Pt. 52 (Monochrome)

128 8 6
                                    

“Melelahkan juga.” Heejin berujar pelan dari bangku belakang mobil. Setelah mengunjungi Taehyung dan juga sang kakak, kini Heejin menopang dagunya. Wanita itu telah melempar pandangannya ke luar kaca mobil sejak tadi.

“Apa kita perlu ke hotel, nona?” Ujar sebuah suara dari balik kemudi.

Heejin menarik sudut bibirnya, beralih mengamati sang asisten yang tengah mengemudi. “Nanti saja. Sekarang antarkan saja ke rumah. Masih ada urusan yang perlu aku pastikan.”

“Baik, nona.”

“Tapi, Hoseok ...” Heejin menambahkan, “Belilah sesuatu yang menarik untuk dimainkan, hm. Kau tahu, aku tak suka hal yang membosankan. Permainan ranjangmu mulai bisa aku tebak.”

“Ba-baik, nona.” Sang asisten gelagapan, sekaligus tersipu akan perintah Heejin. Bahkan merasa begitu terbawa akan keakraban dan hubungan yang terasa dekat dan erat, hingga berani melontarkan pertanyaan lainnya. “Bagaimana dengan asisten pribadi kakak anda? Bukannya dia sedang ada di rumah saat ini?”

Heejin menjawab enteng, mendeklarasikan bahwa manusia tak lain hanya ia anggap bagai pajangan dan benda yang hanya akan bertahan bersamanya jika diperlukan. “Iya. Maka dari itu, aku ingin melihat apa dia masih berguna atau tidak. Dia memang telah melakukan pekerjaan dengan baik, tapi kelanjutan apakah dia masih diperlukan, perlu aku pastikan. Dan, jika dia tidak diperlukan, maka tugasmu untuk menyingkirkannya untukku, hm.”


•○•


“Nona, kau yakin?” Suara Jimin berdecit ragu, ketika mendengar perintah Heejin sebagai bagian dari rencana gadis itu memastikan apakah dirinya masih berguna atau tidak.

Meneguk ludah kasar, melihat wajah Heejin yang menanti, tanpa berujar lebih, ia menuruti perintah yang diterimanya.

Di depan cermin oval setinggi manusia dewasa, keduanya menempelkan tubuh, sembari melepaskan seluruh kain yang sempat masih menempel pada kulit mereka. Kini kedua tubuh telanjang mereka terlihat jelas pada cermin.

Pria itu berusaha tak menahan diri. Ia mulai menciumi leher Heejin, sembari memberikan pijatan pada buah dadanya. Merasakan gerakan yang lambat, Heejin menarik salah satu tangan si Park yang tengah menjamah dadanya agar segera beralih ke pusat gairahnya.

Si bungsu Jeon awalnya masih menggerakkan tangan sang pria guna memuaskan titik-titik yang ia inginkan. Hingga pelumas telah terasa merembes dan mulai membalut jemari pria itu, Heejin berbisik serak, memposisikan jemari sang pria di depan liangnya. Ia sekilas menatap sayu ke arah cermin, lalu tersenyum menatap kamera di atas cermin yang sedang merekam aktivitas mereka. “Lakukan dengan gairah penuh. Aku tak ingin merasa bosan ketika aku menonton video ini.”

Jimin sekali lagi meneguk ludahnya, meski ia tak benar-benar menyetujui aktivitas seksual mereka direkam, tapi setelah melihat apa yang mampu dilakukan wanita di depannya dengan orang-orang yang ia anggap kurang berguna baginya, ia benar-benar ketakutan untuk menolak. Sehingga tanpa berujar sepatah kata lagi, pria itu menuruti keinginan liar Heejin. Ia mengoyak liang wanita itu dengan jemarinya, sembari menatap pantulan reaksi tubuh dan ekspresi mereka pada cermin.

“Jangan tahan suaramu!” Sekali lagi ujaran Heejin terdengar bagai perintah mutlak.
Wanita itu sejenak menikmati kenikmatan yang sedang disajikan, sesekali mendesah dan menarik rambut sang lawan main.
Setelah merasa bosan, Heejin menatap cermin penuh arti, sebelum menjauhkaan dirinya begitu saja dari sang pria dan menyambar bathrobe.

