Henrick baru saja menyelesaikan satu cangkir kopinya saat ia melihat Nico keluar dari ruangannya dengan wajah merah padam dan tangan terkepal kuat. Matanya merah seperti orang yang akan menangis. Lelaki dengan perawakan proporsional itu melangkah menuju kudanya. Tanpa berucap apapun menarik kekang dan pergi begitu saja.
Bukan karena khawatir atau apa, Henrick berlari menyusul—tentu dengan kuda—Nico yang sudah agak jauh di depan. Henrick hanya takut temannya itu menghancurkan satu desa. Lihat saja betapa gilanya ia memacu kuda. Seperti akan menabrak apa saja yang menghalangi.
Ia memikirkan apa saja yang bisa menjadi alasan mengapa Nicolaas bisa terlihat sekacau itu. Jarang sekali ia melihat teman sejak kecilnya itu melepas topeng tenang yang selama ini seperti menempel di wajah tampannya itu.
Dan kini ia tahu alasannya. Mereka berhenti di depan gerbang sebuah keraton.
Ya. Gadis bengal yang ternyata penerus tahta daerah itu. Larasati Gemaning Tyas. Gadis yang tak tahu tata krama dan membentaknya saat pertama kali bertemu. Walau itu tidak salah mengingat status mereka. Tapi tetap saja kan? Putri keraton terkenal akan kehalusan dan lembutnya tutur kata mereka.
Tapi apa yang dilakukan gadis itu sampai-sampai Nicolaas berbentuk seperti itu?
Temannya itu melompat dari kuda lalu berlari, baca: berjalan tergesa memasuki gerbang.
Ada yang aneh. Kenapa keraton ramai sekali hari ini?
Puluhan kereta kuda memenuhi halaman depan keraton. Lalu beberapa yang sepertinya bangsawan jawa yang berpakaian bagus.
Apa ada pesta? Tapi pesta apa? Bukannya kemarin baru saja ada pesta?
Tunggu. Tunggu.
Otak Henrick memroses pelan-pelan. Nico yang bertingkah seperti banteng lepas, lalu keramaian tidak wajar ini.
Pesta... Pernikahan?
Henrick ikut melompat dari kuda lalu menyusul Nico yang sudah jauh di depan.
Lalu semuanya terlihat begitu jelas.
Larasati dalam balutan kebaya khas jawa. Dirias begitu cantik. Dengan anggun duduk di kursi seperti bidadari yang baru turun dari surga sang dewata. Tapi kontras dengan semua itu, lihatlah wajah sendu dan mata bengkak yang ditutupi riasan itu.
Nicolaas sudahlah dari sejak tadi berdiri mematung di situ. Henrick menghampirinya, ikut berdiri. Bingung ingin bereaksi apa. Temannya itu terlihat lemas, seperti seseorang yang jiwanya baru saja dicabut paksa dari raganya. Sekarang Henrick tahu, ia mengerti betapa Nicolaas mencintai Larasati sebagai gadis biasa yang ia temukan kebingungan di pasar. Gadis yang mengisi hatinya, gadis pertama yang menginjakkan kaki di kediamannya. Benar, Nicolaas bukanlah seperti tuan tanah yang ia temui dimana-mana, sahabatnya itu tidak mengenal wanita. Tidak pernah sekalipun ia melihat ada gadis di kediaman Nico. Hanya Larasati satu-satunya gadis yang berhasil masuk kesana dan keluar hidup-hidup.
Pria di samping Larasati sepertinya dari kalangan bangsawan terhormat. Meskipun temannya punya kekuasaan, tapi apalah mereka, hanya orang asing yang menghisap darah orang-orang pribumi. Punya kekuasaan tapi tak punya kebanggaan.
Henrick menepuk bahu temannya, lalu menarik napas berat. Semoga temannya selalu diberikan hati yang kuat. Henrick berniat mengajak temannya itu pulang lalu mungkin minum bir bersama. Menemani Nicolaas menelan kepahitan semesta.
Tak disangka, Larasati menoleh. Gadis itu membulatkan matanya saat melihat Nicolaas berdiri memandanginya, entah sejak kapan. Terlihat terluka dan kecewa. Larasati bangkit, namun Nicolaas menggeleng, lelaki itu mundur dan berjalan pergi dari sana. Memunggungi Larasati yang terlihat ingin mengejar, namun deheman dan tatapan Nyai Sarajati membuatnya ciut.
Berakhir. Larasati dan Nicolaas sekarang berakhir.
oOo
Langit abu-abu itu seperti mencemoohnya. Menggelayut mesra pada sang angkasa. Tampak tak ingin pisah. Namun angkasa sontak menggelap dan sang awan jatuh ke tanah dalam wujud air. Tangis.
Namun sosoknya bergeming. Hujan semakin deras. Membasahi rambut pirangnya yang semula rapi tak bercela. Disisir ke belakang tanpa jeda. Kini, mungkin karena sudah lama tak bercukur, basah menutupi sebagian wajahnya. Menutupi mata yang sorot sedihnya menembus cakrawala. Menutupi pula tangis kesedihan yang dengan baik hati disamarkan oleh air hujan yang jatuh.
Mungkin jiwanya telah raib sejak dirampas oleh tatapan bersalah gadisnya yang tak bisa apa-apa selain menerima takdirnya. Pun juga ia yang tak bisa mengubah apa-apa selain rasa cintanya.
Bisa apa ia?
Masalah disini pun semakin pelik saja. Belanda dipaksa mundur oleh Jepang yang tiba-tiba saja kekuatannya tak terbendung. Diberinya waktu dua minggu untuk kembali ke Netherlands.
Kabar yang mengejutkan karena tentara mereka kalah. Hal ini dikarenakan pengiriman pasukan ke daerah yang salah, pemberontakan daerah yang mulai sadar bahwa tak ada untungnya mereka menampung lintah darat dari Netherland, atau mungkin karena pemerintahan mereka sudah nyaman atau lebih tepatnya, tak lagi mementingkan militer karena keributan pun hanya kecil-kecilan, karena itu mereka yang sedang dalam keadaan lemah terpaksa menandatangani perjanjian.
Nico merasa bahwa mereka sudah memperlakukan inlander dengan semestinya. Menggaji mereka sesuai hak. Tapi tidak tahu benar disalurkan atau tidak oleh petinggi daerah. Ah, jiwa-jiwa korup inlander itu. Nico mengawang akan bagaimana jadinya negeri indah ini di masa depan jika jiwa-jiwa korup itu semakin haus akan kekuasaan.
Kini, tanah yang hijau dan gembur itu terpaksa mereka tinggalkan.
Namun, bukan itu yang memberatkan hati Nicolaas sampai ia termenung-menung bagai merpati kehilangan sayap. Tetap saja, persoalan hati dan cinta telah mengalahkan segalanya. Larasati, gadisnya, pujaannya, yang terlahir di tanah yang berbeda dengannya, yang tumbuh dari ras yang mereka jajah. Nico tidak pernah menyangka ia akan jatuh hati dengan gadis yang tiba-tiba saja masuk ke kehidupannya itu.
Nico bodoamat dengan masalah wilayah dan kekalahan bangsanya. Kalaupun ia disuruh pulang, ia akan pulang. Tapi ia sedikit berharap bahwa ia tidak pulang sendirian.
Larasatinya. Cintanya. Kekasihnya. Betapa ia ingin memboyong gadis inlandernya itu pulang ke negerinya. Melihat keindahan yang sama sekali berbeda dengan Batavia. Merasakan salju pertamanya dan musim semi, menemukan bunga terindah untuk gadis cantik itu.
Tapi impian tetaplah impian. Kemarin, Nico telah menyaksikan dengan kedua bola matanya sendiri, bahwa gadis itu telah menjadi milik orang lain. Bukan gadis yang Nico bisa ajak kencan diam-diam. Bukan gadis yang akan memanggilnya dengan nada lembut dan kata romantis lagi. Gadis itu bukan gadisnya lagi.
Nico kalah cepat dan kalah kasta.
Tapi ia tak mungkin hanya pasrah begini. Setidaknya ia harus bertemu gadisnya satu kali lagi. Terakhir kalinya. Dan Nico sangat tahu harus pergi kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)
Historical FictionCOMPLETED Bagaimana ini? Laras sepertinya terjebak pada masa kolonial. Permainan semesta tak berhenti begitu saja saat ia tak sengaja bertemu dengan kelibat masa lalu dan sejarah keluarganya. . Terjebak di keadaan yang asing tentu lah sangat mengeri...