"Semoga keputusan yang aku ambil, kelak akan membuatmu bahagia."
-Ardim****
"Ayo, kita harus pergi dari sini!" Heri menarik tangan Ardim menuju ke luar.
"Pa, Keyna." lirih Ardim.
"Dia bukan siapa-siapa kita lagi, Ardim. Apa kamu lupa kalau orang tua gadis itu yang mencoba untuk menjatuhkan karir Papa? Dan apa kamu lupa kalau orang tuanya saja tidak menginginkan kehadirannya di dunia? Mereka ingin melenyapkan Keyna saat itu, tapi apa? Adik kamu yang jadi korbannya!" jelas Heri dengan emosi yang menggebu-gebu kala mengingat latar belakang gadis yang selama ini tinggal di rumahnya.
Heri tau itu semua ketika melihat plat mobil yang menabrak Alan. Dan itu semakin di perjelas dengan semua bukti yang menuju ke Keyna.
"Tapi, Pa. Keyna nggak salah." Ardim mencoba untuk membujuk Papanya. Ia ingin Papanya itu memberi kesempatan untuk Keyna agar bisa merasakan kebahagiaan lagi bersama mereka.
"Dia memang nggak salah, tapi kehadirannya yang membuat masalah!" tekan Heri.
"Ardim, Papa sudah memberi dia kesempatan untuk tinggal di rumah ini. Tapi apa? Dia sudah seperti sampah disini! Dia hanya membawa bayang-bayang Alan, anak kesayangan Papa yang sudah pergi meninggalkan kita lebih dulu!"
Ardim melihat mata Heri yang berkaca-kaca. Itu menunjukkan betapa besar rasa sayang Papanya terhadap Alan, adik bungsunya.
"Ardim, Papa mohon. Kita harus memulai kehidupan baru tanpa gadis itu. Lupakan dia, Nak. Masih ada Kinan yang membutuhkan kamu. Biarkan Tantemu yang mengurus anak itu. Sebentar lagi Tante Rini akan kemari. Pembeli rumah ini juga akan datang besok dan mengurus perpindahan. Kita harus pergi cepat sebelum menjelang malam." Heri menyentuh pundak anak sulungnya. Ia berharap agar anaknya itu dapat mengerti dirinya.
Pikiran Ardim kacau. Harus kepada siapa ia memihak sekarang? Apa setelah ini Keyna akan bahagia dengan keputusan yang ia ambil? Ia benar-benar bingung.
"Bagaimana?" Heri menatap anaknya penuh harap.
Ardim menghirup nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia harus mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya.
"Ardim nggak bisa hidup tanpa kalian, tapi Ardim juga nggak bisa meninggalkan Keyna, Pa. Jadi-" ucap Ardim dengan menggantungkan kalimat akhirnya.
"Ardim memutuskan untuk ikut kalian. Ardim yakin, suatu saat Keyna pasti akan menemukan kebahagiaannya. Ardim akan menuruti semua keinginan Papa," ucap Ardim dengan yakin. Senyuman Heri mengembang, ia menepuk bahu anaknya pelan.
"Terimakasih, Nak." Heri beralih memeluk anaknya dan merangkulnya bahagia. Ia telah berhasil membujuk anak sulungnya itu untuk ikut pergi. Mereka pun berjalan bersisian menuju pintu keluar, meninggalkan semua kenangan pahit yang berada di rumah ini beserta segala isinya, termasuk Keyna.
****
Keyna's POV
Aku mencoba mendorong pintu sekuat mungkin, mengerahkan semua tenagaku untuk bisa keluar dari ruangan ini. Aku ingin berlari menjemput mereka, aku tidak ingin di tinggalkan sendirian disini. Kebahagiaanku ada bersama mereka, keluargaku.
"Ma, Pa, tunggu Keyna, jangan pergi dulu!" teriakku, berharap mereka dapat mendengarnya. Kak Ardim pasti sedang menungguku di luar, mungkin ia sedang mencari cara untuk membebaskanku dari sini dan membawaku untuk ikut bersama mereka. Pikiranku mulai kacau saat tak mendengar suara apapun dari luar. Apa mereka sudah pergi? Pikirkanku semakin tak terkendali.
Kata orang, di saat terdesak semua kekuatan kita akan muncul begitu saja. Dan benar, aku berhasil mendobrak pintu untuk keluar. Bahuku rasanya begitu nyeri, badanku terasa diremukkan. Tapi rasa itu hilang saat melihat keluargaku yang sedang memasukkan koper ke dalam mobil. Aku pun berjalan tertatih-tatih menuju keluar. Kenapa kakiku terasa sangat sakit untuk berjalan? Ah,mungkin itu efek dari tendangan Papa.
"Kak Ardim," gumamku senang ketika mendapati Kakakku sedang bermain handphone, menunggu semua koper di masukkan ke dalam bagasi. Mereka belum pergi. Aku yakin, pasti Kak Ardim sedang menungguku.
"Ardim, apa sudah selesai? Ayo bantu Papa angkat ini." Aku melihat Kak Ardim bangkit dan beralih membantu Papa mengangkat sebuah koper paling besar.
Aku terus berjalan ke arah mereka. Ingin sekali aku berlari dan memeluk tubuh Kak Ardim, tapi aku sangat kesulitan untuk berjalan dengan satu kaki. Kenapa rasanya begitu jauh untuk mencapai pintu?
Seasampainya di ambang pintu, senyumanku langsung merekah. Tapi sepertinya mereka tak menyadari keberadaanku. "Papa!" teriakku dengan wajah senang. Aku melihat ada perubahan ekspresi disana.
"Keyna mau ikut kalian, boleh kan? Ah iya, Keyna mau siapin koper dulu." ucapku dengan senyuman lebar, ketika aku ingin membalikkan badan, sebuah suara menginterupsi pergerakanku.
"Tunggu, Key!"
Senyumanku memudar ketika Papa menatapku dengan berang. Tak perlu menunggu lama, Papa berjalan ke arahku dan mendorong tubuhku hingga tersungkur di lantai.
"Argh!" Rasa sakit yang tadinya belum hilang kini semakin bertambah. Aku merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhku. Rasanya begitu nyeri.
"Kak Ardim." Aku menatap Kakakku dengan wajah sendu. Menapa ia hanya diam saja? Air mataku sudah menggenang di pelupuk mata. Apa Kakakku sudah tidak peduli lagi? Ah, mungkin Kak Ardim ingin melihatku kuat. Aku harus berpikir positif.
"Pa, kenapa Papa dorong Keyna? Keyna salah ya, Pa? Keyna minta maaf, ya." Aku mencoba untuk bangkit dari posisiku. Namun, "arghh." Kakiku terasa kaku dan nyeri.
"Kamu tidak salah, Key. Yang salah adalah-"
Jantungku berdegup dengan kencang, tak sanggup mendengar kalimat selanjutnya.
"Lahirnya kamu ke dunia ini."
****
Sedih banget jadi Keyna:")
Menurut kalian, bakal happy ending atau sad ending?Jangan lupa vote dan komen^^
See you again ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
KENTAKI [COMPLETE]
Teen FictionIni bukan kisah keuwuan antara dua insan yang saling mencintai dan membutuhkan. Keyna berbeda dari yang semua kalian pikirkan. Di benci keluarga dan di tinggalkan, di benci bahkan di asingkan. Keyna pun tak mempunyai teman ataupun pasangan. Baginya...