XV

1.1K 131 4
                                    

Kuperhatikan,
Di sebalik kelambu putih yang kau gunakan
Engkau mati
Tertidur dalam keabadian

oOo

Perang akan segera datang.

-

Ombak laut selatan begitu tenang, seolah menerima sesembahan yang dilarungkan satu persatu oleh abdi keraton. Gelombang-gelombang itu perlahan membawa baki-baki penuh dupa ke tengah laut.

Laras memandang semua itu dengan skeptis. Ia manusia modern yang terjebak dalam suasana aneh dan entah kenapa terasa mistis. Eyang Ratu mengajaknya agar ia melihat dan berharap agar cucunya itu kelak akan tetap melestarikan kepercayaan mereka.

"Nduk, meskipun kita tidak pernah melihat langsung, mereka itu nyata nduk. Aja kowe sekali-kali ngremehno." (Kamu jangan berani meremehkan)

"Mereka yang menjaga kedamaian dan menjadi kekuatan ning tanah Jawi iki."

Laras bergidik mendengar perkataan Nyai Sarajati.

Malamnya, ia tak bisa tidur. Hawa dingin merasuk ke tulang, membuat Laras menggelung tubuhnya dengan pikiran yang sama sekali tidak tenang. Ia berusaha memejamkan mata untuk menyambut bunga tidur.

Laras tak ingat kapan ia tertidur. Tetapi ia tahu bahwa ia sedang bermimpi. Di depannya, terbentang luasnya samudra yang gelap dan dalam beserta semilir anginnya yang khas. Laras pikir ini laut yang tak asing. Ya, tadi sore ia pergi kesini bersama rombongan keraton. Untuk melarung sesembahan.

Gadis itu kebingungan hingga tiba-tiba air laut menyibak, lalu angin berhembus keras di wajahnya. Terdengar bisikan merdu seorang wanita. Sangat dekat sampai Laras kira sosok itu berada tepat di sampingnya. Padahal nyatanya tidak ada siapa siapa.

"Putuku sing ayu. Takdir nggowo sukma-mu sing alus terlalu jauh. Opo kue ora kepengin bali? Nanging cah ayu, kabeh iki mung sedelok, wong-wong putih iku bakal bali ing tanah e, diganti wong-wong cilik kang cerdas. Keraton iki bakal ilang, cah ayu."

(Cucuku yang ayu. Takdir membawa jiwamu yang halus terlalu jauh. Apa kamu tidak ingin pulang? Tapi cah ayu, semua ini singkat. Orang-orang putih itu akan kembali ke tanahnya, digantikan oleh orang-orang kecil yang cerdas. Keraton ini akan hilang, cah ayu.)

Lalu senyap. Seakan angin laut tak pernah menyapa. Udara seperti memadat. Laras tercekat di tempat. Bulu romanya berdiri dan ia hampir jatuh ke pasir saat ia melihat sosoknya. Sosok yang begitu cantik, terbalut selendang yang bersinar seperti rembulan. Indah sekali.

"Jangan takut. Aku hanya ingin kau agar tenang melewati takdir berat di hadapanmu nanti."

Seperti ada yang menyiram wajahnya dengan air dingin, Laras berjingkat bangun. Ia melihat sekelilingnya yang kembali normal. Kamar yang luas dan hangat. Kamar di dalam keraton. Kamar yang akhir-akhir ini ia tempati namun ia masih merasa asing. Kamar yang kalah hangat dengan kamar yang luasnya bahkan tidak ada setengahnya di rumah seorang meneer Belanda.

Air mata Laras menetes. Ia super kebingungan dengan apa yang barusan ia alami. Apa-apaan mimpi aneh itu. Laras takut. Laras takut dengan isi mimpinya, sosok itu dan perkataannya. Laras takut ia tak akan bisa mencapai cerita yang diharapkan pendahulunya dengan mengirim jiwanya kemari.

Sampai pagi, ia tak bisa tidur.

oOo

"Nico ini gawat! Aku dapat kabar dari teman sejawat di pulau seberang, mereka sudah sampai di ujung pulau sana."

Gebrakan pintu terdengar pekak. Menyentak lamunan seorang pemuda dengan paras rupawan pada jamannya itu. Seketika otaknya memproses kalimat yang diutarakan sahabatnya yang baru datang itu. Ah, situasi sepertinya sedang gawat-gawatnya.

"Cepat sekali mereka menyadari negeri ini." Nico mengurut pelipisnya kasar, "bagaimana keadaan militer kita?"

"Komandan berencana akan mengirimkan hampir setengah kompi pasukan kesana."

"Apa?! Mereka bodoh ya? Lantas siapa yang akan menjaga pulau Jawa?" Mata biru itu menajam.

Sementara itu, Henrick terkesiap. Ah, benar juga. Tampaknya kali ini, mereka akan benar-benar tamat. Lagipula, komandan itu memang hasil nepotisme belaka. Mereka sudah mewanti-wanti hal ini.

Mereka berdua tenggelam dalam hening yang membuat kepala pusing. Henrick yang tak tahan, mulai melontarkan pertanyaan yang mungkin ia juga sedikit penasaran. Karena paling tidak, ia juga berkontribusi dalam hal itu.

"Bagaimana dengan kekasih pribumi-mu itu?'

Tak terduga, raut wajah Nico yang semula kaku kembali melunak.

"Dia baik-baik saja. Perlu kau ingat bahwa dia bukan hanya pribumi biasa."

"Iya-iya, dia calon penguasa selanjutnya kan? Di keraton yang sangat membenci londo. Hahahaha, takdir yang unik."

"Dia tidak membenciku."

"Ya. Tapi orang tuanya, Nico. Kisah cinta tanpa restu seperti itu biasanya berakhir tragis."

"Diamlah. Berikan data berapa banyak pasukan yang masih bisa kita kumpulkan di tanah ini."

Henrick mendengus. Ah, ia benci mengurusi hal yang berat-berat. Sahabatnya ini orang yang sangat kaku sekali.

Ya, kaku.

Orang kaku yang kemarin tiba-tiba mahir menggoda wanitanya.

Iya. Ciuman itu.

Kalau mengingatnya, Nicolaas yang kaku itu pun bersemu pipinya.

Ia ingin menyimpan Larasatinya dalam sebuah kotak yang hanya ia yang bisa membukanya. Nicolaas ingin Laras yang aman bersamanya. Bukan dalam artian terobsesi, tapi Nico hanya tak mau Larasatinya terluka karena orang-orang jahat di luar sana.

oOo

Halo.

Karya ini akan segera tamat. Tunggu saja ya!



Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang