XIX

956 110 3
                                    

Laras diam. Bisu. Tak mau menyentuh air atau makanan sedikitpun. Sejak ia dirias, berpakaian, ditata sedemikian rupa, ia diam. Satu katapun tak keluar dari bibirnya. Bahkan sepasang matanya ikut bisu.

Sarajati melihat itu. Tapi wanita itu pun memilih untuk tak menghiraukannya. Laras akan mengerti. Cucu kesayangannya itu akan segera mengerti dan perlahan menerima takdirnya.

Lalu setelah serangkaian upacara melelahkan itu, Laras digiring bersama 'suaminya' ke sebuah kamar yang sepertinya dihias khusus untuk pengantin baru. Laras tersenyum getir. Inikah takdir seorang gadis pemegang tahta? Tak punya pilihan. Menjadi boneka yang tidak pernah bebas dari tangan yang memilikinya.

Gadis yang sebentar lagi utuh menjadi sandingan orang itu hanya menghela nafas pasrah. Bisa apa dia untuk menentang neneknya yang berkuasa itu? Kabur? Bagaimana? Sedangkan di luar kamar saja lebih dari tiga orang penjaga. Apalagi di luar kediaman mereka. Bisa saja eyangnya itu kehilangan kesabaran dan membunuhnya. Membuat laki-laki yang baru saja sah menjadi suaminya menempati tahta. Mereka juga tak butuh pemegang tahta yang suka memberontak seperti Larasati.

Namun, si laki-laki yang menjadi suaminya itu tak kunjung memasuki kamar dan malah terlibat pembicaraan serius dengan pengawalnya. Laras ditinggal sendirian di kamar besar itu. Beberapa menit kemudian laki-laki itu kembali masuk.

"Adinda Larasati, maafkan aku meninggalkanmu di malam yang sakral ini. Tapi situasinya sedang rumit. Aku akan kembali besok pagi sekali, aku berjanji."

Pergilah. Dan tak usah susah-susah kembali.

Lelaki itu mencium kening Laras. Lalu pergi dengan tergesa.

Dengan kasar, Laras menghapus bekas kecupan menjijikkan itu dan seluruh riasan di wajah dan badannya. Bergegas ia mengganti baju, berniat untuk pergi dari keraton ini. Apapun yang akan menghalanginya nanti, akan dipikirkannya belakangan.

Ia teringat jelas bagaimana tatapan Nicolaas siang tadi. Bagaimana terlukanya ia melihat kekasihnya sendiri menikah dengan pria lain.

Laras harus pergi malam ini juga.

oOo

Jauh di kedalaman hutan, Kresna sedang bersiap. Setelah mendengar kabar bahwa adiknya tiba-tiba kini telah menjadi istri orang, ia murka. Nyai sialan itu sudah keterlaluan. Kresna pikir karena Laras adalah cucu kesayangannya, ia tidak akan memaksa Laras untuk menikah seperti dirinya dulu. Apalagi sampai memilihkan calon yang Laras sama sekali tidak kenal.

Kresna harus menyelamatkan adiknya. Meskipun terlambat karena Kresna yakin mereka sudah sah sebagai pasangan, namun ia akan tetap membawa pergi adiknya. Keputusannya dulu yang membawa adiknya turut serta dalam usaha kaburnya memang tidak salah. Kalau begini akhirnya, Kresna menyesal mengapa di pertemuan terakhir mereka, ia tidak membujuk Laras agar tetap berada di luar jangkauan Nyai Sarajati. Karena setidaknya walau hidup dalam pelarian, ia bisa hidup bahagia dengan lelaki pilihannya.

Kresna memacu kudanya segera. Meninggalkan istrinya yang memberinya pelukan sampai jumpa. Ah, ia sedikit berat meninggalkan istrinya, tentu saja. Tapi ia yakin wanitanya akan aman disini. Ia tidak akan meremehkan kemampuan bertarung istrinya. Ini rahasia, namun istrinya adalah bekas pembunuh bayaran yang sebenarnya ditugaskan untuk membunuhnya. Lucu sekali mereka berdua malah saling jatuh cinta.

Kresna menuruni bukit seperti kesetanan. Ringkik-an kudanya bagai melodi kemarahan yang siap melontarkan api untuk membakar segalanya. Ia dan adiknya tak berhak diperlakukan seperti ini. Persetan takdirnya yang berdarah biru, persetan tuntutan politik yang mengabaikan hak, persetan kewajiban untuk melahirkan pewaris tahta. Ia ingin hidup bahagia dan damai, begitupun yang ia harapkan dari hidup adiknya.

Ia telah menghubungi kekasih adiknya, Nicolaas. Namun belum ada balasan, mungkin meneer satu itu sedang sibuk dengan urusannya sendiri. Tak apa, Kresna sendiri sanggup menjemput Laras.

Mendekati wilayah keraton yang masih ramai akan warganya yang sedang berpesta, Kresna menambatkan kudanya di salah satu penitipan kuda. Ah, nenek satu itu menghabiskan uang dengan menggelar pesta 7 hari 7 malam. Berlebihan sekali.

Ia merapatkan tudung hingga hampir menutupi seluruh wajahnya. Memastikan bahwa belati ada di tempatnya, lalu mulai berjalan menelusuri jalan yang sudah ia hafal di luar kepala. Sedari kecil, ia memang tidak suka terkurung lama-lama di dalam ruangan. Ada saja caranya ia untuk keluar, untuk hanya sekedar menikmati keramaian pasar, belajar harga-harga barang di pasaran. Kresna kecil selalu berpikir bahwa ilmu harus dicari melalui pengalaman langsung, bukan hanya duduk lalu menyimak penjelasan guru. Itu membosankan sekali. Bahkan adiknya pun setuju.

Ah, ia khawatir sekali dengan adik perempuannya itu. Membayangkan dia disentuh oleh pria yang meskipun sudah sah, dan boleh menyentuhnya, Kresna tak terima. Kresna belum merestuinya.

Kini ia dihadapkan oleh tembok tinggi yang memisahkan daerah perhutanan dengan keraton bagian Larasati tinggal. Tingginya tiga meter lebih. Hanya ini satu-satunya cara untuk masuk karena gerbang belakang dan gerbang depan sangat ramai penjaga. Sarajati mungkin sudah mewanti-wanti mereka dengan kemungkinan penyusup seperti Kresna masuk. Yah, wanita tua itu tidak sepenuhnya salah.

Kresna tak menemukan kesulitan untuk memanjat, sampai di atas, ia kemudian melihat situasi. Saat dikiranya tak ada penjaga yang berseliweran, ia melompat turun, mengendap-endap sampai pundaknya ditepuk.

Mati saja.

Ia menoleh untuk mendapati raut wajah Nicolaas yang terlihat lelah dan penuh peluh. Tentu saja tetap tampan.

"Kau ceroboh sekali, namun aku sudah memukul pengawal itu sampai pingsan. Setidaknya kita tidak akan ketahuan sampai setengah jam lagi."

Kresna menatap pengawal tumbang yang tak jauh darinya itu. Bisa-bisanya ia tak sadar.

"Terimakasih. Bagaimana kau bisa sampai disini? Aku mengirimi surat kepada dirimu berkali-kali, namun tidak ada respon. Kupikir kau sudah mati, meneer." Kata Kresna sambil mengejek.

"Ah, aku agak sibuk. Lupakan saja, itu tidak penting sekarang. Namun, kita punya tujuan yang sama kan?"

"Ayo,"

Mereka berdua mengendap-endap sambil mengedarkan pandangan waspada kalau-kalau ada penjaga yang lewat.

Di ujung bangunan, mereka mengintip. Ada lebih dari tiga penjaga di depan kamar Larasati. Mustahil bagi mereka masuk tanpa ketahuan.

"Bagaimana sekarang?"

"Tidak tahu. Tapi aku harus bertemu dengan gadisku sekarang, waktu ku tinggal sedikit di negeri ini."

Kresna sudah mendengar desas-desus bahwa Belanda telah dikalahkan oleh tentara Jepang. Kresna tidak tahu itu hal baik atau buruk. Mungkin di mata rakyat, mereka membantu mengusir penjajah yang terlalu lama mendekam di negeri mereka. Tapi entahlah, Kresna punya firasat buruk tentang itu.

"Gadisku? Huh, dia sudah menjadi wanita milik orang lain tuh."

"Berhenti bicara. Meskipun kau adalah kakak dari Laras, aku tak akan segan-segan menghabisimu kalau kita sampai ketahuan."

Galak sekali. Batin Kresna. Kalau saja Laras adiknya tidak begitu mencintai pria berambut pirang itu, ia ingin sekali menghajar bajingan sombong ini.

"Ah lihat. Laras keluar?"

Kresna menengok, samar-samar ia mendengar percakapan adiknya dengan pengawal itu.

"Aku hanya ingin berjalan-jalan keluar. Menghirup udara segar! Kalian pikir aku babi yang bisa dikurung seenaknya dan tak boleh keluar?"

Pengawal itu saling melirik. Lalu dengan terpaksa membiarkan Laras keluar dengan syarat ada satu pengawal yang ikut.

Larasati tampak tak peduli dan terus berjalan menjauh dari kamarnya. Dia pasti ingin kabur.

"Ah, pintar sekali adikku."

"Gadisku memang pintar."

Mereka berbicara hampir bersamaan, membuat keduanya mendelik kesal.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang