"Dervan... kapan kamu pulang? kamu dimana sekarang? kamu baik-baik aja, 'kan?"
"Aku pulang sekarang."
Dengan cepat, Dervin memutus panggilan sepihak. Ia bangkit berdiri dan masuk ke ruangan dimana ayahnya dirawat. Dervin duduk di kursi yang berada dekat dengan ranjang pasien yang ditempati ayahnya, Edgard. Ia menatap ayahnya yang tengah terlelap, lalu pandangannya turun pada kaki yang terkena tembak. Entah bagaimana ia mendapatkan luka seperti itu.
Lagi-lagi Dervin termenung, satu-satunya keluarga yang ia punya hanyalah Edgard. Ibunya telah pergi jauh lebih dulu dan sekarang disusul oleh kepergian kembarannya.
"Papa, Dervin pulang dulu. Ada seseorang yang harus Dervin pertanggungjawabkan mulai sekarang dan nanti. Papa harus cepet pulih," bisiknya pada Edgard yang masih setia terpejam. Dervin mengecup kening Edgard sejenak dan ia pun melangkah menuju pintu keluar, namun sayup-sayup pendengarannya menangkap suara keributan.
Dervin keluar dari ruangan rawat ayahnya dan saat itu juga matanya menangkap seseorang yang tengah memberontak pada kedua sahabatnya yang juga tampak sedang meredam emosi seseorang itu. Dervin mendekat dan ia kini mengenali orang itu ternyata Tino yang masih mengenakan baju pasien. Dervin berpikir apa yang telah terjadi juga pada Tino.
"Dervan udah meninggal, bro!" kata Dery mencoba untuk menahan pemberontakan Tino yang memaksa menuju kamar jenazah.
"Lawak lo, bangsat! bisa jadi yang meninggal tuh si Dervin kembarannya. Lo jangan asal ngomong!" sergah Tino yang tak mempercayai bahwa sahabatnya telah pergi.
"Lo harus terima, Tin! Dervan udah pergi, dia kena luka tembak," tegas Daffa yang kelewat kesal pada Tino yang terus menyangkal kenyataan yang terjadi.
"Tino!"
Keributan yang terjadi saat itu juga mendadak hening setelah Dervin bersuara. Tino berbalik menatap ke arah sumber suara sedangkan Dery dan Daffa bergeming di tempatnya berdiri. Keempat lelaki itu saling memberi tatapan tanpa arti. Tino menghampiri lalu memeluk tubuh Dervin sambil menepuk punggung Dervin seolah tengah menyalurkan kekuatan.
"Lo harus ikhlas, Van. Gue turut berduka cita, semoga Dervin tenang di sana." Tino terus menepuk punggung Dervin berusaha menguatkan, ia mencoba yakin bahwa yang ia peluk saat ini adalah Dervan bukan Dervin.
Dervin semakin meradang tenggelam dalam rasa sesak. Tino yang notabennya teman dekat Dervan pun tak mempercayai bahwa Dervan memang telah tiada dan sebaliknya Dervin lah yang tetap dikira sebagai sosok Dervan. Dervin tak tau harus menjelaskan seperti apa lagi, semua yang telah terjadi seperti mimpi buruk ini memang sangat sulit diterima oleh siapapun.
Dervin melepas pelukan Tino, "Ikut gue sekarang!" ujar Dervin tampak dingin. Tanpa menunggu respon dari Tino, Dervin berjalan lebih dulu menuju kamar jenazah. Tino, Dery dan Daffa pun akhirnya mengikuti langkah Dervin.
Tino berhenti di depan pintu kamar jenazah, jantungnya berdebar begitu kencang dari biasanya. Tino tak berani masuk ke dalam ruangan itu, ia tak akan pernah siap dan ia tak yakin bisa menerima fakta yang akan ia dengar kebenarannya saat itu juga.
Dery membuka kain putih yang menutupi tubuh Dervan sebatas leher. Tino berusaha mengenyahkan kebenaran bahwa yang ia lihat saat ini tepat di depan matanya terdapat tubuh sahabatnya terbujur kaku tak bergerak dengan kedua mata tertutup rapat. Meskipun Dervan dan Dervin nyaris sangat mirip, hanya orang-orang terdekatnya yang bisa membedakan kedua lelaki kembar itu.
Tubuh Tino jatuh memeluk tubuh Dervan yang tertutup kain putih. Airmata kesedihan, kepedihan dan kesesakannya tumpah tak tertahankan lagi. Ia gagal berkorban untuk orang yang berjasa atas nyawanya sampai detik ini. Ingin menyalahkan diri sendiri untuk menyelamatkan Dervan tempo hari juga rasanya tidak akan memberi pengaruh lebih atas garis takdir yang tertulis. Dervan memang sudah waktunya pulang mendahuluinya dan yang lain. Tino merasa gagal dalam misinya bersama Dervan.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Leader! || ✔️
Teen FictionAwal yang buruk menjadi bagian dari ujian hidup yang begitu berat ia rasakan. Dervin yang dibesarkan disebuah keluarga yang tak sehat, hal itu tak membuat dirinya menjadi sosok anak yang nakal ataupun pembangkang. Namun sebaliknya, ia menjadikan sem...