Pt. 38 (Blemish)

119 10 0
                                    

“Ah, kau sudah pulang, Soojung?”

Suara sang ibu menyambutnya ketika dirinya baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah.

Wanita paruh baya itu segera menyajikan panci berisi sup hangat di atas meja makan. “Makanlah dulu, kau pasti lapar, kan?”

Soojung bahkan belum sempat merespons apa pun, tetapi sang ibu telah menepuk pundaknya dan menuntunnya duduk di salah satu kursi di meja makan. “Makanlah, kau membutuhkan banyak energi untuk belajar. Ibu rasa nilai ujianmu masih belum memuaskan, kau harus lebih fokus, Soojung. Nilaimu tak boleh menurun sedikitpun, kau harus diterima di universitas—”

“Ibu,” Soojung menukas, susah payah menekan rasa sesak yang semakin menekan dadanya, ia melanjutkan pelan. “Riyeon ... apakah Riyeon sudah makan? Tadi aku bertemu dengannya sebelum pulang—”

“Kenapa kau membahas anak tak tahu diri itu? Ibu bahkan merasa tak ingin mendengar namanya di rumah ini. Dia hanya menjadi beban saja. Tak ada prestasi yang dapat dibanggakan, sebenarnya apa yang dia lakukan di sekolah? Mengecewakan.” Ibunya melanjutnya sembari meremas pundaknya pelan, “Untung saja keluarga ini memiliki dirimu yang bisa dibanggakan. Pastikan kau tidak melakukan kesalahan apapun, hm? Pastikan kau menjadi yang terbaik. Jangan mengecewakan harapan kami.”

Soojung menekan belah bibirnya, mendadak ucapan Riyeon tadi kembali terngiang di telinganya.

Aku baru akan kembali malam nanti, jadi semoga saja omelan tak penting yang kau dengar tentangku berkurang.

Tak sadar, kuku jemarinya yang mengepal di sisi tubuhnya mulai terasa menusuk telapak tangannya. Bahkan rasa pahit menohok menyapa lidahnya, akibat gigitan giginya sendiri. Soojung mulai kesusahan menahan emosi di benaknya.

Kukira kau terlalu kekanakan dan berlebihan, Riyeon. Tapi, nyatanya aku yang terlalu buta dan hanya bisa selalu menghindar selama ini.

Kenyataan di keluarga ini semakin jelas dapat kurasakan dan semua terasa semakin tak tertahankan.

“Cepat makanlah, setelah itu kembali ke kamarmu dan belajar. Ibu masih ada pekerjaan dan ayahmu juga akan lembur malam ini. Ibu akan berangkat sekarang.”

Sang ibu segera beranjak. Sosok wanita itu segera menghilang berbarengan dengan suara pintu depan yang tertutup, meninggalkan kesunyian yang menyesakkan di dalam rumah.

Si sulung Han juga memilih beranjak, tak sedikitpun ia menyentuh makanan di atas meja. Dengan sorot mata kosong, Soojung memilih melenggang menaiki tangga menuju kamarnya.


•○•


Sesungguhnya ia sangat membutuhkan pemuda itu saat ini. Ia tak peduli, ketika pahanya kembali diiris, pergelangan tangannya yang kembali memar akibat ikatan tali, apa pun itu, ia hanya membutuhkan sesuatu yang membuatnya teralihkankan dan melupakan ruang sempit aturan, keharusan, dan harapan yang serasa mencekiknya.

Namun, malam ini dia sudah terlanjur terkurung di dalam rumah. Ia tak bisa sebebas seperti sore hari di gedung bekas gudang sekolah, ketika berbagai alasan dapat ia gunakan agar dapat melakukan aktivitas menyenangkan sekaligus membuat candu bersama Taehyung di sana.

Maka kini, ditemani suara cucuran air yang mengucur membasahi tubuhnya, Soojung membuka kedua pahanya serta mengusap beberapa bagian tubuh telanjangnya. Dirinya mulai bermain hanya dengan mengandalkan diri sendiri.

“Taehyung ...” Ucapnya mendesah, memanggil nama pemuda itu pelan, ketika ia memasukkan jarinya sendiri pada pusat gairahnya, membangun imajinasi bahwa pemuda itulah yang sedang memuaskannya.

Setidaknya untuk beberapa saat, dirinya sempat terbuai dengan tempo permainan jari yang ia percepat, pijatan tak beraturan pada puncak buah dadanya, serta suara desahan tertahannya yang entah sudah keberapa kali mengalunkan nama sang kekasih.

Soojung memejamkan mata erat sembari mengigit bibirnya, sebelum sebuah suara mendadak terdengar di luar kamar mandi, hingga membuatnya stagnan sesaat.

Namun, berusaha mengumpulkan keberanian, Soojung dengan cepat menyambar handuk dan segera keluar dari kamar mandi.

Tanpa diduga, dirinya malah menemukan Riyeon yang membuka-buka beberapa laci di mejanya.

“Apa yang kau lakukan, Riyeon?”

Tanpa berbalik, sang adik menjawab, “Kau memiliki uang?”

“Untuk apa?”

Riyeon meloloskan helaan napas, dirinya berhenti memeriksa laci-laci di meja Soojung, dan memilih berujar dengan nada dibalut amarah. “Untuk bertahan hidup, untuk membeli rokok, puas?” Ia kini telah berbalik dan menatap tajam sang kakak.

“Riyeon, jangan seperti ini. Aku tahu, keadaan—”

“Lalu aku harus seperti apa? Memangnya apa yang kau tahu? Ibu bahkan tak memberikanku cukup uang untuk makan siang.” Riyeon melanjutkan sembari mengalihkan pandangannya, “Lalu bahkan apa yang sebenarnya kau lakukan tadi di dalam sana? Kenapa di pahamu ada bekas sayatan? Pergelangan tanganmu juga memar.”

Riyeon membungkam Soojung telak. Sang kakak hanya mampu meremas handuk yang memang tidak menutup tubuh telanjangnya sepenuhnya.

Meski tak dapat menyembunyikan kilatan kekhawatiran di matanya, Riyeon memilih tak menanti penjelasan dari pertanyaannya, melainnya berujar seakan telah dapat menarik kesimpulan sendiri. “Ah, apa itu dilakukan oleh pria yang sering mengantarmu? Apa dia juga yang kini sering kau tanyai tentang lukisanmu? Kurasa dia juga seorang yang bermimpi menjadi pelukis. Semua catatanmu menjelaskan segalanya.” Kaki gadis itu kini menendang kotak yang sempat dibukanya hingga terpental dan menampilkan isi di dalamnya.

“K-kau membukanya?”

“Iya, aku mencari uang tapi aku malah menemukan surat menggelikan dan foto kalian berdua. Kau sangat menyukai pemuda bernama Kim Taehyung itu ya, kau ... terlihat sangat bahagia di foto itu.”

Sekali lagi Soojung tak mampu merespons, selain hanya bersusah payah meneguk ludahnya, bingung dan kehilangan arah.

“Setidaknya dengan kehadirannya, kau tidak akan bertanya pertanyaan merepotkan seperti; Riyeon bagaimana menurutmu? Atau bisakah kau memberikan masukan untuk lukisanku? Cih. Merepotkan. Kau tahu, ibu dan ayah tidak akan senang mendengar bahwa kau masih melukis secara sembunyi-sembunyi.” Tak sadar, Riyeon mulai merasakan netranya perih dan hendak menciptakan jejak tangis, segera ia melanjutkan dengan nada ketus. “Sialan, kenapa aku membuang waktuku di sini?”

Riyeon segera beranjak, keluar tanpa sepatah kata apa pun lagi, lalu berakhir menyandarkan punggung pada pintu kamar Soojung yang telah ia banting sebelumnya.

Ah, setidaknya kau menemukan sedikit kebahagiaan, aku tak peduli apa pun bentuknya, setidaknya kau bisa bersandar pada seseorang, karena aku sudah tak bisa melakukan itu, meski aku peduli.

Ini semua juga terlalu melelahkan bagiku.[♤]

Blue and Grey || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang