Dervin sampai di markas besar Chain, ia memarkir motornya di garasi besar lalu ia cepat-cepat menuju kamarnya. Kejadian beberapa menit lalu masih mengitari isi kepalanya, tidak ia sangka ternyata ia baru saja resmi memulai hubungan bersama Selvin. Ia juga tak mau terus-terusan memberi perhatian tanpa kepastian yang membuat Selvin berharap besar, dan waktu telah menjawab semua perihal perasaannya selama ini.
Baru saja ia akan masuk kedalam kamarnya, seorang perempuan yang ia tahu bernama Gisella itu menghampirinya. Dervin sedang dalam mood yang bagus maka dari itu ia tak menunjukkan raut datar dan ketusnya di depan perempuan itu.
"Om Edrico nyuruh lo ke kamarnya," ucap Gisella sedikit meringis ketika melihat raut wajah Dervin yang cerah, sejak tadi ia siap harus mendapat semburan respon ketus dari cowok itu. Namun nyatanya cowok itu hanya tersenyum sambil menepuk puncak kepala Gisella kemudian berlalu menuju kamar Edrico tanpa mengatakan apapun.
Gisella menatap heran dengan perubahan sikap Dervin. Ia tak mau terlalu memikirkan lebih jauh lagi tentang apa yang telah terjadi dengan cowok itu, ia segera saja menemui anggota inti Chain tim 1.
"Punten, gopud!" seru Dervin begitu sampai di depan ruangan Edrico. Tak lupa dengan aksi kurang ajarnya menggedor kasar pintu itu dengan tak sabaran.
Dervin pada akhirnya membuka pintu yang tak terkunci itu, ia menyembulkan kepalanya sedikit untuk melihat keadaan ruangan itu. Ia cengengesan ketika mendapati Edrico tengah menatapnya tajam dari tempat tidurnya.
"Sini kamu bocah kurang ajar!" perintah Edrico dengan geraman tertahan. Dervin melangkah masuk setelah menutup kembali pintu itu lalu ia mendekat dan duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Gisella.
"Kangen ya makanya nyariin saya?" tanya Dervin masih dengan cengiran konyolnya.
"Gard, anak lo lupa diadzanin kayaknya. Udah macam titisan setan, kurang ajarnya gak ada lawan," erang Edrico dalam hati, benar-benar ia merasakan tekanan batin dan pikiran karena terus-terusan dihadapkan oleh Dervin.
"Diem berarti iya. Cieee yang kangen," seru Dervin lagi dengan nada menggoda. Lantas saja Edrico menggeplak kepala Dervin saking kesalnya hingga remaja lelaki itu meringis kesakitan dan mendumel tak terima mendapat kekerasan meskipun sebenarnya tidak serius.
"Tolong, kali ini jangan cari ribut sama saya!" kata Edrico dengan raut datarnya, "hasil pemeriksaan dokter tadi memberitahu saya bahwa darah tinggi saya kumat lagi, dan itu gara-gara kamu," lanjut Edrico dengan penuh emosi sambil menekan telunjuknya tepat di kening Dervin.
"Oh, ya udah maaf. Itu khilaf," balas Dervin sewot. Edrico heran, kekhilafan yang dilakukan Dervin bahkan bukan hanya sekali terulang. Bukan khilaf namanya, tetapi sengaja dan sadar saat melakukannya.
Edrico menggeleng lelah. Dervin selalu saja bawaannya ingin bercanda dengannya, tak peduli situasi dan kondisi sekitar. Namun akan ada saatnya ia berubah menjadi serius jika memang dipaksa oleh keadaan.
"Makanya, Om udah tua ga boleh marah-marah. Saya tuh serba salah terus kayaknya di mata Om. Kapan saya benarnya?" lirih Dervin dramatis dengan raut wajah memelas.
Edrico mengusap kasar wajahnya, "coba kasih tau saya tentang laporan yang kamu dapat tentang Bragasdon!" sahutnya tak mau lagi menanggapi tingkah konyol Dervin.
Cowok itu merubah raut wajahnya dengan serius, "beres! udah aman, satu per satu anggotanya udah saya ruqyah-"
Edrico memicing tajam dengan suara nafasnya yang mulai bergemuruh siap meledakkan emosinya. Namun sebelum itu terjadi dengan cepat Dervin melanjutkan perkataannya,
"Tapi bo'ong, peace." Dervin mengangkat dua jarinya membentuk V dengan tatapan meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Leader! || ✔️
Teen FictionAwal yang buruk menjadi bagian dari ujian hidup yang begitu berat ia rasakan. Dervin yang dibesarkan disebuah keluarga yang tak sehat, hal itu tak membuat dirinya menjadi sosok anak yang nakal ataupun pembangkang. Namun sebaliknya, ia menjadikan sem...