Edgard memarkir motor besarnya disusul oleh Edrico. Pria itu langsung saja melepas helmnya dan menaruhnya di atas tangki motornya.
"Ed, gue masuk duluan. Motor gue sekalian masukin juga ke garasi ye," ujar Edgard sangat buru-buru sambil melempar kunci motornya ke arah Edrico yang ditangkap dengan sempurna. Lalu ia segera masuk ke ruang utama.Di ruang utama, Edgard disambut oleh keberadaan kedua orangtua angkat yang merawat putra kembarnya, ada juga Gisel dan juga Daffa. Seorang wanita menatap Edgard dengan tatapan yang tak dapat diartikan bahkan jejak airmata juga masih terlihat jelas di kedua matanya sampai pipinya. Begitu juga ayah angkat si kembar yang terus berusaha menenangkan istrinya yang diliputi duka setelah mendapat kabar bahwa Dervan telah tiada.
"Dervan mana?" tanya wanita itu begitu dingin.
Edgard diam mematung ketika sebelumnya ia berniat untuk menghampiri, kakinya kembali diam di tempat setelah pertanyaan itu terucap dari ibu angkat si kembar.
Dari arah belakang Edgard, datanglah Edrico yang langsung mengerti pada situasi. Edrico merangkul Edgard untuk duduk bergabung dengan mereka."Dervan di mana?" pertanyaan yang sama terulang lagi namun dengan nada yang ditekankan pada setiap kalimat.
"Jawab, Edgard!"
"Kamu bukannya bawa Dervan ke Jerman untuk berobat, kan? terus Dervan juga udah pulang dari sana. Dervin ngasih tau waktu itu," lanjut wanita itu lagi dengan airmata kembali meluruh.
"Sekarang Dervan di mana? kamu bawa Dervan ke Jerman lagi gara-gara kecelakaan kemarin, kan?" tanyanya lagi berturut-turut begitu tak sabaran sebab Edgard hanya diam saja menatapnya dengan mata memerah menahan air mata.
"Dervan... Dervan udah meninggal." Edgard menjeda sejenak berusaha menahan luapan air mata yang siap menerobos, "Dervan ga akan balik lagi ke sini. Dia udah tenang di sana," lanjutnya lalu mengusap wajahnya dengan kasar ketika setetes air mata mulai turun.
Mendengar penjelasan Edgard membuat wanita itu menggeleng cepat merasa tak percaya. Isakan tangisnya mulai terdengar lagi, berusaha meluapkan gejolak sesak dalam hatinya.
"Engga. Kamu bohong, Ed!" sentak wanita itu menatap penuh emosi pada Edgard."Saya ga bohong. Kamu ga percaya, silahkan datangi pemakamannya!" balas Edgard menegaskan. Ia paham betul ibu angkat putra kembarnya itu jelas tak akan menerima tentang ini semua. Edgard tak tau harus menjelaskannya bagaimana lagi.
"Dervan meninggal gara-gara kamu ga becus jadi ayah!" sahut wanita itu dengan menekankan kalimat ‘tak becus’ sambil menunjuk ke wajah Edgard.
"Gard, tenang! lo jangan ikutan emosi!" tegur Edrico pelan. Edgard menghela nafas panjang, ia harus menjelaskan secara pelan tanpa emosi.
"Saya akui dan saya sadar, saya gagal menjadi seorang ayah. Saya tau itu. Tapi kalian lebih tidak pantas buat mereka. Kasih sayang kalian ga adil buat Dervin. Kalian pikir saya ga tau?"
Kedua pasangan suami istri itu terdiam merasa tertohok dengan apa yang Edgard ucapkan. Tetapi bukannya mereka sudah meminta maaf pada Dervin dan Dervin pun sudah memaafkannya.
"Saya minta kalian pergi dari sini. Saya kasih kalian akses untuk mengunjungi Dervan kapanpun kalian mau dengan syarat kalian jangan pernah temuin Dervin," ujar Edgard tegas menatap kedua pasangan suami istri itu begitu tajamnya.
"Tapi—"
"Pergi!" desis Edgard sambil menunjuk arah pintu keluar.
Perlahan, pasangan suami istri itu beranjak pergi. Tak mau berlama-lama lagi berada di dekat Edgard yang sedari dulu tak pernah berubah. Aura yang dimiliki Edgard masih sama pengaruhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Leader! || ✔️
Teen FictionAwal yang buruk menjadi bagian dari ujian hidup yang begitu berat ia rasakan. Dervin yang dibesarkan disebuah keluarga yang tak sehat, hal itu tak membuat dirinya menjadi sosok anak yang nakal ataupun pembangkang. Namun sebaliknya, ia menjadikan sem...