"Drio!" Panggilan itu berasal dari mamanya, hanya beliau yang memanggil Dervin dari bagian nama belakangnya. Dervin Gevandrio.
Dervin berbalik dan melihat mamanya mengambil langkah untuk menghampirinya, kini mereka berhadapan. Dervin menunggu apa yang akan dikatakan mamanya, ia memang parno setiap kali orangtuanya memanggil dengan tujuan yang mungkin akan membebankan dirinya.
"Motor Dervan rusak, jadi motor kamu kasih pinjam buat Dervan, sementara kamu naik angkutan umum kalau mau pergi kemana-mana. Saya ga mau mengeluarkan banyak uang buat yang ga penting. Sanggup?" ujar wanita itu begitu tenang, lain halnya dengan perasaan Dervin yang diremas secara keras mendengar penuturan mamanya yang secara tak langsung menyuruhnya untuk menyerahkan motor kesayangannya untuk Dervan.
Sebenarnya Dervin tak keberatan jika harus berbagi transportasi dengan Dervan, namun ini yang mengharuskan dirinya memberi hak sepenuhnya pada Dervan dan ia tak ada lagi hak untuk itu.
Dervin terdiam tak bisa merespon apapun kecuali tatapan penuh kecewa yang begitu dalam."Tapi, Ma, bukannya aku ga mau nyerahin motor aku ke Dervan... Terus nanti kalau aku ada kepentingan lain buat-"
"Buat nongkrong di jalanan, balapan liar, taruhan, bikin kerusuhan yang meresahkan warga, begitu?" potong wanita itu secara bertubi-tubi tak memberikan Dervin untuk mengutarakan alasannya. Secara tak sadar, wanita itu menyebutkan apa yang dilakukan Dervan, dan mengapa selalu saja Dervin yang disalahkan.
"Ma, kenapa Dervan ga dikasih yang baru aja?" tanya Dervin dengan nada yang begitu datar.
"Saya ga mau menghabiskan uang buat sesuatu yang ga penting," jawab wanita itu penuh penekanan.
"Terus tujuan mama sama papa kerja siang malam sampe lupa anak-anak kalian, itu buat apaan kalau bukan buat anaknya? oh, apa kalian cuma pengen keliatan kaya raya di mata orang-orang tanpa mau memikirkan perasaan anaknya yang ditelantarin gitu aja hanya bermodal fasilitas tanpa ada kasih sayang?! Egois banget!"
PLAK!
Satu tamparan mendarat mulus tepat setelah Dervin menyelesaikan perkataannya, telapak tangan wanita itu mendarat di sebelah pipinya dengan begitu keras. Dervin memegang sebelah pipinya yang terasa sangat perih, ini kedua kalinya ia ditampar oleh sosok wanita yang melahirkannya. Ia akui, ia melampaui batas dalam pembelaan dirinya. Ia menyesal.
"Lancang kamu, Drio!" bentak wanita itu murka. Wanita itu merasa diinjak-injak oleh setiap penuturan Dervin yang memang secara sadar ia akui kebenarannya.
"Kurang ajar kamu, Dervin?!" itu suara bariton papanya yang sama murkanya, ketika mendengar keributan dari ruang keluarga, ia langsung menghampiri salah satu putranya dan hampir saja melayangkan tamparan lagi pada Dervin, namun itu tertahan begitu saja. Pria itu masih bisa menetralkan emosinya, ia harus bisa mengendalikan emosinya agar penyakitnya tak kambuh lagi.
Dervin tersenyum getir, mengabaikan rasa perih yang berdenyut. Ia menatap nyalang pada sosok wanita dihadapannya, "Maaf, Dervin lancang. Dervin tadi siap kalau harus ditampar lagi sama Papa, Dervin mengaku salah," ucapnya menyesal tanpa menatap sorot tajam penuh amarah wanita itu.
Pria itu menggeram menahan amarah yang membuncah, kebenciannya terhadap Dervin begitu kuat. Namun ia tetap tidak bisa ketika ia mengingat bagaimana ia begitu menyayangi Dervin dulu.
Dervin memberanikan diri menatap kedua orangtuanya ketika tak ada respon lebih dari mereka, "Tapi, mama ga ada hak buat nyuruh Dervin serahin apa yang Dervin hasilkan dari keringat Dervin sendiri buat Dervan. Kalian ga berhak. Kalian ga berhak sama sekali," tandasnya dengan nada perih dan perasaan kacau ia meninggalkan rumah itu.
"Dasar pembunuh! Anak pembangkang!" teriak wanita itu memaki Dervin yang sudah pergi keluar rumah.
Dari arah tangga, tanpa diduga siapapun Dervan berlari berniat mengejar kembarannya, namun ia urungkan karena amarahnya pada orangtuanya lebih kentara, ia tak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Leader! || ✔️
Teen FictionAwal yang buruk menjadi bagian dari ujian hidup yang begitu berat ia rasakan. Dervin yang dibesarkan disebuah keluarga yang tak sehat, hal itu tak membuat dirinya menjadi sosok anak yang nakal ataupun pembangkang. Namun sebaliknya, ia menjadikan sem...