II

4.1K 536 46
                                    

Laras mengerjapkan matanya pelan. Ia mengucek matanya lalu bangkit dari posisinya. Udara hangat menerpa wajahnya yang kusut, matanya awas mengamati pemandangan aneh di sekitarnya.

Lalu lalang orang yang ramai dan pakaian aneh yang mereka kenakan. Apa-apaan? Apa ada festival tempo dulu? Kenapa mereka menggunakan kemben dan jarik? Kereta yang ditarik dengan kuda beserta kusir dan penumpangnya yang berbaju aneh.

Laras mengamati dalam diam dengan bingung. Dirinya ada dimana sekarang? Seingatnya, beberapa waktu lalu ia masih bersama Hana di situs bersejarah.

Ia ingin berjalan namun sesuatu menahannya. Langkahnya menjadi sempit.

Bruk!

Ia terjungkal dalam keadaan yang mengenaskan. Wajahnya mencium tanah dengan tidak elegannya. Sial, pakaian ini menyulitkannya. Kenapa juga Laras mengenakan pakaian seperti mereka?

Situasi macam apa ini?

Ia mencoba melangkah meskipun sedikit kesulitan, lalu memberanikan diri bertanya pada salah seorang penjual makanan disana.

"Permisi. Ini dimana ya?"

Penjual itu mengernyitkan dahinya dalam-dalam. Bertanya dalam hati mengapa ada orang aneh seperti Laras yang mempertanyakan tempat.

"Ini Batavia Non."

Gantian Laras yang mengerutkan kening.

"Maksud ibu Jakarta?"

Sang penjual menghela nafas jengah.

"Apa itu Jakarta? Ini Batavia Non."

Laras menyerah. Batavia katanya? Itu kan nama Jakarta beberapa abad yang lalu. Kenapa orang-orang hari ini terlihat aneh sih?

Mereka sedang memainkan drama kolosal atau bagaimana?

"Terimakasih, bu. Saya pergi dulu."

Laras menjauh dari keramaian, ia menemukan taman dimana banyak anak yang bermain disana. Anak-anak itu juga aneh, mereka berpakaian lusuh. Lebih aneh lagi saat Laras melihat seorang berbaju tentara sedang bermain dengan mereka.

Namun, sekilas yang Laras lihat. Rambut orang itu berwarna pirang dan ia berkulit putih. Kenapa bule itu tersasar di sini?

Laras terus mengawasi orang itu sampai orang itu menoleh dan mereka berdua beradu pandang. Laras mengerjap dan cepat-cepat mengalihkan pandangan.

"Hoe heet je, nona?"

Apa? Ngomong apasih dia? Batin Laras.

"Kau tersesat?" barulah saat orang asing itu berbahasa Indonesia, Laras mau menoleh.

"Kamu bisa bahasa Indonesia?"

Bule itu tertawa, "Indonesia? Maksudmu bahasa setempat, Melayu?Tentu saja. Apakah ada yang bisa kubantu? Kau sepertinya tersesat."

Laras menghembuskan napas lega. Akhirnya ada seseorang yang mau membantunya. Laras mengamati pemuda yang mungkin seumuran dengannya itu. Rambut pirang, kulit putih dengan bercak merah dekat hidung, dan mata biru. Tunggu, apakah dia orang eropa?

Laras membelalakkan matanya, "Apa kau orang Eropa?"

Laras melihat pemuda itu tertawa, lagi. "Menurutmu?"

"Itu tadi bahasa Belanda? Tu-tunggu, apakah kau orang Belanda? D-dan kau, penjajah?!"

Bagus, Laras memang sedang tersesat. Tersesat di jaman antah berantah ini. Serangan panik menyerbunya. Pandangan Laras menggelap. Ia jatuh tidak sadarkan diri.

***

Laras kembali terbangun dari pingsannya. Kali ini bukan di tengah keramaian seperti yang pertama. Ia terbangun di atas kasur empuk di sebuah kamar yang sangat asing baginya.

"Dimana aku?" rintihnya pelan. Sambil mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Poin pertama yang mampu ia tangkap setelah kejadian-kejadian aneh yang dialaminya tadi adalah : Entah kenapa tiba-tiba ia terjebak di masa lalu. Di masa kolonialisme Belanda di Indonesia.

Lalu, ini kamar siapa?

Laras masih mengira-ngira ini tahun berapa sampai pintu kamarnya terbuka dan menampilkan lelaki yang ditemuinya tadi di taman.

"Hai, apa kau sudah baikan?"

"Kau yang membawaku kemari? Siapa kamu? Dimana ini?" cecar Laras. Bukankah prajurit Belanda dikenal kejam dan suka menyiksa pribumi?

"Satu-satu, nona." lelaki itu menatap Laras jengah, "Baiklah, namaku Nicolaas Van Noach. Kau bisa memanggilku Nico. Sekarang, kau berada di rumahku. Berterima kasihlah karena aku menolongmu, bukan malah berteriak padaku seperti tadi."

"M-maaf." Laras menunduk. Tak berani menatap langsung pada mata biru Nico.

"Begitulah yang seharusnya dilakukan inlander," sahutnya.
(pribumi)

"Tapi kau berbeda, nona. Entah kenapa," Nico menghela napas keras.

Laras mendongak, mendapati mata biru yang tadi melayangkan tatapan tajam sedang menatapnya dengan sorot yang Laras pun tak mengerti.

"Jadi, siapa namamu?" tanya Nico.

"Laras. Larasati Gemaning Tyas."

"Nama yang indah."

Laras bersemu. Yah, arti namanya memang sangat indah. Pemberian Ibunya yang kini sudah di surga.

"Nico, ini tahun berapa?" tanya Laras ragu. Dalam hati ia berharap bahwa semua ini hanya lelucon. Semoga lelaki di hadapannya ini mengatakan bahwa ini tahun 2020, dan dia hanya sedang terjebak dalam festival budaya tahunan.

"1938. Hei, kenapa kau bertanya? Kau ini sebenarnya darimana?"

Seketika Laras mematung. Apa? Jadi benar ini masa lalu? Kenapa ia bisa sampai disini? Panik menderanya, hei maksudnya, ini cuma mimpi kan? Mana mungkin dirinya bisa berada di masa lalu. Semendadak itu.  Padahal tadi dia yakin masih berada di situs sejarah itu. Lelehan air mata dari wajah Laras mengundang perhatian Nicolaas.

"A-apa aku menyakitimu?"

Tangisan Laras semakin keras. Gadis itu tidak akan menyangka ia akan terjebak di keadaan asing ini. Apalagi ini masa kolonialisme. Bagaimana kalau ia mati disini? Dan kenapa juga yang menemukannya malah seorang prajurit Belanda?

"Kau akan membunuhku kan? Kau akan membawaku ke pemimpinmu dan membunuhku kan?" Laras tak menghentikan tangisnya. Apalagi mengingat tingkah tidak sopannua tadi. Ia menatap Nico dengan mata yang berurai air mata.

"Tidak akan, kata siapa? Bagaimana aku bisa membunuh seseorang yang membuatku merasa luar biasa?"

.
.
.

—tbc

Heyyoooo

Ayo dong pencet 🌟-nya. Xixi, selamat pagi.
Yang lagi UAS atau udah selesai, semangat yaa. Kalian bisa kok. Jangan lupa berdoa.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang