"Jangan pergi untuk yang
kesekian kalinya."
-Keyna****
"Ma, kenapa bawa koper sebanyak ini?" tanya Keyna ketika mendapati wajah Mamanya yang panik.
"Ka-kamu udah pulang?" tanya Rinai yang terlihat gugup, seperti ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.
"Jangan menutupi apapun dari Keyna, Ma." Kini tatapannya berubah menjadi sendu. Sedih ketika melihat orang yang begitu ia sayangi mencoba menutupi kebenaran.
Terdengar helaan nafas panjang dari Rinai. Ia memegang pundak putrinya dan tersenyum samar. "Keyna, mungkin ini saat yang tepat untuk kamu tau yang sebenarnya."
"Ma, Keyna belum siap untuk terluka lagi." Gadis itu mencoba menahan air matanya yang hendak tumpah. Hatinya belum siap untuk menerima kebenaran yang pastinya akan lebih menyakitkan.
"Siap atau belum, kamu harus tau hal ini." Rinai menjeda ucapannya sejenak, "ini semua hanyalah sandiwara."
Deg. Jantung Keyna seakan-akan berhenti berdetak, pasokan udara di sekitarnya menipis, air matanya langsung meluncur tanpa izin. Kenapa kata-kata itu begitu menusuk?
"Maksudnya?"
Keyna butuh penjelasan yang lebih menyakitkan, biarkan rasa itu bertahta di dalam dirinya. Hidupnya kini sudah tidak berarti, ia hanya butuh kalimat yang membuatnya yakin untuk pergi sekarang juga.
"Kami bukanlah orang tua yang baik buat kamu," tutur Rinai dengan mata yang berkaca-kaca. Apa Keyna masih bisa berharap kalau Mamanya itu masih menyayanginya?
"Kenapa, Ma?" tanya Keyna dengan buliran air mata yang sudah berkumpul menjadi satu. Satu kedipan kecil saja, air mata itu akan jatuh membasahi wajahnya. Luka lama akan di timpa dengan luka baru, biarkan Keyna menikmati semua rasa sakit ini.
"Ini semua adalah kemauan Ardim, Key. Dia ingin melihat adiknya bahagia walau hanya sesaat. Dia ingin melihat adiknya bahagia untuk yang terakhir kali. Dia ingi—"
"Apa cuma Kak Ardim yang pengen liat Keyna bahagia, Ma? Apa cuma Kak Ardim yang menyayangi Keyna? Apa cuma Kak Ardim yang menganggap Keyna ada?" kilah Keyna cepat. Jangan tanyakan berapa tetes air mata yang kini sudah meluncur.
"Apa kalian pikir Keyna akan bahagia dengan sandiwara ini? Nggak, Ma. Justru ini lebih menyakitkan dari semua kata-kata yang kalian berikan."
"San.di.wa.ra. Kata itu benar-benar menyakitkan, Ma. Terlalu banyak sandiwara di hidup Keyna, Ma." Keyna tersenyum miris. Ia benci kata-kata itu setelah kata 'perpisahan'.
Seorang pria paruh baya keluar dari kamar dengan gerakan terburu-buru. Ia sibuk melihat lengan kemejanya hingga tak sadar dengan keberadaan Keyna. "Apa semuanya sudah siap? Kita harus segera pergi sebelum anak itu pula—" ucapannya berhenti kala melihat Keyna menatapnya dari kejauhan.
"Keyna?" gumamnya.
Bolehkan Keyna menangis sekencang-kencangnya sekarang? Semua orang menjauhinya. Semua orang membencinya. Semua orang tak mengharapkannya. Semua orang tak menginginkannya. Yang mereka pikirkan adalah pergi dari Keyna sejauh-jauhnya.
Heri perlahan mendekat dengan wajah yang tampak gusar. Tatapannya berubah drastis dari beberapa jam yang lalu. Ia menatap Keyna dengan nyalang. Tanpa aba-aba, ia menarik Keyna dengan paksa, menyeretnya hingga gadis itu melupakan fungsi kakinya. Gadis malang itu menangis sejadi-jadinya.
"Pa, lepasin Keyna. Keyna mau ikut kalian!" Keyna terus berteriak histeris hingga memancing semua orang keluar, termasuk Kinan dan Ardim.
"Dasar anak tidak berguna! Aku menyesal karena sudah bersikap baik denganmu!" Heri menendeng tubuh Keyna kasar hingga gadis malang itu terpental.
"PAPA!" teriak Ardim ketika melihat adiknya itu tak bersuara lagi karena manahan rasa sakit.
"BERDIRI DI TEMPATMU, ARDIM!" teriak Heri dengan tajam. Ia menatap putra sulungnya dengan penuh intimidasi. Heri mengunci pintu kamar itu dan membuang kuncinya asal.
Melihat hal itu, Ardim hanya bungkam sembari menetralisir kemarahannya yang kian memuncak, ia harus menolong Keyna. Ia benci dimana Papanya hadir dan membuat Keyna terluka, apalagi ia tak bisa melakukan apa-apa sekarang. Hanya ada satu cara. "Ma, tolong Keyna, Ma. Ardim moh—"
"Cukup, Ardim! Mama sudah menuruti kemauan kamu sebelumnya. Untuk kali ini, Mama akan menolak dengan tegas!" ucap Rinai penuh penekanan. Ia menepis air matanya dengan kasar, menghampiri Kinan yang tampak ketakutan, lalu menarik kopernya ke luar.
"Kenapa semua orang berteriak dan menangis, Ma? Kinan takut."
"Jangan takut, sayang. Kita akan segera pergi dari sini."
****
Jangan lupa vote dan komen🌠
See you again ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
KENTAKI [COMPLETE]
Teen FictionIni bukan kisah keuwuan antara dua insan yang saling mencintai dan membutuhkan. Keyna berbeda dari yang semua kalian pikirkan. Di benci keluarga dan di tinggalkan, di benci bahkan di asingkan. Keyna pun tak mempunyai teman ataupun pasangan. Baginya...