Pt. 45 (Insane)

149 6 0
                                    

Jungkook menatap layar televisi dengan tatapan datar, meski yang tersiar saat itu adalah berita kematian Han Soojung. Entah sudah berapa kali dia menghela napas bosan sekaligus tak puas.

“Lihat itu, Park Jimin.” Jungkook sekilas menunjuk layar televisi diikuti protes tanpa simpati sedikit pun. “Bukankah ini terlalu cepat? Aku bahkan baru meledakkan satu kembang api, kenapa semuanya sudah hangus terbakar?”

“Maafkan saya, tuan. Sepertinya, Han Soojung—” Seorang yang telah dianggapnya tangan kanan itu segera berusaha mencegah situasi menjadi tak kondusif.

Namun, Jungkook segera beranjak dari sofa tempatnya duduk sedari tadi, sebelum menepuk pundak Jimin dan berbisik enggan, menukas begitu saja, “Kata maaf tak bisa memperbaiki apa pun, Park Jimin. Itu sudah terlanjur berakhir membosankan.”

Si sulung Jeon beranjak lebih jauh dari ruangan yang sempat ia singgahi beberapa saat yang lalu. Permasalahan tentang Soojung dan kematian perempuan itu segera menguap dari pikirannya, seakan hal itu hanya remah roti yang terabaikan pada pinggiran piring sebuah sarapan.

Jimin mengikuti langkah Jungkook sembari melontarkan pertanyaan dengan hati-hati, “Apa Anda memiliki perintah selanjutnya berkaitan dengan Soojung?”

Sekali lagi Jungkook menghela napas, merespons dengan nada yang kian bosan, “Dia sudah mati, apa yang bisa aku mainkan lagi?” Pria itu menjilat bibirnya sebelum melanjutkan, “Itu sudah berakhir, permainan yang baru saja aku sulut malah berakhir terlalu cepat. Kita akhiri saja membahas itu, karena sekarang hal ingin aku amati adalah permainan Heejinku yang manis. Jadi ...” Ia berhenti menyeret tungkainya menapaki lorong, segera berbalik dengan senyum semringah seakan begitu antusias. “Awasi adikku dengan lebih ketat. Laporkan setiap tindakannya padaku.”

“Baik, tuan.”


•○•


Kukira keluarga ini tak bisa lebih hancur lagi, kak. Tapi, ternyata sesuatu yang telah hancur masih bisa dibinasakan lagi.

“Hei, Han Soojung, apa kau bisa mendengarku?” Monolog Riyeon bercampur dengan pikirannya yang terlanjur sering melontarkan kata-kata bisu akhir-akhir ini.
Ia masih betah duduk di bangku taman sembari menatap langit malam tak berbintang sepulang dari salah satu pekerjaan paruh waktunya. Banyak perubahan menghantamnya sejak kematian Soojung.

“Aku hanya perlu mengumpulkan sedikit uang lagi, setelah itu aku akan pergi dari tempat terkutuk ini dan menjauh dari ibu yang semakin tak waras.”

Sekali lagi ia bermonolog seakan Soojung masih berada di sampingnya. Riyeon berakhir tersenyum getir, tatkala nyeri menghampirinya untuk kesekian kali.

Ternyata benar, bahwa penyesalan memang selalu datang di akhir. Tapi, aku juga tak yakin jika penyesalan itu datang sebelumnya, jika itu dapat kuprediksi, memangnya aku bisa meraih tanganmu? Memangnya aku bisa menyelamatkanmu? Saat jauh sebelum semua hal ini porak-poranda aku sendiri telah begitu enggan untuk tetap bernapas.

Penyesalan juga hanyalah hal yang sia-sia, kan? Aku tak bisa membawamu kembali ataupun membuatmu hidup dengan lebih baik. Aku hanya bisa menerima bahwa kau telah pergi.

Tapi, kau tahu, kak? Ada hal yang menganjal dalam benakku. Rasanya semua orang telah mendapat ganjaran yang setimpal atas rasa sakitmu; ayah di penjara karena tuduhan penggelapan uang di tempatnya bekerja, ibu yang dikejar hutang dan mengais uang dengan tubuhnya, serta aku yang luntang-lantung tanpa arah. Lalu bagaimana dengan pria yang kau kencani itu, kak? Dia juga ikut mendorongmu ke jurang kematian, kan? Dia yang memberimu angan manis dan pergi, kan? Apa dia hancur sama seperti keluarga ini? Aku setengah mati ingin memastikan itu.

Riyeon sejenak memejam dan memijat pelipisnya, segera menghentikan suara-suara perdebatan dalam pikirannya. Mungkin ia menggunakan energinya terlalu banyak untuk bekerja hari ini hingga pikirannya berdebat begitu intens dan memperkuat hal yang mengganjal dalam benaknya.

“Aku perlu tidur.” Bisiknya pada malam melolong sembari melanjutkan langkahnya menuju flat yang ditempatinya dengan sang ibu setelah insiden tersebut.

Namun, Riyeon disambut pintu yang setengah terbuka saat mencapai tempat tinggalnya, menandakan seorang telah berada di dalam. “Sial, apa ibu mabuk lagi?”
Mempercepat langkah, gadis itu segera masuk dan malah menemukan seorang pria.

“Ah, Riyeon. Akhirnya kau pulang juga.”

Riyeon berusaha bersikap tenang menemukan kedatangan mendadak bos tempat sang ibu mengais uang. Sang ibu memang beberapa kali mengajak pria datang, tapi Riyeon yakin, pria di depannya bukanlah pria yang akan pergi sehabis menyantap tubuh wanita, melainkan pria picik gila yang perlu diwaspadai.

“Wanita itu tidak ada di sini, Kim Namjoon.”

Namjoon tertawa rendah, “Aku tidak menunggu wanita itu, sayang. Aku menunggumu.”

“Kenapa kau menungguku?”

“Kenapa?” Namjoon segera membalik pertanyaan itu dengan segaris senyum sinis. “Karena seharusnya ibumu tak mencuri uangku sebanyak itu dan kabur begitu saja.”
Si Kim mendadak memotong jarak antar keduanya, hingga Riyeon yang sempat stagnan tak dapat menghindar. Pria itu berbisik dengan mata yang memancarkan nafsu. “Jadi, kau harus membayarnya, cantik.”

“Menjauh dariku!” Riyeon langsung mendorong dada pria itu menjauh. Pikirannya yang seketika dipenuhi rasa jijik dan waswas memaksanya segera berlari menuju pintu keluar.

Namun, langkahnya seketika dihentikan oleh dua pria lainnya dengan tatapan lapar yang sama. Bahkan teriakannya segera diredam oleh tangan yang membekap mulutnya dengan kasar.

“Bawa dia kemari.” Si Kim memberikan perintah, segera membuat kedua pria itu bergerak membawa tubuhnya terlentang di atas meja makan. Pria itu melanjutkan dengan kilatan pemaksaan pada matanya. “Mulai hari ini kau akan bekerja di barku, Han Riyeon. Jangan berpikir untuk kabur, karena aku pasti akan menemukanmu. ” Sudut bibirnya tertarik membentuk seringai sembari melepas satu persatu kain yang menutupi tubuh Riyeon yang kian memberontak. “Kurasa kau belum ada pengalaman. Jadi, mari, aku ajarkan bagaimana caranya melayani pelanggan.”

Kedua netra Riyeon telah dialiri air mata, teriakannya terus berusaha lolos dari tangan yang masih membekap bibirnya, bahkan ia masih memberontak sekuat tenaga meski pergerakan tangan dan kakinya dibatasi.

Namun, bukan kebebasan yang ia dapatkan melainkan hanya rasa sakit yang kian mendera, suara cekikikan penuh kepuasan, sentuhan-sentuhan kasar yang mulai menjamah tubuhnya, beserta hentakan bergilir dari ketiga pria di ruangan itu, yang ia rasakan menerobos tubuhnya tanpa belas kasih. [♤]





A/N: Hi, Jove! Flashback panjang dan melelahkan ini berakhir di sini, ya. Part yang akan dipublikasikan selanjutnya nanti udah mulai kembali ke masa kini.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Blue and Grey || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang