Awalnya, Riyeon merasa dirinya hanya terjebak di antara kisah sang kakak dan Taehyung serta hasrat untuk membalas sebuah luka. Namun, nyatanya, pijakan kakinya, luka, dan ambisinya untuk membalas dendam hanya secuil bagian tak penting dalam hubungan...
Teriakan terakhirnya tepat ketika mobil milik Namjoon melaju menjauhi flat-nya seakan menyedot seluruh energinya untuk melawan dan berusaha terlepas dari jerat pria itu. Dirinya kini benar-benar layaknya seonggok daging yang bernapas dengan sepasang mata terbuka, tapi dengan sorot yang telah lama mati.
Setelah Namjoon mencekik dan memaksa punggungnya membentur dinding hingga membantingnya ke lantai, Riyeon juga merasakan nyeri yang ikut serta melemahkan dirinya.
Jadi, meski ia sangat tahu ke mana pria itu akan membawanya, pikirannya tak bisa lagi mengatur rencana apalagi berusaha menolak. Ia membiarkan pria itu mengemudikan mobil menuju bar yang telah lama mengurungnya. Tempat yang menyajikan ilusi, bahwa ada jalan untuknya bebas, bahkan dapat membalas dan melampiaskan luka yang tak pernah sembuh, dengan mempertemukannya dengan kekasih sang kakak dahulu. Tempat yang juga sejak dulu berusaha mati-matian ia hindari, mungkin kini akan segera berakhir menjadi tempatnya terakhir kali menarik napas.
Takdir awalnya terlihat begitu membingungkan, tapi kini semua hal yang ada di depannya, hal yang ia rasakan, bahkan akhir bagi dirinya seakan sudah begitu rapi ditentukan dan dituliskan. Dirinya seakan menjadi budak yang dipaksa berdiri pada panggung pertunjukkan, lalu dipermainkan hingga muak, lelah, lalu perlahan mati.
Mungkin hidup memang seperti itu? Sayangnya, ia baru menyadarinya saat ia sudah berusaha selayaknya orang gila hanya untuk mendapat akhir yang berbeda.
Mobil Namjoon kini benar-benar berhenti pada areal khusus bar. Pria itu lalu dengan mudah membawa tubuhnya memasuki bar tersebut lebih dalam, ke tempat di mana pria itu bisa lebih semena-mena lagi daripada biasanya, untuk melakukan apa pun yang pikiran gilanya lontarkan di atas tubuhnya.
Lorong temaram yang ditemani sayup gema musik, sumpah serapah, dan kata-kata kotor merendahkan yang membalut setiap kata yang bibir pria itu sajikan selama perjalanannya menuju ruangan khusus di dalam bar seakan menjadi lagu pengantar yang merenggut kesadarannya lebih banyak, sekaligus lagu selamat tinggal yang terdengar begitu buruk, tetapi juga terasa pantas.
Memang apa yang bisa diharapkan seorang jalang dengan amarah dan dendam yang lama kelamaan melebar tanpa arah? Lagu pengantar merdu nan lembut dengan ujaran bersyukur dan ingatan bahagia? Kecupan surga dari malaikat?
Tentu ia tidak akan mendapatkan hal-hal itu. Ia terlalu berdosa, atau terlalu sial, atau terlalu dicintai takdir untuk memainkan peran dalam panggung penuh hal buruk yang mengiriskan luka.
Riyeon meringis sakit, kian tak mampu bergerak banyak. Hanya pikirannya yang berkelana bebas tanpa arah dan tujuan.
Namjoon telah berhasil membawanya ke dalam ruangan tersebut. Seakan kemarahannya tak pernah lenyap dan belum usai untuk dilampiaskan, pria itu tak segan mendudukkannya di sebuah kursi, menamparnya, lalu menarik dagunya guna mempertemukan sorot mata. “Kau tak bisa kabur ke mana pun lagi. Ingatlah itu.”
Riyeon mengerjap lelah, membiarkan pria itu mengikat kaki dan tangannya pada kursi. Kini rasa nyeri yang ia rasakan semakin menggila, mengoyaknya dalam rasa sakit. Ia sadar, selain luka memerah pada wajah akibat tamparan dan hantaman pada lantai yang diterimanya, darah juga tengah merembes melalui balutan pakaian bagian bawahnya; hitungan mundur yang sangat perlahan, bahwa hasil hubungannya dengan Taehyung tak akan bertahan lebih lama lagi bersama dirinya.
