"Hey, gimana kabar lo?" tanya seorang gadis berseragam SMA yang sudah berada di ruangan itu sejak tiga puluh menit yang lalu. Kedatangannya untuk menjenguk kekasihnya.
Pertanyaannya tak mendapat jawaban apapun selain suara samar hembusan nafas cowok yang masih terbaring di atas blankar itu. Sama sekali tak berminat menjawab pertanyaan gadis itu. Perasaan kecewa dan sakit hati masih ia rasakan begitu hebatnya terhadap gadis itu.
"Daffa, jangan diem aja dong!" Tangan gadis itu terulur menyentuh lengan kekasihnya. Ia menatapnya dengan sorot penuh penyesalan atas apa yang ia perbuat selama ini.
"Masih berani lo temuin gue, hm?" tanya cowok itu sarkas dengan suara rendahnya. Tak ada lagi sorot teduh di matanya selain sorot tajam yang menusuk relung hati gadis itu.
"Gue khawatir sama lo dan gue pe—"
"Omong kosong! gue sama lo udah ga ada hubungan apapun, Divanka. Masih ga paham? atau kurang ngerti?" sarkas Daffa seraya melepas tangannya dari sentuhan Diva.
Setetes airmata meluruh, gadis itu membiarkan airmata penyesalannya mengalir di hadapan Daffa yang bahkan enggan menatapnya.
"Tapi gue nyesel, Daff. Maafin gue," lirihnya begitu parau merasakan sesak menekan dadanya."Gue maafin lo, tapi jangan harap gue bisa anggap lo ada di sini. Gue udah anggap lo ga ada dan ga pernah hadir di hidup gue, Diva. Kesalahan lo fatal, lo tau itu! lo manfaatin gue, dan lo berhasil hancurin sahabat-sahabat gue juga. Masih kurang puas?" cecar Daffa tak bisa lagi mengendalikan emosinya, tak sedikitpun rasa kasihan melihat gadis itu menangis menyesal.
"Harusnya lo seneng, itu emang tujuan lo. Buat apa lo harus nyesel? Selamat atas keberhasilan lo, Diva!" Sarkas Daffa semakin menjadi-jadi.
Kesalahan Divanka berhasil membuat seluruhnya hancur. Cintanya tak akan lagi bisa dipersatukan dengan Daffa. Ia menunduk dalam sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Deritan pintu terbuka dan masuklah dua orang yang masih berseragam sekolah, mereka adalah Dery dan Selvin yang selalu rutin menjenguk.
"Nih cewek masih aja ada muka datang kesini?" tanya Dery pada Daffa begitu sarkas menyindir keras pada Divanka.
Daffa mengedikkan bahunya tak acuh menatap ke sembarang arah, "suruh dia pergi, Der. Males gue liatnya," ujarnya begitu datar.
"Ogah gue harus repot-repot ngusir dia. Kalau dia nyadar posisinya ga diinginkan di sini, pasti dia udah pergi tanpa harus disuruh. Mukanya tebel," balas Dery terang-terangan seolah orang yang ia bicarakan tak ada di dekatnya.
Diva menegakkan tubuhnya dan menatap nyalang pada Dery, "salah kalau gue peduli sama Daffa? dia pacar gue, jadi—"
"Jadi lo ga usah halu ngaku-ngaku si Daffa pacar lo. Pikun lo hah, kemarin Daffa baru aja putusin lo?!" sergah Dery dengan jari menunjuk tepat di depan wajah Diva yang memerah menahan amarahnya. Lagi, gadis itu tertampar oleh setiap perkataan pedas Dery.
"Keluar lo! jangan lagi lo temuin gue, jangan lagi lo deket-deket gue, ataupun nyapa gue. Anggap gue orang asing," desis Daffa yang sudah dikuasai perasaan muak terhadap mantan kekasihnya itu. Meskipun dalam hatinya belum sepenuhnya merelakan cewek itu pergi, tetapi ia harus melepasnya karena semuanya sudah terlanjur hancur dan tak ada lagi yang harus diperbaiki.
Diva perlahan melangkah meninggalkan ruangan, menuruti segala kemauan cowok itu yang tak ingin ia temui. Baiklah, Diva akan mencoba menjadi sosok orang asing dalam hidup Daffa meskipun perasaannya begitu besar ingin berjuang memperbaiki apa yang telah hancur.
Selvin menatap ngeri pada dua cowok di dekatnya itu, ia berpikir kenapa bisa Dervin bertahan mempunyai teman bermulut pedas dan tajam seperti mereka. Tak bisa ia bayangkan bagaimana tajamnya perkataan mereka jika Dervin melakukan kesalahan. Apalagi kini sorot mata tajam Dery terarah padanya, seolah tau apa yang ia pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Leader! || ✔️
Dla nastolatkówAwal yang buruk menjadi bagian dari ujian hidup yang begitu berat ia rasakan. Dervin yang dibesarkan disebuah keluarga yang tak sehat, hal itu tak membuat dirinya menjadi sosok anak yang nakal ataupun pembangkang. Namun sebaliknya, ia menjadikan sem...