Usai kejadian kemarin, Laras lebih banyak diam. Nico berkali-kali meminta maaf padanya. Namun Laras tahu dengan benar bahwa semua ini murni kesalahannya sendiri. Tidak, ia hanya ketakutan dan merasa asing. Jika ini di jamannya sendiri, maka ia akan menghabiskan waktu bersama sahabatnya atau menjaga kafe miliknya.Saat ini, Nico sedang membujuknya untuk makan. Sudah sejak kemarin Laras tidak bernafsu untuk makan apapun.
"Laras, makanlah. Nanti kau bisa sakit kalau begini terus tabiatmu."
"Aku hanya ingin kembali, Nico. Tidak ingin apapun lagi."
"Kembali? Kau punya rumah?" Nico sebenarnya sejak awal takut mempertanyakan asal Laras. Ia tidak ingin gadis itu pergi darinya. Ia merasa Laras datang memang sudah ditakdirkan untuknya.
"Tentu saja punya."
"Dimana? Apa... Kau mau pulang? Mau kuantarkan?" Namun, Laras sepertinya ingin kembali. Nico tidak berhak menahannya. Mungkin Laras masih punya orang tua yang menunggunya pulang. Nico tidak boleh egois. Ia bukanlah Londo seperti itu.
"Jauh Nico. Mungkin di negeri seberang. Akupun tidak tahu."
Nico mengernyit heran.
"Kau boleh berada di sini selama yang kamu mau, Laras. Tidak akan ada yang mengganggumu, aku berjanji." Nico meraih tangan Laras lembut, mengecup jemari lentik milik Laras dengan penuh kehati-hatian. Seolah Laras adalah barang pecah belah yang sewaktu-waktu bisa retak jika Nico salah memperlakukannya.
***
Laras baru ingat. Kalau di abad ini dan pada masa pemerintahan Ratu Belanda, rakuat diwajibkan setidaknya mengerti bahasa Belanda. Laras benar-benar tidak mengerti. Bagaimana tidak? Itu merupakan keputusan paling egois yang pernah manusia buat. Laras benar-benar geram dan jengah. Mereka yang mencuri kekayaan bangsanya, mereka juga yang seenaknya menginjak harga diri leluhurnya.
"Kau harus bisa bahasa kami, Laras. Akan kupanggilkan guru untukmu."
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Kenapa?" Nico mengernyit, "Tidak apa-apa, hanya saja itu kan memang seharusnya kewajiban kalian."
"Kenapa kalian memaksa pribumi untuk itu? Tidak cukupkah kalian menguras kekayaan kami?"
"Jaga ucapanmu, Laras!" Kedua alis Nico menukik. Ia refleks berdiri menjulang hingga tubuhnya membayangi Laras yang tertunduk di mbale.
Mendengar nada tinggi yang keluar dari pria yang sudi menampungnya itu, membuat Laras langsung menyadari kesalahannya. Bisa-bisanya ia yang bukan siapa-siapa, yang hanya menumpang pada seorang Nicolaas tiba-tiba dengan tidak sopannya membentak londo itu. Penjajah bangsanya sendiri, yang meskipun di cap jahat oleh masyarakat sepertinya, masih begitu baik pada Laras. Namun percayalah, Laras sedang frustasi. Raut Nico yang kembali melunak tidak membuat hati Laras kembali tenang.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud—"
"Tidak apa, Nico. Bukan salahmu." Laras berbalik, lalu memutuskan untuk berbaring, ia melanjutkan perkataannya pada Nico yang masih berdiri membayang di belakangnya, "Ini sudah malam, istirahatlah." Alasan. Laras hanya sedang merasa bersalah.
"Aku... Aku mau belajar bahasamu."Laras memejamkan matanya. Berpikir bahwa keputusannya bukanlah hal yang buruk. Belajar bahasa lain mungkin saja akan menyenangkan.
"Senang mendengar itu darimu Laras, aku akan pergi. Tidurlah yang nyenyak." Nico meninggalkan beberapa usapan tangan pada rambut Laras. Gadis itu menegang pada sentuhan pertama namun tidak menolak pada usapan berikutnya yang sejujurnya membikin dia nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)
Historical FictionCOMPLETED Bagaimana ini? Laras sepertinya terjebak pada masa kolonial. Permainan semesta tak berhenti begitu saja saat ia tak sengaja bertemu dengan kelibat masa lalu dan sejarah keluarganya. . Terjebak di keadaan yang asing tentu lah sangat mengeri...