Tenggorokannya terasa perih. Satu bulir air mata lolos dari netranya. Pikirannya lebih jauh berkelana meski dibalut kebingungan akan arti perasaan, tujuan, dan keinginannya kini. Apakah ia telah benar-benar goyah dan berubah, atau ia hanya menikmati momen terakhir dari rencana balas dendamnya pada Taehyung, yang meski tak sepenuhnya berhasil, telah ia lakukan sejauh ini.
Kini aku benar-benar tak tahu apakah aku menginginkanmu didekap lara dan kesepian seumur hidupmu, mati dengan lambat dan penuh siksaan, atau malah berada di sisiku, mendekapku dalam jerat kasih dan gairah yang tak pernah surut, lalu mendambakan akhir yang bahagia.
Perlahan pikirannya membawanya pada salah satu memori terakhirnya bersama seorang yang begitu dianggapnya musuh itu; momen ketika Taehyung bersikeras memintanya memikirkan rencana untuk nama anak mereka.
Allan dan Hera, katanya?
Kenapa kau begitu bersungguh-sungguh memikirkan nama anak yang bahkan belum tentu benar-benar terlahir ke dunia ini?
Kenapa kau begitu penasaran akan mirip dengan siapa wajah mereka?
Kenapa kau begitu mendambakan mereka untuk hadir dalam hidupmu?
Di tengah kondisinya yang sudah tak mampu bergerak dan seakan hanya membongkar satu per satu memori yang direkam ingatan serta mengkajinya seakan ia dapat menemukan kesimpulan pasti, ledakan keras menghantam ruangan tempatnya berada, memecahkan kaca yang menjadi dinding, serta menghempasnya dan Namjoon ke lantai.
Riyeon tak lagi memiliki pertanyaan apalagi keingintahuan atas apa yang baru saja terjadi; ledakan serta api yang mulai terlihat mendekat. Ia seakan sudah memutuskan, bahwa hidupnya berakhir. Dengan cara apa pun hidupnya akan berakhir, ia bahkan tak cukup penasaran. Jika masih ada kesempatan, ia hanya ingin tahu satu kesimpulan pasti saja. Satu hal saja; mengenai perasaan dan kesungguhan yang ia terima.
Kenapa pria itu ... seakan begitu bersungguh-sungguh untuk menjadikan dirinya bagian dari hidupnya?
Apa benar itulah yang kau inginkan, Kim Taehyung? Apa kau sungguh ingin menggenggam tanganku selamanya?
Suara napas Riyeon meraung serak, pelan, dan terdengar kesusahan untuk tetap menghirup udara. Apalagi ditambah dengan asap yang mulai memenuhi ruangan, diikuti cahaya dari kobaran api yang mulai terlihat melalap bagian bangunan.
Aku sungguh-sungguh tak tahu. Aku sangat kebingungan. Satu hal yang pasti, meski aku tak tahu apakah hal ini karena rencana balas dendamku kepadamu tidak berjalan mulus, atau aku menyesal telah menjadikanmu sasaran balas dendam hingga akhir, tapi ini sangat menyakitkan, sungguh menyiksa dan perlahan membunuhku.
Ledakan kedua kini terdengar, membawa api yang berkobar mendekat di depan mata, membuat Namjoon yang sempat merangkak hendak keluar ruangan telah benar-benar tergeletak bak mayat, serta Riyeon yang telah diam tak bergerak, kini sepenuhnya memejam dengan napas yang juga sepenuhnya lenyap. [♤]
A/N: Halo, Jove!
Cerita ini tersisa 2 bagian terakhir (Pt. 51 & 52) yang nanti akan aku publikasikan bersamaan.
Terima kasih udah mengikuti Blue and Grey sampai sejauh ini, meski cerita ini perlu waktu yg lama buat selesai dan masih banyak kekurangannya. Jujur, menurutku cerita ini klop bgt berantakannya, dari segi isi cerita dan juga faktor luar yg mempengaruhi cerita. Heran juga kenapa bisa barengan gitu ababil & bobroknya. Sempet kepikiran dan greget buat unpub, karena bener2 ga puas sama ceritanya, tpi mikir, itu ga adil buat yg masih mengikuti cerita. Pengen buat kayak sequel atau bonus part yg isinya versi nasib para tokoh kalau mereka dikasi kesempatan untuk bahagia, karena ngerasa udah kejam bgt sama tokoh2 yg aku buat, tpi mikir, memang itulah yg pengen aku tunjukin—gila, tragis & kelam. Jadi, aku putuskan untuk nulis semaksimal ini aja dan perbaiki lagi di judul cerita lain ke depannya.
Diingatkan lagi ya, ending-nya mungkin bakal bikin kalian greget sampai ke ubun2, jadi kalau ga suka/ga kuat, silakan skip.
Sampai jumpa di menu lain di lapak ini!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.