Rasanya seperti dunia berubah bentuk menjadi liquid, berputar, lalu kembali berporos, mengikat, melepaskan lagi, lalu tercerai-berai, menyatu kembali. Lalu semua putih, ada banyak suara di sekitarku. Memanggil-manggil namaku. Tapi beberapa asing. Beberapa memiliki aksen yang tidak kukenal. Siapa?Siapa?
Tunggu. Aku dimana? Apa aku mati?
Sekejap kemudian, tanganku seperti ditarik, tiba-tiba aku sedang duduk di bangku. Kulihat sekitarku, seperti tidak asing. Taman bunga yang indah. Aku merasakan satu entitas lain yang sedang duduk di sampingku. Namun aku tidak bisa melihatnya. Belum. Sebentar lagi, katanya. Lalu tepukan halus itu kurasakan, aku menoleh dan kulihat satu sosok yang membuatku berpikir aku sedang duduk di samping cermin. Dia tersenyum, lembut sekali. Namun, ada yang berbeda di antara kami. Pakaiannya kuno sekali, seperti layaknya orang yang hidup di masa lalu.
Ah, kepalaku sakit. Kenapa ya?
Lalu, auranya. Tenang sekali. Meskipun aku pun orang pendiam, auraku tidak mungkin sekalem itu.
"Larasati, cucuku. Terimakasih ya."
Suaranya terasa lembut di telingaku. Tiba-tiba aku merasa ingin menangis. Entah menangisi apa.
"Sehabis ini, kamu akan mengingatnya."
Bisiknya, sebelum dunia itu kembali lebur dan aku tersedot lagi ke dalam kegelapan.
oOo
"Laras! Laras! Lo nggak apa-apa? Hey!"
Suara Hana, ah iya. Aku dimana? Suaraku tidak mau keluar. Air, gerakan bibirku ditangkap Hana, lalu ia segera mengambil botol air di tasnya, menyodorkan itu padaku. Saat air telah mengisi tenggorokanku yang kering kerontang, semua memori yang aku tidak ingat memilikinya, mengisi otakku, deras, seperti sungai.
Hana histeris melihatku menangis.
"Lo kenapa? Ada yang sakit? Astaga! Ambulan! Ambulan!" Teriaknya.
Aku menarik tangannya.
"Pulang," kataku singkat. Ia langsung terdiam.
Lalu, kami pulang. Di benakku, hanya terisi satu nama.
Nicolaas.
oOo
Setelah kejadian itu, aku lebih banyak diam. Hana beberapa kali mengunjungiku di apartemen. Satu minggu itu kuhabiskan untuk melamun, menangis, lalu melamun lagi. Hampir saja aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa kalau aku tidak kemudian memutuskan membuka lagi cafe milikku.
Sembari melayani pembeli dan menjawab pertanyaan mereka, kebanyakan bertanya mengapa aku tutup selama itu. Aku memikirkan kembali semua yang terjadi belakangan ini.
Hana bilang aku pingsan tidak lebih dari sepuluh menit. Tapi sepuluh menit itulah yang kubutuhkan untuk menjelajah ke waktu yang lebih lama dan lebih jauh dari masa kini. Sepuluh menit yang membuatku mengurung diri di kamar dan hanya memikirkan-nya.
Namanya sekarang kelu di bibirku. Seperti asing. Sudah lama tak terucap. Hal itu membuatku histeris lagi di hari-hari aku mengurung diri. Namun, apa memang yang bisa diperbuat? Aku harus tetap melanjutkan hidupku sebagai Laras. Di masa ini. Bukan sebagai Larasati yang hidup di jaman itu.
Nicolaas adalah eksistensi masa lalu.
Namun, ada satu hal yang sepertinya kulupakan. Wajah nicolaas tidaklah asing di mataku saat kami pertama kali bertemu di Batavia. Kapan lagi ya?
Aku menunduk, kepalaku selalu sakit saat aku mencoba mengingat.
Tiba-tiba hujan turun. Sore di Jakarta selalu penuh hujan. Pengunjung cafe banyak yang menetap dan memesan lagi. Itu bagus.
Lonceng cafe berbunyi. Tanda ada seseorang masuk ke cafe. Wah, hujan-hujan begini memang enak kalau memesan segelas Caramel Macchiato.
"Selamat datang di cafe Batavia! Ada yang bisa saya ban—"
Dia tidak akan tiba-tiba muncul di hadapanku.
Aku sedang membersihkan gelas saat itu, saat aku mendongak untuk menyapa, aku tertegun. Mata biru yang familiar. Sorotnya masih sama. Ditambah dengan sorot kerinduan yang sangat aku mengerti.
"Hoe heet je, nona?"
Mustahil.
Kalimat yang sama, yang ia tanyakan saat pertama kali kita bertemu. Mataku basah. Tangannya menjangkau tubuhku untuk menariknya ke dalam pelukannya.
"Sekarang kita sudah aman, Laras."
I love how he calls my name. It feels so right.
.
.
.
.
.
.
.THIS IS THE TRUE EPILOG GUYS. HEHE, MAAP NGEPRANK.
Sebenernya rencana masih lama. Tapi ini jari geregetan mau mencet publish. So, silahkan dinikmati hidangan penutupnya. Soalnya, abis ini nggak bakal ada lagi chapter baru.
Aku mungkin akan publish cerita baru kalau aku sudah move on dari Laras dan Nico :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)
Historical FictionCOMPLETED Bagaimana ini? Laras sepertinya terjebak pada masa kolonial. Permainan semesta tak berhenti begitu saja saat ia tak sengaja bertemu dengan kelibat masa lalu dan sejarah keluarganya. . Terjebak di keadaan yang asing tentu lah sangat mengeri...