XX

1K 102 3
                                    

Tombakmu teracung, bukan untuk melindungiku, sekarang, sedikit lagi, ujungnya akan melukai hatiku.

Dewiku, kesatriaku.

oOo

Larasati mendongak, melihat bulan purnama belum sempurna yang menggantung di langit gelap. Ia kini harus memikirkan bagaimana cara membuat pengawal yang berjalan mengekorinya itu tidak mengikutinya lagi. Ia terpaksa berjalan ke arah taman agar tak dicurigai. Mungkin nanti ia bisa ijin ke toilet agar lolos dari pengamatannya dan kabur.

Di bangku panjang itu ia memutuskan duduk sambil mengamati kolam. Pura-pura menikmati angin malam yang membelai rambut dan bahu telanjangnya. Memejamkan matanya sejenak, menyadari bahwa ia sudah mulai terbiasa dengan dirinya yang menjadi Larasati sang penerus keraton.

Kadangkala, ia merindukan suasana Jakarta yang padat akan kendaraan, bising dan senyap di kafenya, televisi yang menyala sampai pagi karena ia lupa mematikannya sehabis menonton Netflix sampai ketiduran.

Bruk!

Suara seperti orang sedang terjatuh. Laras membuka mata, hendak menoleh ketika ruang kosong di sampingnya tiba-tiba terisi oleh sosok manusia, dan bahu dinginnya tiba-tiba hangat.

"Kau bisa sakit kalau terkena angin malam dengan baju seperti itu, nona."

Rambut pirang yang memantulkan sinar rembulan, mata biru sebiru kolam di depannya, lalu tatapan hangat yang membuat Laras tercenung sejenak. Tak dapat berkata-kata. Hanya air matanya yang tiba-tiba deras mengalir, lebih mampu mengungkapkan apa yang dirasakan pemiliknya.

"Laras, jangan menangis. Itu menyakitiku."

Begitu mendengar namanya terucap dari bibir laki-laki yang selalu dirindukannya itu, Laras menubruk pria itu dalam pelukan panjang dan basah. Tangisannya tak berhenti sampai-sampai Nico panik.

"Adikku cengeng sekali ternyata."

Suara lain menyapa dari belakang mereka, kini Laras sadar bahwa Nico tak sendiri. Ada Kresna, kakaknya disana.

"Kangmas?"

"Kemarilah," Kresna membentangkan tangannya lebar-lebar, siap menerima pelukan adiknya. Ia juga tak mau kalah dari Nico.

Laras melepas pelukannya lalu berlari ke arah kangmasnya itu.

"Aku tahu kau sudah melalui hari yang berat. Sekarang, tidak akan ada apa-apa lagi. Kita pergi bersama ya?"

Laras mengangguk senang. Meskipun air matanya dari tadi tidak berhenti jatuh.

oOo

Di tengah rerimbunan pohon di dalam hutan yang tak bisa ditembus manusia biasa itu, tersembunyi kehangatan yang membuat orang-orang disana menjadi sedikit tenang. Memudarkan kekhawatiran akan hari esok yang tidak pasti. Meskipun begitu, mereka harus berusaha sangat keras untuk mengubur rasa khawatir itu dalam-dalam agar tidak muncul ke permukaan dan merusak suasana.

Larasati berseru riang saat Nicolaas dan kangmasnya muncul dari kejauhan membawa dua ekor kelinci buruan.

"Kita akan makan enak nanti malam! Laras, bantu mbakyu-mu membersihkan kelinci ini. Aku dan Nico akan membuat api."

Kinanti, istri Kresna menerima dua kelinci itu lalu mengajak Laras ke belakang pondok mereka.

Saat kedua hawa itu sudah hilang dari pandangan, Nico dan Kresna yang sudah membersihkan diri kemudian mengangkut kayu dari samping pondok untuk di bawa ke depan dan dijadikan makanan api.

Mereka berdua duduk dalam keheningan hingga api lama-lama membesar dan membuat kayu menjadi arang.

"Seperti arang yang akan menjadi abu, waktumu habis Nicolaas." Kresna memecah keheningan dengan membicarakan hal yang sama sekali Nico tidak sukai. Kenapa kakak dari kekasihnya itu tidak memberitahu aib masa kecil Laras saja atau kebiasaan gadis itu? Kenapa harus membahas hal yang sudah beberapa waktu ini bercokol di dadanya, membuatnya tiba-tiba sesak karena memikirkan ia bisa saja terpisah jauh dari Laras?

"Aku tahu." Nico memutuskan untuk menjawab sesingkat mungkin. Selain karena malas dengan topik pembicaraannya, ia juga bingung harus menjawab apa. Ia juga tidak tahu harus bagaimana.

"Apa sampai akhir kau tidak akan membuatnya tau kebenarannya?"

"Maksudmu Laras?"

Kresna mengangguk.

Nico menghela nafas sebelum menjawab, "Aku harap dia hanya tahu tentang kebahagiaan. Sudah cukup beban yang dipikulnya belakangan ini."

Kresna tidak tahu Nico akan se-egois itu. Tapi ia mencoba mengerti.

"Semakin cepat ia tahu, semakin baik. Sampai kapan kau akan memberinya harapan palsu tentang hubungan kalian?"

"I am not. Kalau bisa, aku bisa dan ingin sekali membawanya ke Netherlands. Itu kalau aku tidak peduli keraton akan hancur dan kekuasaan di tanah ini akan timpang."

Kresna mendengus. Nicolaas terlalu waras untuk mengambil langkah berani sepertinya dulu. Lelaki itu masih ragu untuk memihak antara cinta atau keadilan untuk rakyat.

"Peduli setan, Nico. Bawalah gadis yang sepertinya hanya bisa bahagia bila di sisimu itu pergi dari sini. Lebih jauh lebih baik. Aku merestuimu dengan segenap harga diriku. Apakah itu tidak cukup?"

Nicolaas menatap Kresna tidak percaya. Baginya, Kresna terlalu berani. Lelaki itu seperti orang yang akan mengorbankan dunianya demi kekasihnya—tapi dia memang begitu. Kresna yang terlalu berani atau dia saja yang terlalu cupu?

Sedari kecil, Nico susah mengambil keputusan besar. Semua hal di hidupnya seperti sudah dirancang dari awal dan ia hanya dituntut untuk mengikuti jalur yang sudah dibuat itu. Nico sekarang benar-benar kebingungan. Rasanya pada Laras bukanlah hal yang bisa ia tampung dan tahan sampai-sampai mungkin ia bisa mati kering di Netherlands karena patah hati. Tapi sisi kemanusiaannya masihlah sangat besar. Ia tahu susahnya mengumpulkan kekuatan dan memimpin rakyat. Sarajati bukanlah penjahatnya disini. Nenek tua itu hanya menjalankan tugasnya sebagai pemimpin sebuah keraton. Dan ia butuh penerus tahta. Kresna adalah kandidat utama, namun lelaki itu kabur dari tanggungjawabnya karena seorang wanita. Haruskah Laras juga berakhir begitu?

Nico tau betul Laras sama sekali tidak akan bahagia walaupun kekuasaannya disini sangatlah besar dan ia bisa melakukan apapun.

Lalu, haruskah ia egois dan membawa pergi Laras?

"Semua pilihan ada di tanganmu, Nico."

oOo

Henrick mengusak rambutnya kasar. Di situasi sekacau ini, dimana Nico berada? Ia tau sahabatnya itu sedang patah hati dan kemungkinan besar sedang mengurung diri di kediamannya. Tapi situasi sedang rumit. Beberapa bangsawan dan pemegang kekuasaan dari bangsa mereka telah ditangkap oleh tentara Jepang. Tidak tahu diapakan, tapi Henrick yakin penangkapan itu tidak akan jauh-jauh dari penyiksaan dan perebutan wilayah. Beberapa bangsawan yang lebih dulu meninggalkan tanah itu, selamat.

Henrick harap para pribumi yang mendukung tentara Jepang tahu bahwa mereka sedang diperalat dengan iming-iming mengusir Belanda. Bahkan mereka lebih kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Henrick menyuruh kusirnya bergerak lebih cepat menuju kediaman Nico. Kalau dia tidak ada disana, entah kemana lagi ia akan mencari. Ia harus segera menarik sahabatnya itu pulang.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang