Pt. 29 (Hindrance)

126 12 2
                                    

Ia mengiyakan permintaan itu. Tanpa berpikir panjang, bahkan tanpa keraguan sedikit pun. Toh, mereka tidak akan pernah menikah.

Wanita itu menyentuh detail cincin yang kini melingkar pada jari manisnya. Riyeon dapat melihat dengan jelas raut bahagia di wajah Taehyung saat memasangkan cincin itu pada jarinya, pria itu juga menghadiahinya sebuah ciuman setelahnya.

Andai pria itu tahu, bahwa kebohongan memang selalu lebih manis dari kenyataan. Lalu kini sudah saatnya untuk mengakhiri kebohongan itu dan menyajikan pahit kenyataan yang tak terelakkan.

Riyeon melirik jam yang tergantung pada dinding ruang tengah. Jarum jam telah menunjukkan bahwa petang akan segera menyambut.

Taehyung memang terkadang pergi hampir seharian untuk mengurus galeri seni tempatnya memamerkan lukisan.

Waktu dan keadaan saat ini rasanya benar-benar berada di pihaknya. Ia tak perlu pergi mengendap-endap. Ia hanya perlu menghilang dan meninggalkan pria itu begitu saja.

Riyeon tersenyum, kembali membawa atensinya pada benda yang notabene adalah cincin pertunangannya.

Ah, apakah ia tinggalkan saja cincin ini di sini?

Wanita itu menimang-nimang sembari menjilat bibirnya.

Tidak-tidak. Lebih baik aku membawanya.

Jika ia meninggalkan cincin itu di sini, maka Taehyung mungkin mengira dirinya menolaknya. Lalu kebingungan dan kerapuhan mungkin tak akan menggores luka yang cukup dalam untuk pria itu. Lebih baik ia membawa cincin tersebut, membiarkan Taehyung  larut dalam banyak kemungkinan yang ia pikirkan atas kepergiannya, yang pada akhirnya menyisakannya dalam kehampaan karena tak ada lagi yang dapat disandari. Taehyung telah mengabaikan dan melupakan hubungan lain selain hubungan penuh kebohongan ini yang ia anggap begitu nyata. Pria itu akan tahu bagaimana rasanya ditinggalkan sendirian dalam kebingungan dan kesepian, bagaimana rasanya pengkhianatan dalam balutan wajah tak bersalah yang palsu.

Tanpa setitik pun keraguan wanita itu menenggakkan punggungnya dari sofa, dengan cepat melenggang dan meloloskan dirinya keluar dari villa.

Selamat tinggal, pendosa.


•○•


Riyeon telah berjalan menyusuri trotoar. Ia telah berjalan cukup jauh meninggalkan villa milik Taehyung. Langit yang awalnya menyambutnya dengan bias kuning kemerahan kini telah sepenuhnya gelap. Sesekali cahaya menyorotnya ketika kendaraan membelah jalanan lengang itu.

Pada akhirnya ia mencapai tempat tujuannya, sebuah halte bus yang juga sama lengangnya dengan jalanan di sampingnya. Bahkan saat itu hanya dirinya yang berada di dalam halte. Tidak buruk. Ia memang butuh udara segar setelah berbulan-bulan berada di atap yang sama dengan seorang pria. Well, sekarang itu telah selesai.

Sebagai persiapan ia juga telah mengambil sejumlah uang milik pria itu. Dia tidak mencuri, karena Taehyung sendiri yang memberikannya. Pria itu terlalu percaya padanya, sedikit menggelikan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa itu cukup menguntungkannya terlepas dari rencana yang ia jalankan.

Mengapa mendadak ia merasa belum cukup menghancurkan hidup pria itu?

Meski ia telah membuat Taehyung  bercerai dengan sang istri tetapi pria itu memang benar-benar tak menginginkan pernikahan tersebut, lalu ia mendorong pria itu  memutuskan hubungan dengan keluarga terutama kakaknya. Tapi, hubungan keluarga yang sempat terjalin itu memang sudah rapuh sejak awal.

Mungkin ia belum sempat menghancurkan salah satu mimpi berharga pria itu—menjadi pelukis.

Ah, iya. Benar.

Riyeon menarik sudut bibirnya sesal, seakan telah melewatkan suatu bagian yang paling menarik dari sebuah drama.

Seharusnya ia mungkin membuat kedua tangan pria itu mengalami cedera hingga ia tak akan bisa menggoreskan kuas pada kanvas ataupun memamerkan karyanya di galeri.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari mimpi yang hancur di depan mata, ya, kan? Tapi, bahkan hal itu masih terasa sangat kurang jika dibandingkan dengan apa yang telah pria itu lakukan; mendorong seseorang pada kematian.

Sayangnya, Riyeon telah sepenuhnya melewatkan kesempatan membalaskan itu.
Ia harus merasa cukup hanya dengan menjadikan Taehyung sebagai alat untuk melepasnya dari jerat Kim Namjoon serta menjadi tempat di mana ia menggoreskan luka yang ia harap akan membekas selamanya. Cukup sudah ia memanfaatkan rasa mendalam pria itu terhadap dirinya.
Riyeon menghela napas, seakan melepas beban berat dari sana.

Namun, ketenangan yang baru saja di dapatnya perlahan-lahan luntur ketika netranya menangkap sesosok pria yang berjalan mendekat dari kejauhan.

Itu ...

Riyeon tak mampu berpikir apa pun selain segera menyeret tungkainya, berlari di antara deru embusan angin malam yang mulai mendingin.

Dengan cepat dadanya terpacu. Ia dapat merasakan tarikan napasnya yang kian tersengal kala ia terus berusaha berlari lebih cepat.

Wanita itu sempat menoleh ke belakang, berakhir menemukan pria yang dilihatnya tadi benar-benar mengejarnya dan hanya menyisakan jarak beberapa langkah. Sedikit lagi sosok itu akan menggapainya.

“Han Riyeon!” Suara berat menggema keras.

Riyeon menggeleng.

Tidak, jangan menoleh.

“Kau mau pergi ke mana? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?”

Wanita itu seakan telah sepenuhnya kehabisan pilihan. Ia tak mungkin terus berlari, tenaganya jelas tidak sebanding dengan orang yang mengejarnya.

Namun, bagai menemukan sumber mata air di tengah gurun, Riyeon menemukan kedai tua yang masih buka.

Dengan sisa energinya ia berlari masuk dan berteriak kencang, “Tolong! Tolong aku!” [♤]

Blue and Grey || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang