VII

2.4K 356 1
                                    

Terengah-engah, gadis itu mencoba melangkahkan kakinya lebih lama lagi. Setidaknya sampai ia benar-benar merasa aman. Namun, tubuhnya menolak. Mungkin sudah beberapa jam sejak ia berlari menjauhi pasar itu, mencoba lari dari kusir kereta dan mungkin Henrick yang sudah menyadari bahwa tawanannya hilang. Laras tumbang. Kakinya lemas dan tangannya gemetar.

"Tidak! Ayolah kaki sialan! Kau harus bergerak!" Jeritnya. Gadis yang mulai putus asa itu memukul-mukul kakinya. Dia kini entah sedang berada dimana. Semoga saja ia sudah cukup jauh dari pasar itu.

Laras lapar. Tiba-tiba ia teringat dengan Nico yang mungkin sedang mencarinya. Ah, percaya diri sekali dirinya mengira londo itu mencarinya. Mungkin Nicolaas sekarang malah sedang berpesta dengan Henrick karena dirinya sudah tidak membebani hidup Nico. Ngomong-ngomong tentang Henrick, lelaki itu pasti senang karena tidak usah susah-susah menyingkirkan Laras dari hidup Nicolaas.

"Ya Tuhan. Kenapa Engkau membuatku terjebak dalam keadaan seperti ini? Aku memang mencintai sejarah, namun jika begini, lebih baik aku tidak pernah mengenal sejarah sama sekali."

Tes.

Setetes air mata jatuh dari mata kirinya. Sial! Sial sekali! Tak ada cara lain. Dia tidak mau lebih lama di zaman ini. Laras harus mencari tau cara kembali ke zamannya sendiri.

Namun setidaknya, ada satu hal yang harus ia bereskan terlebih dahulu. Perutnya yang dari tadi bergemuruh meminta makanan.

***

"Nicolaas kawanku, sudahlah. Lupakan gadis pribumi itu. Kau bisa pilih gadis-gadis belanda yang lebih molek Nico."

Nico menusuk Henrick dengan kedua mata birunya yang tajam, "Maaf saja, tapi aku bukan dirimu, Henrick."

"Ugh, santai teman. Kau membunuhku dengan tatapan itu."

Nicolaas mendengus gusar, yang dibalas Henrick dengan helaan nafas lelah, "Bukankah ini pertanda? Dia tiba-tiba hilang Nico! Itu berarti kalian memang tidak ditakdirkan bersama!"

Nico memejamkan matanya. Cukup. Celotehan Henrick yang sedari tadi tertangkap telinganya sudah membuatnya muak. Hatinya sedang gusar dan sahabatnya itu bukannya menenangkannya malah membuatnya semakin gelisah.

"Diam. Atau kau bisa keluar dari rumahku. Kau sama sekali tidak membantuku, Henrick."

"Jahat sekali. Padahal aku hanya ingin membantu," gerutu Henrick.

Mata Nico memicing, "Membantu huh? Kau bercanda? Uh, atau kau tahu sesuatu Henrick? Kau bisa membantuku dengan itu."

Sesaat, wajah Henrick menegang. Namun lelaki itu buru-buru menghapusnya lalu menutupinya dengan tawa canggung.

"Jangan membuat lelucon. Tak sudi aku berurusan dengan gadis pribumi jelek itu."

Nico mendengus, "Maka diam saja atau pulanglah."

"Dasar brengsek. Awas saja kau butuh bantuan dari ku."

"Ya-ya-ya, aku tidak butuh. Pergilah jauh-jauh dariku. Kulitku gatal-gatal karena dekat denganmu."

"Nicolaas sialan van Noach—"

"Apa? Coba ulangi lagi, Tuan Henrick yang terhormat." Pandangan dingin itu kembali menghujam Henrick. Namun ada yang berbeda disana. Nico sepertinya benar-benar akan mengamuk kalau Henrick tidak pergi dari sana dalam waktu dekat.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang