Di tempat lain, Nico yang baru pulang menyadari sesuatu yang aneh tentang rumahnya. Mbok Sumi tampak terduduk sedih dengan air mata yang mengalir tak berhenti. Nico sejenak ingin menenangkan wanita itu namun lebih penasaran dengan sebab mengapa wanita yang sudah sedari lama membantu pekerjaan rumahnya itu menangis.
"Mbok kenapa menangis? Dimana Laras?"
"Maafkan simbok, Tuan."
"Kenapa meminta maaf mbok? Ada apa? Bilang sama Nico mbok!"
Mbok Sumi dengan tersedu-sedu mencoba menjelaskan, "Non Laras hilang, Tuan. Maafkan simbok!"
Maka, berlututlah orang tua itu di hadapan sang meneer muda Belanda. Mbok Sumi bahkan tak berani mengangkat kepalanya.
Sementara Nico sendiri mematung tidak percaya. Apa? Bagaimana bisa? Bukannya gadis itu tadi masih nyaman di rumahnya? Nico juga memperlakukannya spesial kok. Tidak seperti pribumi lainnya. Lantas kenapa gadis itu kabur darinya? Apa Nico kurang lembut memperlakukannya? Apa semua yang dilakukan Nico tidak berarti apa-apa baginya? Nico benar-benar tidak mengerti.
Tanpa sadar, keluarlah air mata dari kedua mata birunya yang jernih, kakinya lemas, tiba,-tiba tak sanggup menopang tubuhnya. Walaupun orang-orang mengatakan hatinya keras, sifatnya dingin, atau apapun itu. Tapi mendengar bahwa salah satu orang yang sudah menjadi bagian dari hidupnya tiba-tiba hilang, kepercayaan diri Nicolaas runtuh begitu saja.
"Mbok... Salah Nico apa sampai-sampai semua orang meninggalkan Nico?"
****
"Nicolaas! Snotaap! Waar ben je geweest?"
(Anak nakal! Darimana saja kamu hah?)Bentakan itu menyambut Nico kecil di muka rumah. Sontak, tubuh kecilnya menegang. Dengan terbata ia mencoba membela diri.
"Aku habis bermain bola dengan anak-anak dekat pasar itu ma! Mereka seru-seru! Katanya aku berbeda dengan anak-anak Belanda lain yang sombong. Anak-anak Belanda itu memang sombong ma, aku tak mau bermain dengan mereka!"
Percuma, mamanya tidak akan menerima alasan itu. Apapun yang dikatakan Nico, pasti salah di mata ibunya. Apalagi kali ini, lagi-lagi Nico kecil melanggar aturan keluarganya dengan bergaul bersama orang-orang pribumi.
"Nico! Kau itu keturunan Belanda! Seharusnya bergaul pula dengan yang sederajat. Mama tidak mengizinkanmu bermain dengan anak-anak pribumi itu lagi!"
"Tapi ma—"
"Tidak ada tetapi Nicolaas!"
"Mereka baik Ma! Aku tidak suka dengan anak-anak Belanda itu!" Tak mau kalah, karena peribahasa mengatakan, anak adalah cerminan orang tua—sama-sama keras kepala maksudnya—Nico mencoba memberi argumen.
Nicolaas kecil kemudian merengek dan menangis. Kedua bola matanya yang polos itu penuh dengan air mata. Usianya baru tujuh tahun dengan tinggi tak lebih dari pusar ibunya. Anak itu terseok-seok mengikuti langkah panjang ibunya yang menyeretnya menuju rumahnya.
"Kau harus Nicolaas! Kau harus suka!"
"Tidak mau! Mereka sombong, hiks hiks. Berbeda dengan anak-anak dekat pasar yang baik dan halus perangainya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)
Historical FictionCOMPLETED Bagaimana ini? Laras sepertinya terjebak pada masa kolonial. Permainan semesta tak berhenti begitu saja saat ia tak sengaja bertemu dengan kelibat masa lalu dan sejarah keluarganya. . Terjebak di keadaan yang asing tentu lah sangat mengeri...