Memoar VI

1K 122 1
                                    

Mendung menggelayut
Mengajakku turut ingin jatuh ke pelukan sang Bumi

——


Laras memacu kudanya semakin cepat, semakin jauh dari batas perbatasan hutan milik keraton. Kira-kira sudah dua jam ia menyerang pengawalnya sendiri lalu kabur jauh ke dalam hutan. Peluh menetesi wajahnya, tanda-tanda kelelahan sudah muncul. Sinar matahari yang remang dan gersikan dedaunan kering yang jatuh menjadi temannya selama beberapa jam kesendiriannya itu. Tangannya kebas karena dari tadi menarik kekang kuda. Sedang binatang berkaki empat itu masih gagah berani berlari menerobos lebatnya hutan Mar.

"Tidak, ini belum cukup jauh," gumamnya. Meneguhkan hati untuk tidak berhenti sejenak sekadar meredakan nafasnya yang memburu.

Menit demi menit berlalu, membuatnya agak gila karena dari tadi yang dilihatnya hanya pemandangan stagnan hijau rerimbunan pohon dan semak. Hampir saja ia limbung karena terjebak dalam pikirannya sendiri.

Kesadaran hampir meninggalkan pikiran Larasatinsaat derap kuda asing terdengar di telinganya.

Siapa?

Pengawal keraton kah? Kalau benar begitu, sebentar lagi ia akan ketahuan. Karena derap kuda mereka saja Laras bisa dengar, apalagi derap kuda yang ditungganginya.

"
"Benar, suara kuda terlalu mencolok."

Saat berniat menghentikan kudanya, Laras tidak sengaja membuat kuda itu kaget dan ia terpelanting kuat dan jatuh ke tanah. Laras memekik kecil karena kepalanya terantuk pohon.

Pusing, pandangannya buram. Ia memegang kepalanya yang sepertinya berdarah. Kudanya sudah lari. Tapi, setidaknya rencananya berhasil. Suara kuda asing tadi sudah tidak terdengar lagi.

Laras memejamkan matanya sejenak, melemaskan otot-otot tubuhnya yang ia paksa bergerak melebihi batas.

"Lelahnya... Kang mas dimana ya? Aku setidaknya harus berjalan sekitar 5 kilometer untuk sampai ke perbatasan daerah," keluhnya.

Tidak, aku harus semangat! Demi kebebasan yang kami dambakan. Batinnya membara.

Ia memaksakan diri untuk berdiri, menggerakkan kakinya yang terasa sangat berat. Mulai berjalan tertatih dan berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Duri dan ranting yang melukai kaki tak beralasnya ia hiraukan meskipun rasanya perih sekali. Kegelapan hutan yang tak bisa ditembus sinar matahari membuat pandangan matanya buram dan tak jelas, beberapa kali ia menabrak semak-semak dan berakhir membuat wajah dan tangannya tergores.

Laras ingin menangis, ingin minta digendong kakaknya. Ia lelah, badannya seolah meminta istirahat. Namun teror yang dibayangkannya jika ia berhenti berjalan membuatnya memaksakan tubuhnya untuk bertahan lebih lama.

Ah... Cahaya.

Laras melihat cahaya.

Akhirnya ia mencapai tujuannya...

***

Flashback end.

Cont.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang