Halaman penuh rumput dan bunga. Beberapa pepohonan rindang dan kolam ikan. Indah dan cantik, seperti rumah impian Laras waktu kecil. Persis seperti halaman rumah kakek dan neneknya di desa. Namun entah kenapa, Laras tidak lagi merasakan euforia itu lagi. Jauh di dalam sudut hatinya, Laras merasa kosong. Otaknya tak berhenti bepikir, bagaimana semesta bisa menulis takdir yang begitu rumit untuk dirinya, Larasati Gemaning Tyas. Gadis ibu kota yang sedang menikmati hidup tenang dengan menjalankan usaha kafe. Gadis yang mencintai sejarah, gadis yang mendamba masa lalu. Benarkah semesta itu mendengar? Karena walau Laras mendamba masa lalu, tapi kini ia menyesali semua yang pernah ia impikan.
Laras lelah, hidupnya di masa depan tidaklah terlalu banyak drama seperti sekarang. Hanya bangun tidur, menjalankan kafe, berbelanja, pulang, dan sesekali mengunjungi situs bersejarah favoritnya. Laras berharap ia cepat-cepat bangun dan bertemu dengan sahabatnya.
Yah, untuk yang satu itu. Teman atau sahabat, Laras belum memilikinya di sini. Jadi Laras merasa sangat kesepian. Mbok Darmi sudah pulang pagi tadi, dan pelayan sangat segan terhadapnya. Percayalah, Laras benar-benar butuh teman bicara.
Dia penasaran bagaimana cara keluar dari sini. Keraton ini luas dan Laras terlalu takut tersesat untuk sekadar mencoba mencari kamar mandi apalagi pintu keluar.
"Ndoro ayu, saatnya njenengan mandi."
Oh? Apakah sudah waktunya? Tapi hari masih terlihat lebih siang. Mungkin baru pukul dua. Biasanya ia dipanggil untuk mandi saat jam sudah menunjukkan pukul empat sore atau paling lama pukul lima.
"Kok sekarang mbak? Bukannya jadwal saya mandi jam empat?"
Pelayan itu terlihat kebingungan. Tapi dengan segera ia ingat bahwa ndoronya sedang lupa ingatan.
"Ah itu... Ndoro ayu sendiri yang bilang kalau setiap hari Jumat untuk mandi awal. Lalu jam tiga nanti ndoro akan pergi ke panti asuhan."
Apa? Panti asuhan? Tapi untuk apa? Tunggu dulu, jika memang agenda ini rutin, artinya aku bisa keluar keraton sepekan sekali bukan? Batin Laras bahagia.
"Baik mbak, saya akan segera mandi." Laras beranjak lalu tanpa ba-bi-bu mandi dan berganti pakaian yang sudah disiapkan oleh pelayan.
***
"Tunggu! Apa yang kau bilang daritadi Henrick?"
Muka Henrick yang setengah pucat mau tak mau membuat Nico ikutan panik. Soalnya sahabatnya itu memberi kabar tidak tanggung-tanggung, selalu mengagetkan. Nico bingung ingin menyesal atau bersyukur memilikinya sebagai sahabat.
"Iya Nicolaas! Dia, Laras yang kemarin ada di rumahmu. Dia Putri Keraton Palinggan. Pewaris tahta keraton berpengaruh itu, Nico!!"
"Bicara yang jelas Henrick! Kau jangan mengada-ada. Itu tidak mungkin. Laras bukanlah orang seperti itu. Dia lemah lembut dan polos. Tidak tau apa-apa. Bagaimana dalam semalam dia bisa jadi pewaris tahta keraton hah?! Kau pasti menghayal."
Bukan tak ingin mempercayai sahabatnya, tapi Nicolaas lebih heran kepada kenapa ia tidak tahu pasal mengenai hal ini. Laras terlihat seperti pribumi biasa, apalagi penampilan sederhana yang ia lihat saat pertama kali ia bertemu gadis yang tampak bingung dan rapuh itu.
Henrick menarik kerah Nico, "percayalah kepada sahabatmu ini Nicoolas! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, saat berkunjung ke keraton itu tempo hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)
Historical FictionCOMPLETED Bagaimana ini? Laras sepertinya terjebak pada masa kolonial. Permainan semesta tak berhenti begitu saja saat ia tak sengaja bertemu dengan kelibat masa lalu dan sejarah keluarganya. . Terjebak di keadaan yang asing tentu lah sangat mengeri...