Pt. 37 (Mist)

114 9 4
                                    

“Riyeon?”

Yang dipanggil tak langsung memberikan respons, gadis itu memilih menyesap dalam-dalam rokok yang tengah berada di impitan dua jarinya, sebelum menjawab malas ujaran sang kakak,
“Iya, ini aku. Dan jangan kaget berlebihan seperti itu, aku sudah—“

“Jangan katakan pada ayah ataupun ibu.” Soojung menukas cemas, tetapi sang lawan bicara malah meloloskan tawa singkat.

“Untuk apa aku memberitahukan ini kepada mereka? Memangnya mereka akan percaya pada kata-kata anak yang sebenarnya telah mereka buang ini?”

“Riyeon!”

“Kenapa? Bukankah itu yang memang terjadi? Mereka hanya peduli padamu. Mereka hanya mau mendengarkanmu. Aku memang seakan tak pernah ada. Yang pantas ada di dalam keluarga ini hanya dirimu, anak yang penurut dan dapat memenuhi semua keinginan dan harapan mereka.”

Soojung merapatkan bibirnya, mengalihkan netra memanasnya ke arah lain.

Andai kau tahu betapa menyesakkannya semua harapan dan keinginan yang mereka gantungkan padaku. Aku hampir tak bisa bernapas. Tolong aku, Riyeon.

“Riyeon, aku—“

“Sudahlah, tak perlu memohon, aku tak akan mengatakan apa pun. Karena ... aku tidak peduli.”

Soojung tak mampu berujar lebih kali ini. Dadanya diserang sesak.

“Cepat pulanglah, dan buat mereka tersenyum seperti biasa dengan segala pencapaianmu yang memenuhi standar mereka itu. Aku baru akan kembali malam nanti, jadi omelan tak penting yang kau dengarkan tentangku akan berkurang.”

Riyeon telah beranjak dan melewatinya begitu saja.

Soojung susah payah berbalik, dan memaksa lidahnya yang terasa kelu untuk memanggil nama sang adik, “Riyeon!”

Sang lawan bicara menghela napas, tanpa berbalik ia menjawab, “Aku tak ingin bicara denganmu lebih dari ini. Nikmati waktumu, kak!”

Soojung kini berakhir terdiam, memandang punggung Riyeon yang perlahan menghilang dari hadapannya.

Sejak kapan kita hidup selayaknya orang asing?

Sejak kapan hubungan kita menjadi sangat renggang?

Mengapa aku semakin merasa sendirian dan kesepian? Ataukah kau juga merasakannya, Riyeon?

Soojung kini memilih menggerakkan tungkai dan berbalik dengan netra berair.

Kapan kita terakhir tertawa bersama?

Mengapa aku tak bisa mengingatnya?


•○•


“Baru pulang?” Seokjin berujar ketus dari balik sofa. Ia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana, sebelum beranjak dan mendekat ke arah Taehyung yang baru saja berjalan memasuki ruang tengah.

“I-iya.” Taehyung menjawab lambat dengan nada bergetar.

“Sudah kubilang berhenti melakukan hal-hal tak penting. Kenapa lagi-lagi kau mengikuti pameran dan membuang waktumu dengan melukis, hm?”

“I-itu...” Taehyung mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya,  mengumpulkan keberanian. Pemuda itu kemudian mendongak dan berusaha menjawab tegas. “Itu karena aku menyukai lukisan. Aku ingin menjadi pelukis.”

“Bodoh. Rasanya aku ingin memukul kepalamu yang hanya berisi pikiran payah itu. Aku heran, mengapa ayah masih menaruh harapan besar padamu yang sangat tidak kompeten ini. Ah, menyebalkan.”

Seokjin meloloskan tawa singkat, sebelum mendadak mendaratkan tinju ke arah Taehyung hingga sang adik terjatuh dan mendongak bingung dengan sudut bibir berdarah.

“Kakak ... kenapa—“

Seokjin kini membungkuk, menyetarakan diri dengan Taehyung, sebelum menyuarakan sederet kalimat yang bergema keras di dalam ruangan. “Karenamu aku harus menerima kemarahan ayah atas hal tak berguna yang kau lakukan. Aku dipaksa untuk mengawasimu yang selalu melakukan hal bodoh. Dia bahkan sampai tak sadar memperparah penyakitnya sendiri hanya karena berpikir kau juga  dipertimbangkan untuk menjadi penerus. Sialan, padahal aku yang bekerja keras untuk perusahaan kenapa ia bahkan harus mempertimbangkanmu?”

Seokjin menegakkan punggungnya, beranjak menjauh dari Taehyung yang hanya mampu terdiam bisu.

“Tolong, setidaknya lakukanlah hal yang berguna meski kau tak akan pernah memimpin perusahaan, setidaknya lakukan hal yang berdampak baik bagi perusahaan. Jangan mencoba menggapai mimpi bodohmu itu. Berhenti melukis, sialan, itu tak berguna. Kau mendengarku, kan? Kim Taehyung?”

Taehyung mengangguk lemah. Tanpa berani menatap sang kakak, dirinya berdiri.

“Bagus. Ingatlah apa yang aku katakan, setidaknya di waktu ayah yang tak lagi lama ini, aku tak ingin mendengarnya mengoceh tentangmu lagi.”

Tak sadar, Taehyung menatap tajam sang kakak. “Apa maksud perkataanmu?”

“Kau merasa marah, hm? Tapi, itulah kebenarannya. Ayah sakit parah, itu pun juga karenamu yang selalu tak bisa memenuhi harapannya. Jadi, biarkan ia menuliskan namaku dengan tenang di surat wasiatnya sebagai penerus, hm?”

“Kau ...” Taehyung tak mampu berujar lebih, benaknya dipenuhi perasaan bercampur aduk tetapi tak ada satu pun yang bisa ia lontarkan.

“Jangan berisik. Aku lelah, cepat masuklah ke kamarmu.”

Si bungsu Kim masih stagnan di tempat. Ia dapat mendengar langkah sang kakak yang beranjak meninggalkan ruangan, sebelum suara menggema kembali terdengar di dalam ruangan. “Oh iya, ada satu hal berguna yang bisa kau lakukan.” Seokjin kini kembali berjalan mendekat ke arahnya lalu menyodorkan surat undangan.
“Ini undangan ulang tahun Jeon Heejin. Dia salah satu teman kecilmu dulu. Dia sempat satu sekolah denganmu saat masih anak-anak. Tapi, bukan itu poin pentingnya. Ia adalah anak bungsu dari keluarga Jeon, salah satu pemilik perusahaan terbesar saat ini. Mulai membangun hubungan yang lebih akrab dengannya tentu bukanlah ide yang buruk, kan?” [♤]












A/N: Lagi terjun bebas di jurang dan belum liat sesuatu yg bisa dipegang erat, jadi hilang fokus dan baru update sekarang. Update hari ini langsung 3 part (pt. 37, 38 & 39). Aku tulis di sini biar ga ada part yg kemungkinan terlewat. Selain itu, kemungkinan bagi sebagian orang pt. 39 itu sedikit disturbing, jadi kalau ngerasa ga nyaman, silakan skip, ya. Segitu aja, semoga hari kalian ga kelabu.

 Segitu aja, semoga hari kalian ga kelabu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Blue and Grey || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang