XXI

840 81 1
                                    

Sore itu, akhirnya Nico memberitahu Laras bagaimana situasi mereka yang sebenarnya. Karena akhir-akhir ini masalah datang dan membuat otaknya tak sempat memikirkan hal lain, Laras bahkan sampai lupa dengan kejadian itu dan terlena. Laras menatap Nicolaas yang terlihat terlalu tenang untuk ukuran orang Belanda yang hidupnya sedang terancam.

"Apa kau tidak takut?"

"Untuk apa? Aku sedang bersamamu. Tidak ada yang kutakuti selain Tuhan dan jauh darimu. Kau ada disini dan aku tidak bisa lebih tenang lagi dari sekarang."

Tahun 1942,

Tahun dimana kekuasaan Belanda yang telah mengakar kuat di tanah ini, tiba-tiba dijungkir-balikkan oleh Jepang. Sosok yang digadang-gadang akan membantu Indonesia lepas dari cengkeraman Belanda, namun ternyata mereka sama saja, bahkan lebih parah.

Tidak. Harusnya Laras memberitahu Nico lebih awal untuk kabur dan kembali ke Belanda secepatnya. Kini, laki-laki yang disayanginya itu berada dalam bahaya. Laras ingat ia pernah membaca buku tentang bagaimana kejamnya tentara Jepang pada orang Belanda. Tapi, ia juga takut untuk mengubah sejarah bila ikut campur dengan mengatakan masa depan.

"Kau... Kenapa kau tidak segera pulang dan malah kemari Nico? Kau bisa dalam bahaya hanya karena aku." Ketegangan itu nyata. Laras marah karena Nico begitu menggampangkan nyawanya sendiri. Harusnya ia sudah aman berada di seberang benua sana.

"Itu karena... Aku tidak ingin pergi sendirian."

Apa maksudnya itu?

"Begini Laras... Kakakmu mengijinkanmu untuk ikut bersamaku. Aku—ah tidak, aku akan terus terang. Ayo kita pergi dari tanah ini Laras. Dari awal, ini bukan tanahku. Dan sedari awal, kau tidak ingin hidup sebagai tuan tanah disini bukan?" Mata biru lelaki pirang itu menatap tegas netra gadisnya, menembus keresahan hati pujaan hatinya.

Laras menoleh pada kakaknya yang berdiri tak jauh dari mereka. Kangmasnya yang baru-baru ini dilihatnya, dan dikenalnya, yang telah memberikannya kasih sayang yang dari dunianya yang asli pun tak ia dapatkan, karena ia anak tunggal. Kresna tersenyum seolah memberkati mereka. Laras paham Kresna tahu apa yang ia inginkan. Tapi semudah itu diijinkan?

"Tentu tidak," seperti membaca pikirannya, Nico menyahut, "Harganya dua pukulan di perut dan satu tendangan di tulang kering. Kangmasmu itu galak sekali tahu?"

Laras tertawa kecil. Syukurlah.

Benar. Laras harus berpikir matang-matang. Bukan hanya soal cinta saja. Tentu saja ia mencintai Nico sepenuh hatinya. Namun Netherland bukanlah seperti Batavia dan Surabaya. Musim dan cara hidup mereka berbeda dengan disini.

"Aku... Aku tidak tahu Nico, ini hal yang berat untuk diputuskan hanya dalam satu malam."

Nico mengusap kepala gadisnya penuh sayang. Ia mengerti.

"Putuskanlah setelah berpikir matang-matang, aku tidak ingin memaksamu."

"Aku ingin bicara dengan kangmasku dulu, bisakah kau menunggu Nicolaas?"

Nico tersenyum. Senyum tulus yang akhir-akhir ini susah keluar dari bibirnya. Bagaimana ya? Mungkin semesta mengirim Laras agar ia setidaknya menerima satu perasaan yang membuatnya meleleh setiap berada di sekitar gadis itu.

"Tentu saja, ratuku. Selama apapun itu. Neem de tijd. Bahkan akan aku tunggu walau kau butuh waktu satu abad."
(Gunakan waktumu)

Laras tertawa, "Hei itu terlalu lama. Nanti kau lumutan dan aku tidak akan mengenalimu lagi."

"Kalau begitu, akan kubuat kau mengingatku lagi."

Laras tidak mendengar ucapan Nico yang senada dengan gurauan karena dia sudah berjalan hampir ke teras, meninggalkan Nico sendirian di dalam pondok.

Angin semilir langsung menerpa helaian rambutnya saat ia keluar lalu duduk di sebelah Kresna yang sedang mengasah panahnya.

Hampir nyaman dalam kebisuan, Laras memecah keheningan.

"Kangmas, kau sudah tahu semuanya dan bahkan kau menyetujui itu? Apakah kangmas tidak terlalu kejam?"

"Kejam? Aku hanya ingin melihat adikku berbahagia."

Ah, sudut mata dan hati Laras tiba-tiba basah. Bahagia? Benar. Laras hampir seluruhnya memahami kehidupan leluhurnya semenjak kecil.

"Kita mungkin tidak akan bertemu lagi."

Gesekan antara mata panah dengan batu pengasah tiba-tiba tidak terdengar lagi. Laras menoleh dan melihat kangmasnya itu memandang jauh ke tengah hutan. Tampak sendu karena matanya kosong, namun bibirnya tersenyum.

"Aku akan sangat merindukan kangmas."

Kresna mengangguk, aku juga... Adikku.

"Jaga diri baik-baik disana. Aku yakin Nico tidak akan membiarkanmu terluka."

Laras menunggu, menunggu lagi apa yang akan dikatakan Kresna. Namun Kresna sendiri sedang tercekat. Takut kalau bicara lagi, ia tidak bisa menahan air matanya.

"Cuma itu? Keterlaluan. Kangmas cuek sekali pada adik sendiri."

Kresna yang tidak terima langsung mencubit pipi adiknya gemas.

"Adikku ini manja sekali."

Mereka berdua tertawa lepas, merayakan perpisahan yang mungkin akan berlaku selamanya.

Dari dalam pondok, hati Nico menghangat. Sepertinya, ia tidak akan pulang sendirian.

oOo

Pagi-pagi sekali, mereka berangkat. Setelah satu pelukan panjang dan air mata Laras yang tak kunjung mereda, kuda mereka akhirnya meringkik panjang lalu berlari menjauhi pondok hangat yang beberapa hari ini telah membuat kenangan yang tidak akan Laras lupakan.

"Kita akan baik-baik saja, Laras. Kakakmu juga akan baik-baik saja."

Laras mengangguk. Mencoba menepis air mata dari sudut matanya. Menguatkan dirinya agar tidak lemah dan menjadi beban bagi Nico. Memulai lagi perjalanan mereka yang sempat terjeda oleh takdir.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang