Pt. 39 (The Hole)

167 10 0
                                    

“Kau harus berhenti, Jung.”

Merasakan dorongan pada dadanya, Jungkook melebarkan jarak yang sempat tak bersisa di antara mereka. Pria itu lalu mengusap bibirnya yang terbalut campuran saliva tipis keduanya.

“Ada apa? Apa aku perlu memastikan lagi pintu kamarmu benar-benar terkunci?” Si sulung Jeon berujar asal.

Dirinya tak benar-benar bertanya untuk mendapatkan jawaban. Jungkook bahkan tak ambil pusing untuk memberi kesempatan sang lawan bicara untuk menjawab. Dia malah kembali merapatkan tubuh, mengimpit sang gadis di antara ranjang dan tubuhnya.

“Kak! Kubilang berhenti!” Heejin mendadak berteriak, mendorong tubuh sang kakak menjauh, seraya menepis jemari pria itu yang hendak meloloskan lebih banyak kancing bajunya.

Si sulung Jeon hanya menghela napas menanggapi reaksi Heejin. Ia berujar dengan nada datar seakan tak terpengaruh akan secercah amarah di mata sang adik, “Kenapa?” Netra sayu pria itu menatap Heejin lurus. “Apa kita langsung ke inti saja seperti pagi tadi? Apa hari ini kau merasakan puncak rasa muak akan sekolah lagi? Hingga emosimu bergejolak lagi?”

Heejin mengalihkan pandangannya dari mata gelap Jungkook yang berkilau bagai gemerlap lampu yang dapat menyihir ngengat.

Dan tak dapat ditepis, bahwa dirinyalah ngengat itu, yang dibuat kebingungan nyaris terbakar, tetapi juga begitu bergantung pada lampu memikat tersebut.

“Katakan, Heejin. Kau sangat tahu, bahwa aku bisa melakukan apa pun untukmu. Begitu pun sebaliknya, kan?” Jungkook kembali bersuara, kini meloloskan kalimat menggantung, seakan begitu menanti belah bibir sang adik sekali lagi menyuarakan persetujuan atas pernyataannya.

Namun, Heejin masih bertahan bungkam, merasa ditampar ke-sekian kalinya oleh ingatan dan kenyataan di depan mata—hubungannya dengan sang kakak yang perlahan berubah, tanpa disadari menyeret mereka semakin jauh terperosok. Tetapi kini, dia ingin berhenti menjadi ngengat yang menggilai cahaya itu. Dia juga ingin menghentikan sang kakak  menjadi cahaya berpijar dalam kesepian yang mengundang ngengat yang membutuhkan petunjuk arah itu datang.

Mereka harus berhenti membiarkan diri mereka tersesat lebih jauh.

“Kita harus berhenti, kak.” Heejin akhirnya menjawab.

“Aku tidak suka kau memanggilku seperti itu. Kau tahu itu, kan?” Jungkook kembali menyuarakan pertanyaan yang haus akan persetujuan itu, tetapi kali ini dengan amarah yang mulai terlibat.

“Kita memang kakak-beradik!” Heejin berteriak setengah putus asa, sekali lagi mendorong dada Jungkook hingga keduanya terduduk di ranjang.

“Lalu kita berjanji untuk selalu ada untuk satu sama lain sejak ibu meninggal, ingat?” Si sulung Jeon menggapai tangan sang adik, menggenggamnya erat guna mendapatkan atensi Heejin kembali.

“Tapi bukan—“

“Kau ingat bagaimana aku begitu tertekan atas kematian ibu? Kau ada di sana untukku, menjadi satu-satunya sandaranku, menjadi satu-satunya tempatku berlari, bersembunyi dan melupakan sejenak retaknya keluarga ini.”

Heejin menggigit bibir bawahnya, teringat memori yang disinggung Jungkook. Rasa sakit, kesepian dan tekanan yang membawa mereka kian mendekat, hingga memudarkan batas.

“Ketika pria brengsek yang kita panggil ayah itu mulai mengabaikan dan melupakan kita serta membawa wanita murahan ke dalam rumah ini lalu menekanmu dengan ekspektasi konyolnya hingga membuatmu frustrasi, ke mana kau melampiaskannya, hm?” Jungkook mengangkat dagu Heejin, hingga membuat netra keduanya beradu. Pria itu melanjutkan, “Kepadaku, bukan? Kau melampiaskannya padaku.”

Heejin meremas rok selutut yang membalut kakinya. Dia kembali merunduk, tak berani menatap netra sang kakak yang menyudutkannya akan fakta sekaligus menusuknya dengan keraguan dan kebimbangan.

Masa-masa gelap setelah kematian sang ibu saat mereka beranjak belasan tahun, membawa tekanan serta keinginan tak tertahan untuk melampiaskannya. Keretakan yang kian menganga di dalam keluarga, menjadikan mereka seakan hanya memiliki satu sama lainnya. Tak terasa mengundang dan menjebak mereka dalam jerat hubungan rumit yang penuh kesalahan.

“Mari, lupakan sejenak apa pun yang mengganggumu.” Jemari Jungkook perlahan menangkup wajah bimbangnya, membawanya mendekat, lalu melumat kembali bibirnya.

Dalam keraguan, Heejin sempat memejam, sekali lagi membiarkan bibir manis Jungkook membuainya.

“Kau menyukainya, bukan?” Jungkook berbisik di sela-sela aktivitas mereka, “Kau tak lagi merasakan emosi yang mengganggu, bukan?” Tangan pria itu kini kembali menjalar meloloskan kancing kemeja Heejin. “Aku ingin membuatmu bahagia, Heejin, hanya itu.”

Jungkook menghembuskan napas hangatnya ke leher Heejin, tetapi gadis itu berujar datar tepat ketika satu kecupan telah mendarat di kulitnya, “Aku akan menerima rencana perjodohan yang pernah ayah tawarkan.”

Seketika pergerakan Jungkook berhenti. Kini pria itu benar-benar melebarkan jarak keduanya. Dia menatap netra Heejin lurus, “Jadi, kau benar-benar ingin menghentikan semua ini? Bukankah kita telah berjanji? Bukankah kau bahagia bersamaku?”

Atmosfer emosional kian membelenggu keduanya. Heejin menekan belah bibirnya kuat, meragu untuk ke-sekian kali.

Benar, aku candu akan kebahagiaan yang kau bawa. Aku menyukai bibirmu, Jung. Lalu tubuh hangat itu. Lalu suara indah nan menggugah sekaligus menenangkan itu. Tapi, semua ini...

—semua ini mulai membuatku muak.

“Semua ini adalah kesalahan, kau tahu dan menyadari itu semua, Jung.”

Jungkook tak lagi berujar. Netra pemuda itu masih menyorotnya, tetapi dengan cahaya dingin dan hampa. Punggung sang kakak kini berdiri tegak membelakanginya. Jungkook telah sepenuhnya beranjak dari ranjang Heejin. Pemuda itu menyambar kemejanya yang sempat tergeletak di sofa, memakainya dengan enggan. Segera setelah itu tangannya memegang gagang pintu erat.

Namun, sesaat sebelum presensinya benar-benar menghilang di balik pintu, Jungkook berujar tegas, “Kau tahu? Sekarang kau hanya sedang berusaha lari dan berbohong. Kau bahagia bersamaku, aku sangat tahu itu. Lalu, berbeda denganmu, aku tidak akan melepasmu dengan mudah, Heejin.”

Heejin tersenyum kecut memandangi kepergian sang kakak.

Iya, kau sangat benar, Jeon. Karena aku semakin bahagia dan kian melupakan batas inilah maka ini semua harus berhenti, bagaimana pun caranya.

Bukankah membosankan hanya berdiam diri pada satu titik? [♤]

Blue and Grey || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang