“Riyeon,” Namjoon menyambutnya antusias ketika Riyeon memasuki ruangan pribadinya.
Netra wanita itu sekilas mengedar dan menemukan beberapa sobekan gaun berserakan di karpet. “Ah, ruangan ini menyuarakan bahwa kemarin malam kau mengajak wanita kemari, apa aku salah?”
Riyeon menduduki sofa beludru, hingga posisinya dan Namjoon kini berseberangan.
“Kau memang pandai menebak,”
Pria bermarga Kim itu menyodorkan sebotol wine yang dibalas lambaian penolakan dari Riyeon.“Kau tahu, aku tak boleh terlalu mabuk saat melayani seseorang nanti. Jadi, meminum wine bahkan ketika tengah malam belum dimulai akan sangat merugikanmu’kan? Aku harus tetap sadar agar tak terlalu larut akan permainan satu orang saja. Agar aku bisa melayani lebih banyak orang dan membawa lebih banyak uang padamu.”
Namjoon tertawa terbahak-bahak. “Kau memang luar biasa sekali, Riyeon.” Pria itu bertepuk tangan. Ia lalu menarik sekotak rokok yang berada di atas meja kaca. “Kalau kau tak mau wine, bagaimana kalau rokok saja?”
Riyeon menarik sudut bibirnya tipis, sebelum menggapai rokok yang disodorkan kepadanya. “Jadi, orang yang bersamamu tadi malam—biar kutebak, dia orang baru?”
“Tentu saja.” Namjoon menyandarkan punggungnya pada sofa. “Dan sangat tidak memuaskan.” Lanjut si Kim. Ia menenggak cairan kemerahan itu sebelum meletakkan gelas kaca kosong di atas meja hingga menimbulkan suara denting. “Bisa kau bayangkan ketika aku baru saja menyajikan foreplay, tubuhnya telah penuh keringat dan lemas.”
Tawa singkat lolos dari bibir Riyeon. “Itulah sebabnya kau perlu mengajarinya.” Wanita itu menyesap dalam-dalam sebatang rokok yang berada pada impitan jari tengah dan jari telunjuknya.
Namjoon kini menarik senyum miring. “Biar bagaimana pun kau tetaplah orang yang menyajikan permainan ranjang terbaik di sini, Riyeon.”
“Aku anggap itu pujian.”
“Itu memang pujian, manis.” Namjoon menukas, tetapi kini sorot matanya tak lagi sama. Pandangannya menyorot Riyeon tajam. “Tapi, kurasa kau mulai menjadi pemberontak akhir-akhir ini. Terutama kemarin malam. Katakan padaku dengan jujur, apa saja yang kau lakukan di malam itu?”
Riyeon mengetuk ujung rokoknya pada asbak dan menjatuhkan abu hasil pembakaran di sana. Ia berusaha mempertahankan ketenangan dalam nada suaranya. “Tentu saja melayani pelangganmu, apalagi?”
“Jangan berbohong. Kau bahkan tak datang ke kamar orang-orang yang memesanmu. Kau menghilang begitu saja setelah memerhatikan seorang pria.”
Riyeon susah payah meneguk ludahnya. Meski sesaat kemudian kendalinya atas situasi kembali dapat diaturnya. Ia membuang rokok yang baru terbakar setengah itu pada asbak, memulai skenario terbaiknya untuk meloloskan diri. “Maafkan aku, Joon. Tapi, pria itu begitu menggoda hingga aku hampir melupakan segalanya,”
“Jadi, kau mengakuinya?” Namjoon mendekat ke arah Riyeon.
“Hanya sebuah gairah yang meledak-ledak dalam semalam—hal biasa yang sangat memungkinkan terjadi antara pria dan wanita dewasa’kan? Aku bahkan tidak terlalu mengenalnya, tapi kau tahu, itu terjadi begitu saja.” Riyeon menundukkan wajahnya.
Namjoon sejenak tak memberi respons. Belah bibirnya terkatup rapat seakan menimang-nimang keputusan yang akan diambilnya lebih lanjut. Tetapi, ketika netranya kembali menangkap sosok Riyeon yang menunduk seakan menyesal, pria itu tak mampu terlalu bersikeras. Namjoon kini beranjak dan menduduki sofa di samping Riyeon.
“Dia salah satu pelanggan spesial di sini. Namanya Kim Taehyung. ”
Riyeon akhirnya mendongak dan menatap Namjoon yang duduk di sampingnya.
Pria itu melanjutkan. “Aku belakangan ini selalu memperhatikannya. Karena frekuensi kunjungannya yang terbilang sering, jadi kemungkinan dia ladang uang yang mudah di keruk dengan alkohol dan wanita. Kondisinya juga terlihat seperti orang yang nyaris gila karena tertekan. Poin yang bagus, untuk menjeratnya semakin menghamburkan uang di sini.”
Mendadak Namjoon menarik dagunya, dan berbisik tipis, “Tapi, aku belum mengizinkanmu untuk melayaninya apalagi tanpa dibayar. Kau tahu sendiri, aku sangat selektif memilih pelanggan jika itu untukmu.” Si Kim kini memainkan helai rambutnya, “Kau juga tahu betapa aku begitu terangsang akan keberadaanmu. Aku membutuhkanmu lebih dari pria-pria yang memesanmu itu.”
Namjoon semakin mendekat dan menciumi lehernya.Riyeon dapat merasakan jemari tangan pria itu telah menyusup di antara pangkal pahanya.
Di titik ini ia seakan tak ingin mengakui bahwa dirinyalah wanita yang mendesah di bawah koyakkan jari seorang pria. Dirinyalah juga, wanita yang membuka belah bibir ketika undangan perhelatan lidah dikirimkan meski dalam paksaan sekali pun.
Riyeon tak ingin mengakui, bahwa dirinya telah terjebak di dalam semua ini.
•○•Ia melempar gaun berenda hitam yang berada di dalam kotak pemberian Namjoon. Sederet ucapan pria itu juga terputar begitu saja di pikirannya.
‘Pakailah ini. Aku tak ingin melihat penampilanmu yang berantakan akibat permainan kita. Lain kali aku berjanji akan bermain lebih lembut.’
“Persetan,” Riyeon nyaris terisak tetapi ia segera menghapus jejak air mata di sudut netranya. Entah kenapa ujaran merendahkan yang biasa didengarnya itu kini serasa menusuknya bagai pisau.
Apa karena ia menemukan kadar keputusasaan yang terlalu rendah di mata orang yang seharusnya menderita? Kenapa ia merasa begitu menyedihkan?
Riyeon meremas pinggiran wastafel dengan isak tangis yang kian menekan dadanya kuat. Sesaat kemudian, ia bahkan melesitkan tubuhnya keluar dari toilet dan membelah begitu saja orang-orang yang berlalu-lalang di koridor bar, sebelum tubuhnya nyaris terpental ketika sosok seseorang tak bisa dihindarinya.
Namun, orang yang ditabraknya berhasil menarik lengannya, sehingga tubuhnya tak membentur lantai.
Sekilas, Riyeon dapat mendengar sayup-sayup suara yang bernada khawatir. “Kau baik-baik saja?” [♤]

KAMU SEDANG MEMBACA
Blue and Grey || ✔
FanfictionAwalnya, Riyeon merasa dirinya hanya terjebak di antara kisah sang kakak dan Taehyung serta hasrat untuk membalas sebuah luka. Namun, nyatanya, pijakan kakinya, luka, dan ambisinya untuk membalas dendam hanya secuil bagian tak penting dalam hubungan...