Chapter 54

332 35 39
                                        

Sudah dua jam lamanya perempuan itu tak juga keluar dari kamarnya yang dirias sedemikian indahnya. Penampilannya kali ini begitu berbeda dari biasanya. Kebaya berwarna biru tua itu melekat di tubuhnya, lengkap dengan riasan make over di wajah cantiknya.

Jika ada yang berpikir wanita itu akan menikah, ya benar begitulah. Hari ini adalah hari bahagia yang ia tunggu selama ini, itu yang dulu ia inginkan. Namun kini, rasanya terasa begitu hambar bagi wanita itu. Berbagai ingatan dua hari yang lalu kembali menyelinap merasuk ke dalam pikirannya yang sudah sangat kacau.

Ia berharap segera terbangun dari mimpi buruk yang terasa begitu nyata baginya, mimpi buruk yang menikam begitu kuat relung hatinya, mengoyak tanpa ampun seluruh jiwanya yang nyaris meninggalkan raganya yang hampa.

Jika ini bukanlah mimpi buruknya, mengapa terasa sangat sulit baginya menerima kenyataan yang begitu pahit. Nasibnya begitu tragis. Jika saja ia tak memiliki iman yang kuat mungkin ia sudah memilih untuk mengakhiri semuanya dan menyusul seseorang yang telah meninggalkannya.

Airmatanya mengalir begitu deras, riasan make-up di wajahnya kembali berantakan. Namun ia tak juga peduli. Ia terisak begitu memilukan, meredam segala luka hatinya yang semakin menganga lebar, ia berusaha menyembunyikan segala kehancurannya dari oranglain.

Tangannya melingkar memeluk dan mengusap perutnya yang sudah tampak membuncit. Berusaha membagi segala kesakitannya dengan hasil buah cintanya bersama seseorang yang tega pergi meninggalkannya. Benar, seharusnya hari ini adalah hari pernikahannya yang ia tunggu. Hari pernikahan yang dijanjikan oleh lelaki yang ia cintai, namun janji hanyalah tinggal janji tanpa adanya bukti nyata.

Ia memang akan menikah hari ini, namun bukan dengan lelaki yang ia cintai. Ia dibuat seperti orang bodoh yang dipaksa untuk percaya dengan situasi yang direka sedemikian rupa agar terlihat semuanya baik-baik saja. Namun ternyata, semua hanyalah kepalsuan semata untuk membodohinya. Tetapi Tuhan berkehendak lain, ia diharuskan membongkar kepalsuan itu dan menelan kenyataan yang begitu pahit ia rasakan.

Wanita itu menghapus jejak air matanya meskipun tetap saja cairan itu tak ada hentinya menetes membasahi pipinya. Ia memaksakan mengutas senyum di bibir tipisnya, berusaha menutupi semua kehancuran yang ia alami saat ini. Jika mereka bersandiwara begitu apik, maka ia juga bisa melakukan hal serupa. Mereka yang membodohinya, dan ia yang berpura-pura menjadi orang paling bodoh dihadapan mereka.

Cukup kepahitan ini ia rasakan sendirian. Ditinggalkan oleh kekasih dalam keadaan seperti itu, dibodohi orang sekitar, dan parahnya ia sama sekali tak diberi tahu tentang kematian kekasihnya, lalu ia harus berpura-pura tidak tau apapun di hadapan calon suaminya yang tak lain adalah kembaran kekasihnya. Sialnya, ia juga baru mengetahui akan hal itu.

"Memang udah dari awal aku dibodohi, seharusnya aku udah terbiasa dan ga perlu syok bahwa akan selamanya aku dibodohi mereka. Aku salah apa?" lirihnya tersenyum getir menatap pantulan dirinya di cermin.

"Ok, Elzavira. Kamu hanya perlu berakting di depan mereka. Ikuti saja permainan mereka sampai mana, dan lihat saja sampai mana mereka bisa menyembunyikan semua ini. Suatu saat nanti mereka akan mengatakan kejujuran dengan sendirinya," tukasnya terdengar begitu miris.

Wanita itu mengusap jejak air matanya dan kembali merias tipis-tipis make-up yang sempat terkikis oleh air matanya. Selesai dengan kegiatannya, wanita itu segera menghampiri pintu kamarnya dan ternyata di luar kamarnya ia sudah ditunggu oleh ibunya. Sebisa mungkin ia menampilkan senyuman terbaiknya.

"Ayo, nak. Kamu ngapain aja di kamar? lama banget. Kasian bapak penghulu udah nunggu. Dervan juga udah siap tuh di bawah," ujar seorang wanita yang tak lain adalah ibunya Elzavira, ia sudah sangat khawatir dan begitu cemas.

No Leader! || ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang