico masuk ke ruangan besar ketua Chain itu, kondisi ruangan yang semula rapih kini berubah menjadi berantakan. Di sana, Edgard duduk di antara lembaran-lembaran dokumen yang sempat menjadi bukti pencarian keluarga kecilnya yang hilang.

Kejadian belasan tahun lalu kembali terjadi di depan mata Edrico yang selama ini menjadi teman berbagi keluh kesah dan segala permasalahan Edgard. Ia kira Edgard sudah sedikit bisa meredam masa lalunya, ternyata tidak sama sekali. Justru sekarang Edrico melihat kekacauan Edgard yang begitu nyata. Sekuat apapun Edgard, dia tetaplah manusia biasa. Lelaki yang memang tampak di luar terlihat kuat, gagah dan tahan banting namun tetap saja jika di hadapkan pada situasi yang begitu rendah ia akan menangis. Menangis bukan berarti ia kalah dan menyerah, itu sesuatu yang wajar dalam bentuk meluapkan emosi dan amarah yang terpendam. Tidak, lelaki menangis bukan berarti lemah.

Edrico melangkah mendekat pada pria itu, ia berjongkok dengan sebelah lutut menopang tubuhnya. Kedua bahu Edgard bergetar samar menandakan ia menangis dalam diam.
"Gard, sorry. Gue ga sempet ngasih tau lo kalau sebenarnya-"

"Lo ga perlu minta maaf, Ed. Di satu sisi gue seneng dapat kesempatan ketemu sama anak-anak gue, tapi di lain sisi gue ditekan sama rasa bersalah yang ga bisa gue jabarin. Gue ga pernah ngira sedikitpun kecelakaan itu menghasilkan dua nyawa yang sekarang ada di dekat gue," sahut Edgard cepat dengan penuh rasa sesak yang menjalar meremas relung hati terdalamnya.

"Gard, lo ga perlu berlarut dalam rasa bersalah lo itu. Mereka ada di dekat lo, dan itu kesempatan lo buat tebus semua rasa bersalah lo itu," ujar Edrico memberi sedikit penerangan dan mencoba untuk membangkitkan sahabatnya dari kerapuhan.

"Lo jangan mau dijajah sama rasa bersalah lo. Meskipun ibu dari kedua anak kembar lo udah ga bisa lagi lo temui bahkan kalian ga pernah kenal sama sekali, lihat Dervan sama Dervin yang butuh perhatian orangtua. Dan orangtua mereka satu-satunya cuma lo, Gard. Get up, dude! Make your chance be better than before!"

Semua yang dikatakan Edrico benar, tak seharusnya ia dijajah oleh rasa bersalah itu. Tuhan sudah berbaik hati padanya untuk menebus segala rasa bersalah itu dengan menjadi orangtua terbaik bagi putra kembarnya dan juga putrinya. Inilah waktunya untuk kembali menata semua yang telah hancur.

"Ingin berdamai dengan masa lalu? maafkanlah terlebih dulu semua kesalahan masa lalumu dan maafkan dirimu sendiri. Bahagiamu ada pada jalan yang kau ambil"
-Edrico Sanders

═════ ࿇ ═════

"Van, gue capek sebenarnya. Om Edrico tiba-tiba maksa gue buat ganti posisi lo, gue setuju aja karena dia bakal ngasih tau lo dimana dan keluarga gue siapa sebenarnya." Dervin menunduk lesu dengan kedua tangan bertopang pada pembatas balkon.

Dervan meneguk sejenak minuman kalengnya hingga habis, "ga perlu lo terusin kalau lo ga sanggup, kan gue udah balik lagi. Jadi, posisi lo di sini udah pindah ke gue. Sebenarnya lo bisa keluar dari Chain dan bebas dari masalah apapun. Tapi kayaknya pihak Chain ga akan kasih ijin lo keluar dari sini," sahutnya menjelaskan membuat Dervin menghembuskan nafas beratnya.

"Kan gue pernah bilang, Vin. Kalau gue kena masalah, lo juga harus kena masalah," ujarnya lagi begitu santai yang langsung mendapat dengusan dari Dervin.

"Kita kan kembar, muka aja udah kayak fotocopy-an. Dengan cara kita sama-sama hadapin masalah ini, lo atau gue bisa kerjasama ngelabui musuh. Paham ga lo?" lanjut Dervan sewot, ia selalu kesal sendiri bawaannya kalau berbicara dengan Dervin.

"Bacot lo! otak lo liciknya ga ada lawan." Dervin mendelik tajam, Dervan tak pernah berubah selalu saja seenaknya pada dirinya. Entah itu menguntungkan atau merugikan baginya, Dervan tak akan peduli.

No Leader! || ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang