“Aku bukan—“
Heejin jelas ingin segera melayangkan respons penolakan atas ujaran Jungkook, tetapi bibir sang kakak telah mencegah suara lainnya lolos dari belah bibirnya. Sebuah ciuman telah membungkamnya.
Tangan Heejin yang berusaha meronta, menyalurkan penolakan hanya berakhir ditahan, membuatnya tak mampu berkutik lebih banyak. Tenaga pria itu memang bukanlah tandingannya. Bahkan pekikannya yang lolos dari sela-sela pertemuan bibir mereka, tak mengusik Jungkook sedikit pun untuk membatasi pergerakan Heejin dan mencumbu bibir merekah itu.
Beberapa saat berlalu, Jungkook melepas ciuman tersebut. Ia menatap lurus sang adik yang masih memilih menutup mata. “Buka matamu, Heejin.” Bisiknya tipis.
Wanita itu memilih tetap diam tanpa merespons apa pun.
Jungkook kini membelai puncak kepala adiknya. “Dulu kau menikmati ini, jadi sekarang pasti sama, hm.” Jungkook menarik dagu Heejin agar menatapnya.
Perlahan netra wanita itu terbuka. Heejin tak menatap Jungkook dengan kemarahan, melainkan hanya sorot tak tertarik dan tak bergeming.
“Heejin, jangan menatapku seperti itu.” Jungkook berujar pelan, terdengar penuh kasih sekaligus pemaksaan. “Aku baru saja menunjukkan perasaanku pada satu-satunya wanita yang kusukai.”
“Aku tak ingin mendengar apapun. Aku tak ingin kau menyentuhku.”
“Tidak mau,” Pria itu malah tersenyum layaknya anak kecil manja. “Kau bilang sebuah rasa itu ketulusan, kan? Kau tak mau menerima ketulusanku?”
“Aku tak ingin kembali berkubang dalam kesalahan. Kau adalah kakakku dan ini hanyalah obsesimu, tak ada hal yang tulus didalamnya.”
“Apa aku pernah meminta untuk menjadi kakakmu? Apa aku terlahir menyetujui hubungan kakak-beradik ini?”
Heejin mengalihkan pandangannya ke samping, tak ingin mempertemukan netranya dengan sorot mata menusuk sang kakak.
“Aku tersiksa akan status hubungan kita, Jeon Heejin. Aku setengah mati ingin membuatmu menjadi wanitaku. Aku ingin merasakan manis bibirmu. Aku ingin merasakan kehangatan tubuhmu. Aku ingin selamanya bersamamu.”
Heejin berbisik muak, “Kau gila, Jeon Jungkook.”
Jungkook menjilat bibirnya, sebelum menekan paksa dagu Heejin agar menatapnya. “Begitupun denganmu, Jeon Heejin. Jangan berlagak berbeda dariku. Kita sama-sama penuh obsesi dan haus akan perhatian dan tak ingin ditinggalkan sendiri. Bedanya, kau sekarang melampiaskan itu pada Kim Taehyung.” Jungkook berbisik tepat ditelinga Heejin, “Apa si Kim telah mengetahui obsesimu itu, hingga kini dia berusaha kabur darimu?”
Heejin menekan belah bibirnya. Ia bahkan serasa tak mampu meloloskan kata-kata apapun selain menatap kedua netra sang kakak dengan sengit.
Jungkook beranjak dari sofa, meninggalkan Heejin dalam atmosfer penuh emosi keduanya.
Pria itu berdiri di tengah ruangan, cahaya bulan membias ke arah ekspresi wajahnya yang tak terbaca.
Hal yang menjadi milikku selamanya akan menjadi milikku. Begitupun denganmu, Heejin. Aku akan membawamu kembali disisiku.
Tanpa terdiam lebih lama lagi, Jungkook melesatkan tubuhnya keluar dari rumah itu.
•○•
Riyeon membuka netranya perlahan, berakhir menatap redup langit-langit kamar luas itu, sebelum sergapan rasa perih seketika menghampirinya.Ia bangun sembari memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Ia merasa pusing. Beberapa kali meringis, Riyeon dapat menyentuhkan ujung kakinya pada lantai, kini menemukan dengan jelas kondisi pahanya yang terbalut perban dengan sengatan rasa perih di beberapa bagian yang kian meronta ketika kesadarannya sepenuhnya terkumpul.
Wanita itu memegangi kepalanya, menatap sekeliling dengan kilatan kebencian.
Dimana pria itu?
Ia menyeret tungkainya pelan, menggunakan dinding sebagai penuntunnya. Hingga berhasil meloloskan tubuhnya keluar dari pintu kamar itu, Riyeon masih belum menemukan sosok yang dicarinya. Langkah sempoyongannya berlanjut semakin melambat pada lorong.
Dimana? Dimana dia? Aku...aku sangat ingin mem—
“Riyeon!”
Pendengarannya sangat jelas mendengar suara teriakan menggema serta suara langkah kaki tergesa yang mendekat ke arahnya. Sayangnya, kakinya seakan tak bertulang, tak dapat menopangnya untuk tetap berdiri dan membiarkan tubuhnya ambruk begitu saja.
Sekali lagi hal terakhir yang dapat di tangkap penglihatannya adalah sosok Taehyung yang mengangkat tubuhnya dengan raut wajah yang memancarkan kecemasan pekat. Obsidian pria itu sekali lagi menatapnya lurus dengan guratan ketulusan yang dibalut kekhawatiran.
Bajingan ini tengah bersandiwara? Atau bagaimana?
•○•
Pria itu tak melepas tangannya barang sedetik pun. Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Taehyung tak pergi dari sisinya sejak menemukan dirinya yang mendadak ambruk di lorong.Riyeon serasa ingin mengutuk kesadarannya yang lenyap begitu saja dan tubuhnya yang mendadak lunglai. Bukan waktunya untuk terlihat lemah di depan pria itu. Sesungguhnya ia tak ingin melihat kepedulian semu Taehyung lagi, itu begitu menjijikan. Ia ingin mengakhiri ini semua sekarang.
Riyeon kini telah bersiap untuk membuka matanya, mengakhiri tidur pura-puranya yang sedari tadi ia jalani meski kesadarannya telah berangsur-angsur kembali.
Namun, sebelum ia membuka kelopak mata, beberapa tetes cairan jatuh pada tangannya yang di genggam Taehyung diikuti isakan pelan pria itu. “Maaf. Maafkan aku Riyeon. A-aku mendadak tak bisa mengendalikan diriku.” Si Kim semakin meremas tangannya, ia berbisik sendu. “Kau...begitu mirip dengan Soojung.” [♤]
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue and Grey || ✔
FanficAwalnya, Riyeon merasa dirinya hanya terjebak di antara kisah sang kakak dan Taehyung serta hasrat untuk membalas sebuah luka. Namun, nyatanya, pijakan kakinya, luka, dan ambisinya untuk membalas dendam hanya secuil bagian tak penting dalam hubungan...