Taehyung mungkin seharusnya tak berusaha terlalu keras untuk melupakan kejadian di dalam mobilnya itu. Karena semakin ia berusaha melupakan, semakin ia teringat setiap detail kejadian malam itu.
Gesekan kulit yang sama-sama berkeringat, suara desahan tertahan dan sensasi penyatuan tubuh mereka di bawah sana.
Sial, kenapa ia tak bisa menganggap semua itu hanya hal yang biasa? Apa karena wanita yang diajaknya berbagi panas tubuh itu terasa tak nyata baginya? Iya, mungkin itulah yang terjadi. Karena di matanya, wanita itu—
“Sial, aku tak bisa berhenti memikirkannya.” Taehyung mengacak rambutnya frustrasi. Monolognya menggema keras di dalam ruang tengah rumahnya.
Sejak petang tadi ia memang mati-matian menahan dirinya sendiri agar tak tergoda untuk kembali ke bar milik si brengsek Kim Namjoon, menikmati sajian alkohol ataupun berakhir memompa liang seseorang hingga banjir keringat di malam hari.
Namun, usahanya untuk membentengi diri nyaris seharian itu rupanya begitu sia-sia karena sesaat kemudian tanpa persiapan berlebih, Taehyung menarik hoodie abu-abu untuk menyelubungi tubuhnya yang sebelumnya hanya dibalut shirt polos berwarna putih, sebelum melesat menggunakan mobilnya ke luar rumah.
Ada sesuatu yang harus ia pastikan dengan mata kepalanya sendiri. Kali ini tanpa pengaruh alkohol.
•○•
“Hei, kau bisa mendengarku?”Riyeon dapat mendengar sayup suara seorang wanita. Tapi, ia memilih tak menjawab maupun mendongak untuk sekadar mengetahui wajah orang yang ditabraknya. Ia memilih kembali berlari menuju pintu keluar bar. Bahkan ketika high heelsnya patah saat dipaksanya beradu dengan aspal basah, Riyeon tetap menyeret kaki telanjangnya di sana.
Ia tak memedulikan pandangan kebingungan beberapa orang yang berpapasan dengannya di sisi lain jalanan dan telapak kakinya yang terasa perih ketika menginjak kerikil-kerikil kecil. Hingga ketika ia telah berlari beberapa meter, langkahnya mendadak terhenti. Netranya menangkap sosok pria berbadan tegap, dengan surai bergelombang yang jatuh membingkai dahinya.
Riyeon stagnan di tempat. Ia tak mengira akan bertemu Taehyung secepat ini dan dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini.
Ia bahkan baru saja memasukkan diri dalam perangkap Kim Namjoon untuk mencari informasi tentangnya, tetapi kini ia muncul di depannya begitu saja?
Keheningan bergelayut sesaat, tanpa diduga selanjutnya pria tersebut malah mengambil langkah mendekat ke arahnya tanpa keraguan. Tanpa sepatah kata terucap, Taehyung melepas hoodie abu-abunya, melingkarkan kemudian mengikatnya pada pinggang Riyeon hingga menutupi bagian kaki sang wanita yang sebelumnya hanya diselubungi gaun malam tipis yang terlampau pendek.
Pria itu memegang pundak Riyeon dan berujar tipis, “Seharusnya kau tak memakai gaun pendek yang nyaris mengumbar bagian kakimu sepenuhnya ini,” Tangan Taehyung bergerak memperbaiki letak hoodienya agar menutupi bagian gaun sang wanita yang robek. Ia melanjutkan lembut, “Suhu malam hari ini cukup dingin. Kau bisa saja terserang flu jika—“
“Kau mengingatku?” Riyeon mendadak menukas, ia melebarkan jarak dengan sang lawan bicara.
Pandangan keduanya beradu sengit.
Taehyung menjawab dengan nada rendah. “Ini bukan saatnya membahas hal itu.”
“Kenapa?” Riyeon kembali melempar pertanyaan, tetapi Taehyung telah kembali mendekat dan tanpa aba-aba mengangkat tubuhnya.
“Apa yang kau—“ Riyeon nyaris berteriak. Tetapi, pria itu mengisyaratkan untuk diam.
Taehyung mendekap tubuhnya erat dan menapaki jalanan temaram perlahan-lahan.“Banyak orang yang memperhatikanmu di jalanan tadi. Kurasa kondisimu juga dalam keadaan yang tidak baik,” Ia berujar rendah sarat perhatian.
Riyeon meremas shirt putih Taehyung.
Semua hal ini terlalu mengejutkan baginya. Hal ini terlalu tak terprediksi. Pria ini tak seharusnya menebak dengan sangat benar kondisinya saat ini’kan?
Nada suara Taehyung terdengar bergetar ketika melanjutkan, “Bisakah kau percaya padaku sejenak meski sebagai orang asing?”
Riyeon tak menjawab. Ia memilih memejamkan matanya dan beringsut mendekat ke arah dada Taehyung. Kehangatan pria itu dapat dirasakannya, menyengat kulitnya yang sedingin es.
Hanya kali ini saja. Hanya kali ini, aku percaya padamu, Taehyung.
•○•
“Aku bawakan kopi,” Ucap pria itu ketika membawa satu cup kopi ke dalam mobil dan menyerahkannya dari kursi kemudi pada Riyeon yang baru saja kembali menegakkan punggung yang sebelumnya sempat direbahkannya di kursi belakang mobil.“Kau juga bisa memakai sepatuku, itu ada di dalam kotak di samping kakimu.” Taehyung susah payah menunjuk letak sepatunya. “Kau menemukannya?” Ucapnya lagi.
“Oh, aku menemukannya. Hei, tapi kurasa...sepatu ini tak ada saat kita berhubungan badan malam itu di sini.”
Tunggu, apa?
Taehyung nyaris tersedak ludahnya sendiri. Untuk ke sekian kalinya kepastian itu menamparnya. Ia tak bisa melarikan diri lagi untuk menolak fakta bahwa kejadian di mobilnya itu memang adalah kenyataan.
“Kau...mengingatnya dengan jelas, ya.” Ujar pria itu canggung.
“Bagaimana aku bisa melupakan malam yang panjang dan indah seperti itu?”
Ah, bagaimana ia harus merespons ucapan wanita ini? Saat itu ia dalam pengaruh alkohol dan mungkin saja ia melakukannya tanpa kesadaran yang cukup.
“Maafkan aku. Tapi, saat itu aku—“
“Aku sangat menikmati malam itu.” Riyeon menukas, kedua tangannya meremas cup kopi yang perlahan mulai kehilangan kehangatannya. Ia melanjutkan, “Pasti sangat sulit dipercaya ya, bagaimana dua orang asing yang bahkan hanya memandang satu sama lain beberapa detik bisa terlibat hal semacam ini.”
Taehyung masih kebingungan untuk menentukan respons hingga keheningan kembali bergelayut di antara keduanya. Tetapi, itu hanya berlangsung beberapa saat sebelum Riyeon memajukan tubuh ke arahnya dan berbisik, “Mau mendengar hal yang lebih sulit untuk dipercayai?”
Wanita itu kian mengikis jarak dan nyaris mencium bibirnya.
Riyeon menatap lurus ke arah obsidian Taehyung. “Kau hangat dan manis. Dan aku menyukaimu.” [♤]
![](https://img.wattpad.com/cover/252723328-288-k242862.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue and Grey || ✔
Hayran KurguAwalnya, Riyeon merasa dirinya hanya terjebak di antara kisah sang kakak dan Taehyung serta hasrat untuk membalas sebuah luka. Namun, nyatanya, pijakan kakinya, luka, dan ambisinya untuk membalas dendam hanya secuil bagian tak penting dalam hubungan...