“Mau kemana, nona? Aku—" Jimin berujar frustrasi ketika dirinya dijauhkan begitu saja dengan inti tubuh tegak.

Heejin menjawab enteng, “Puaskan dirimu sendiri. Lakukan dengan baik di depan kamera, hm?”

Wanita itu tak menjelaskan lebih, dan telah beranjak menduduki kursi, lalu menyulut satu batang rokok sembari memberi isyarat agar pria yang kian terlihat sengsara itu segera melaksanakan perintahnya.

Jimin berakhir hanya mampu menuruti apapun perkataan Heejin, sembari meratapi betapa jauh meleset pikirannya menerka sifat Heejin; mengira wanita itu adalah wanita yang memerlukan uluran tangan guna terlepas dari keegoisan pria, ternyata malah wanita yang tak memiliki empati dan menganggap manusia hanya batu loncatan, atau barang yang diperas hingga benar-benar kehilangan fungsinya.

“Sebenarnya kenapa anda melakukan semua ini?” Tubuh si Park bergetar, amarah kecil, ketakutan akan ancaman, sekaligus rasa penasaran tersulut akan alasan segala tindakan Heejin memaksa bibirnya melontarkan pertanyaan tersebut. “Bukankah apa yang anda lakukan salah, nona?” Jimin menekan belah bibirnya ragu. “Mungkin anda pernah mengalami kejadian yang meninggalkan luka. Mungkin anda dilukai hingga begitu marah. Tapi, kemarahan tanpa arah yang ditujukan pada orang yang tidak sepenuhnya terlibat, lalu emosi terpendam yang menjadi obsesi dan rencana gila, bahkan penuh dosa. Bukankah itu semua tak benar? Nona—”

“Astaga ... harusnya aku tidak perlu memastikan apakah kau masih berguna, dan langsung saja menyuruh asistenku untuk mengurusmu.” Heejin menghimpit erat rokok pada jemarinya, menjilat bibir dengan kilatan mata benci dan risi. Wanita itu tertawa singkat, tetapi setelahnya langsung beranjak kalap dan menekan ujung rokok membara tersebut pada punggung sang pria, sontak membuat lutut sang pria membentur lantai diikuti geraman rasa sakit.

“Memangnya apa yang kau ketahui tentang diriku? Memangnya kau memiliki hak untuk mengatakan hal-hal tentang diriku, hm?” Heejin menarik rambut Jimin hingga pria itu mendongak. “Jangan berlagak peduli padaku dan memamerkan simpati dan pengertian, padahal hal itu hanya rasa kasihan yang menyembunyikan nafsu, keserakahan, kebencian, kepalsuan, kegilaan, dan hal yang pikiran sok suci dan penolongmu itu kategorikan sebagai dosa.” Wanita itu kini mendekatkan wajahnya ke arah Jimin, berbisik tajam, “Jika manusia lain dapat berlaku egois, kenapa aku tidak boleh? Jika mereka sendiri yang datang ke dalam hidupku dan menjadi ilalang yang menganggu, kenapa aku tak boleh mencabut, menebas, bahkan membakarnya? Jika mereka berguna, kenapa aku tak boleh memanfaatkannya?” Heejin menatap lurus pantulan wajah mereka di cermin. “Mereka sendiri yang muncul dan masuk ke dalam kehidupanku. Aku tak peduli jika mereka tak cukup bersalah atau tak cukup terlibat. Jika mereka menghalangi jalanku, maka mereka juga bisa menjadi jalan yang kuinjak atau bangkai yang aku lindas. Jika mereka berguna, maka mereka bisa kugunakan semauku. Karena itu juga begitu menyenangkan untuk dilakukan ....” Heejin menarik dagu Jimin guna mempertemukan sorot mata keduanya yang begitu kontras, antara pemaksaan mutlak dan tercengang, sekaligus pasrah. Heejin menyeringai dengan euforia membalut segala celah manipulasi dan apati yang membakar tubuhnya. “Karena ... oh, tolong katakan padaku, memang apa salahnya mempermainkan hidup seseorang?” []


[The end]

Blue and Grey || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang