XXIII

1.1K 81 4
                                    

"Kita, tidak seperti puisi Sapardi. Yang fana adalah waktu, kita abadi, katanya. Kisah kita, lebih dari itu, tuan."

oOo

"Aku bertanya kenapa KAU melakukan ini."

Suara tawa terdengar, "aku ingin meminta maaf, namun sepertinya dosaku kali ini tidak termaafkan ya?"

"Tapi... Kenapa? Waarom zou je? Ik dacht dat we vrienden waren."
(Kenapa harus kau? Kukira kita teman.)

Raut dikhianati begitu jelas tercetak di wajahnya. Kecewa? Tentu saja. Tidak, ini lebih dari itu. Ia merasa terbunuh dengan cara yang keji. Pengkhianatan. Siapa yang akan mengira bahwa sahabat yang selama ini bersama denganmu tega melakukan itu? Henrick adalah satu-satunya teman, sahabat, dan keluarga bagi Nico. Tapi kenapa? Kenapa harus Henrick? Dia satu-satunya yang ia percaya di tanah asing ini. Dia satu-satunya orang yang bisa ia percaya setelah kejadian itu.

"Aku, memiliki keluarga di seberang sana, Nico. Mereka menjanjikan perjalanan yang aman jika aku melakukan ini. Kau.. kau tak mempunyai-nya lagi kan? Jadi, bila kau mati, tidak akan ada yang menghawatirkan mu. Berbeda denganku."

"Kau! Bedebah brengsek!" Laras merangsek maju, mengabaikan cengkeraman tangan di belakangnya, membuatnya tersuruk ke depan karena perbedaan kekuasaan.

Henrick hanya menatapnya dengan tatapan merendahkan. Lalu berlalu dari sana tanpa menoleh lagi.

"Sampai jumpa, Nico. Semoga nasib baik berpihak kepadamu."

Nico, yang disebut namanya. Hanya bisa terdiam, menunduk di bawah todongan senjata. Sebenarnya bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana? Apa salahnya? Apa ia pernah tak sengaja melukai Henrick sehingga sahabatnya itu bisa sebegitu teganya pada dirinya? Apa salah Nico? Ia salah apa?

"Nico! Sadarlah! Kita harus bagaimana? Si brengsek itu merasa seperti tidak bersalah sama sekali."

Harus bagaimana?

Nico tidak tahu.

Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Lagi-lagi seperti ini. Semua orang meninggalkannya, semua orang berbalik badan dan melangkah pergi darinya.

Tentara Jepang membawa mereka ke sebuah kabin. Namun kali ini kabin terkunci rapat dari luar. Laras daritadi tak berhenti menggedor pintu meskipun sudah diteriaki berkali-kali.

"Buka pintunya! Memangnya kalian siapa? Dasar penjajah tidak tau tata krama! Sialan!"

Laras akhirnya lelah, ia menatap Nico yang sedari tadi diam tidak mengucapkan satu patah kata pun. Laras yakin dia sedang hancur. Siapa juga yang senang orang terdekatnya berkhianat? Laras lupa, betapa berartinya seorang Henrick sebagai sahabat bagi lelaki itu.

"Nicolaas, kau tidak sendirian. Ada aku disini, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Aku bersumpah." Duduk di sampingnya, ia mengelus bahu Nico pelan. Bahu yang terlihat begitu berat oleh beban dan kekecewaan. Laras berharap Nico bisa berbagi dengannya. Agar, lelaki itu setidaknya bisa bernapas lebih leluasa.

"Laras... Aku-" suaranya tercekat seperti tidak mau keluar. Seperti akan meledak oleh tangis.

"Aku tau Nico. Aku paham, kau akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja."

"Iya, terimakasih dan maaf kita bisa berada di situasi seperti ini."

"Bukan salahmu. Ini salah si bajingan Henrick itu."

Begitu mendengar nama itu disebut, Nico langsung murung lagi.

"Ah, maafkan aku."

Nico menggeleng.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang