Memoar III

2K 297 4
                                    

Laras yakin. Patah hati pertamanya bukanlah karena cinta atau sejenisnya. Hari itu adalah hari yang paling Laras benci di 12 tahun hidupnya. Laras ingat, kala itu mendung menggelayut seolah alam ikut sedih. Sejak pagi rintik hujan juga tak mau berhenti. Hari itu hari Jumat di akhir bulan, saat Laras mendapati mamanya menangis di pelukan ayahnya. Laras sudah cukup dewasa untuk menyadari bahwa mungkin sebentar lagi kabar buruk akan menyapa telinganya.

Rasa untuk bertanya apa alasan mamanya menangis diurungkannya. Laras lebih memilih ikut memeluk mamanya. Seolah tahu dan tidak menolak bahwa hari itu akan menjadi hari yang buruk.

"Laras? Kenapa menangis?" Tanya Ayahnya. Mamanya sudah sedikit tenang, hanya duduk sambil termenung di sofa.

"Karena mama menangis. Ayah, mengapa mama menangis?"

"Kamu bahkan tidak tahu alasannya dan sudah menangis? Laras sungguh punya hati yang tulus." Ayah tersenyum. Mengusak rambut Laras. Sebenarnya Ayah tidak tega memberi kabar ini pada Laras, tapi pikirnya, Laras sudah dewasa dan ini adalah tentang kematian seseorang yang sangat dekat dengannya. Laras berhak tahu.

"Nenek sudah dipanggil Tuhan malam tadi, Laras. Laras yang sabar ya."

Seketika, saat itu juga sebuah retakan muncul di hidup gadis yang berusia 12 tahun itu. Seperti ada celah kosong yang ia pikir mungkin akan menjadi lembah dalam tanpa ujung. Kekosongan yang mungkin akan mencekiknya di malam-malam penuh rindu akan pedesaan yang masih asri dan sejuk, sore yang damai bersama secangkir teh buatan nenek dan cerita kakek akan masa lalunya yang luar biasa.

Isakan kemudian keluar dari bibirnya. Ia masih kecil, masih ingin waktu-waktu bersama kakek dan neneknya. Masih ingin singkong berselimut gula jawa yang enak buatan neneknya. Masih ingin mendengar cerita-cerita menakjubkan dari kakeknya. Masih ingin menikmati bagaimana rasanya pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga kecil dari pihak mamanya.

Laras jatuh ke pelukan Ayahnya. Menangis meraung-raung tidak terima. Namun seberapa keraspun ia menangis dan berteriak, saat akhirnya ia kembali ke desa kakek dan neneknya, untuk yang kesekian kalinya, namun kini bukan dengan harapan akan betapa gembiranya uforia di sana, Laras hanya bisa terpekur saat jenazah neneknya, orang yang di sayangnya di kubur di kedalaman tanah. Pulang yang sebenarnya. Ke pangkuan Tuhan.

oOo

Laras ingat, saat itu bukan mamanya yang ingin ia peluk dan tenangkan hatinya, walaupun tangis mamanya-lah yang paling keras dan menyayat hati. Tapi sosok rapuh yang sedari tadi tak mengeluarkan suara apapun, berdiri diam di samping gundukan tanah basah, bergeming seolah sudah ikhlas. Padahal Laras tau betapa hancurnya orang itu karena yang terkubur di sana adalah belahan jiwanya, sepotong dari kisah hidupnya, separuh nadinya, istrinya, kekasihnya, orang yang ingin ia tukar dengan semua hartanya untuk sedetik lebih lama bersama.

Kakeknya, adalah orang terakhir yang pulang dari pusara basah itu. Laras tidak tahu apa yang dilakukan kakeknya di sana, tapi Laras yakin kakeknya hanya ingin bersama lebih lama dengan istrinya, walaupun hanya jasad tanpa ruh yang menemani sepi kakeknya disana.

Laras melihatnya, betapa rona mata kakeknya tiba-tiba meredup dan mulai hilang sehari-harinya. Pergi ke ladang, sarapan, minum teh, bermain dengan cucunya yang lain, semuanya tampak redup. Laras yakin kakeknya-lah yang selama ini memberi warna pada rumah sederhana di kampung itu. Lewat senyumnya yang kelewat hangat, pancaran sinar matanya yang membuat semua cerita-ceritanya hidup. Laras sebenarnya rindu, ingin kembali ke masa-masa itu. Namun, Laras tak setega itu memaksa kakeknya yang sekarang.

Entahlah, Laras merasa kakeknya hanya sekadar hidup. Bernafas, bergerak, hanya itu. Nyawanya telah lama terkubur bersama jasad istrinya di kedalaman enam kaki. Kakeknya hanya menunggu waktu untuk dijemput.

Sore itu Laras duduk dengan kakeknya di teras. Kebiasaan lama, harusnya dengan ketela bakar dan teh buatan nenek Laras. Tapi sekarang mereka berdua hanya di temani semilir angin sore yang membuat bergidik.

"Kakek merindukan nenekmu, Laras. Kami bukanlah muda-mudi lagi. Pernikahan kami bukan cuma satu-dua tahun lagi. Tapi, Kakek satu kali pun tidak pernah bosan dengan nenekmu. Mungkin wajahnya menua, dan sifatnya agak sedikit galak. Namun Laras, yang dirindukan kakek-mu ini adalah hatinya. Hati nenekmu sehangat mentari pagi pukul sembilan. Kemarin saat nenekmu menghembuskan nafas terakhirnya, tiba-tiba cuaca di hidup kakek menjadi musim dingin yang tak berkesudahan. Kakek kedinginan Laras."

"Laras bisa peluk kakek kalau begitu," celetuk Laras.

Kakeknya terkekeh, "kamu bisa berikan pelukan kamu ke orang yang kamu sayangi suatu saat nanti, Laras."

"Tapi aku sayang kakek. Jadi Laras mau peluk kakek."

"Astaga cucu kakek manis sekali." Kakeknya tertawa, walau tawa itu terlihat sedikit melelahkan baginya.

"Cucu siapa dulu dong, hehe."

Laras mengabadikan tawa kaku kakek sore itu. Sosoknya tampak tegar dan rapuh secara bersamaan. Laras tahu kakeknya orang kuat, tapi kehilangan penyokongnya seperti itu, Laras yakin kakeknya lelah.

Orang tua Laras, Paman serta bibinya menetap sampai tujuh hari peringatan kematian nenek Laras. Pagi itu, tepat saat matahari sejengkal lebih tinggi dari pucuk kepala, pukul sembilan tepat,  kakek Laras menyusul istrinya. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya dalam sujud sholat dhuha.

Laras termangu, sebelum menangis histeris saat sadar bahwa kakeknya meninggal di pelukan Tuhan dan hangat pukul sembilan milik istrinya.

***

Hai!

Aku ga bakalan janjiin update sering-sering buat work ini, tapi bakal kuselesaiin kok, tenang aja author kan baik/coret/ gabut.

Seneng banget asli karena work ini banyak pembacanya. Tapi ya gimana, kalau mager lebih menarik :)
Canda, author beneran sibuk/ohok/
Udah mau kelas 12, mau fokus :)

Tapi santai, karena nulis
bagi aku adalah self healing paling ampuh.

Apalagi romen romen kek gini muehehehe.

Makasih udah baca dan mampir di work penuh kekurangan ini..

Silahkan tekan bintang dan tinggalkan jejak yaa!

Arigathanks,

Lily







Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang